Bupati dan CEO

Spread the love

Pemilihan kepala daerah (pilkada) Ngada akan digelar sebentar lagi. Bukan hanya persaingan antar bakal calon yang sudah memanas, tetapi, emosi massa pendukungnya sudah mulai teraduk.

Gejala itu bisa kita potret beberapa minggu belakangan ini melalui media online seperti fesbuk juga grup wazap. Seru sekali. Ada pernyataan saling jegal dan saling menjebak.

Calon yang satu diadu dengan calon lainnya. Sedikit saja terpeleset bicara, dia bisa di-bully  sana-sini. Lini masa penuh oleh narasi akun palsu rangkap buzzer piaran calon—yang dalam banyak hal cenderung memainkan isu-isu yang sama sekali tidak substansial.

Dari informasi media sosial, kita melihat, ada bakal calon yang suka blusukan dan membagi-bagikan sumbangan dalam bentuk barang ataupun dana. Bakal calon ini kemudian di-bully oleh pendukung bakal calon lainnya.

Ada bakal calon yang yang digambarkan sebagai yang hebat karena latar belakang pendidikan dan pengalaman, yang secepat kilat menarik pro dan kontra—“jadi bupati asal bisa kerja tidak perlu sekolah tinggi-tinggi”, demikian kira-kira orang membantah.

Ada juga, pasangan bakal calon yang sudah menyatakan kepada publik untuk siap maju dari jalur perseorangan.

Dan sisanya, ada bakal calon yang masih bekerja di tempat lain—dan mereka membangun personal brandingnya dari jauh melalui komunitas atau keluarga dengan bantuan media sosial.

Persaingan yang seru, tetapi juga akan sangat melelahkan karena waktu pemilihan masih satu tahun lagi. Bagaimanapun maneuver dan money harus diatur supaya tidak putus napas di bulan-bulan menjelang pemilihan.

Bagi mereka yang sedang bertarung, menjadi Bupati dan Wakil Bupati Ngada, agaknya, kata-kata Presiden Amerika Serikat Donald Trump perlu dicatat. Trump pernah berkata  begini “Menjadi CEO perusahaan akan jauh lebih mudah ketimbang menjadi CEO pemerintahan.” CEO (Chief Executive Officer) adalah pimpinan puncak sebuah organisasi.

Presiden, gubernur dan bupati adalah CEO pemerintah di berbagai level. Pernyataan seorang Donald Trump di atas lahir dari pengalaman dan refleksinya sebagai pimpinan puncak, yakni, Presiden US.

Meskipun sama-sama pimpinan puncak, pemilihan bupati dan pemilihan CEO sangat berbeda.

Pertama,  untuk menjadi bupati, biayanya sangat mahal dan prosesnya melelahkan. Calon bupati harus benar-benar punya personal branding yang kuat.

Petahana memiliki modal besar dalam soal ini. Petahana yang  kerjanya benar buat rakyat dan hasilnya bisa dirasakan, memiliki personal branding yang kuat.

Maka sebagai petahana, dituntut bekerja sebaik mungkin untuk rakyat. Karena, meskipun kinerja petahana sangat prima, dan tak ada ruang bagi pesaing untuk maju, branding-nya masih mungkin bisa digerus oleh buzzer rangkap haters lawan di media sosial.

Harus disadari bahwa saat ini media sosial memiliki efek besar pada ektabilitas seorang bakal calon.

Bagaimana dengan pendatang baru?

Kalau tak punya track record, bangun saja prestasi dan reputasi dulu di luar. Kalau sudah punya reputasi, barulah maju. Namun, reputasi saja tidak cukup. Dukungan finansial adalah kunci pencalonan dan kemenangan.

Ketiadaan dukungan finansial yang memadai membuat beberapa politisi potensial mundur dari pencalonan. Misalnya, berita soal Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang batal mencalonkan diri sebagai calon Bupati Kabupaten Manggarai, NTT.

Mundurnya Salang diduga karena partai politik pendukung meminta mahar politik sebesar Rp 1 Milyar.

Inti dari persoalan ini adalah kemampuan managerial dan prestasi saja tidak cukup.

Hal yang sama juga terjadi pada artis Ibu Kota yang mencalonkan diri untuk menjadi bupati di salah satu kabupaten di Jawa. Kabupaten itu merupakan kampung halamannya. Ia mundur ketika tim pemenangannya menyodorkan anggaran hingga mencapai Rp 7 miliar.

Dengan demikian, popularitas saja tidak cukup!.

Selain biaya mahal, proses pencalonan juga sangat melelahkan. Masih banyak politikus yang menghendaki calon mesti dari kader partai. Kalau bukan, dia mesti berjuang untuk mendapat dukungan dari pengurus partai yang ada di daerahnya.

Semuanya gratis? Anda yang bisa jawab sendiri! Saya menduga ada juga yang gratis, tapi mungkin tidak banyak. Pengalaman Sebastian Salang adalah jawaban untuk kita semua.

Tahap berikut, kalau partai setuju, dia mesti mengecek tingkat elektabilitasnya. Jadi, harus ada survei terlebih dahulu. Kecuali Anda reinkarnasi kamikaze, pemberani yang nekat dan konyol, boleh mencalonkan diri tanpa survei elektabilitas yang memadai.

Apakah elektabilitas cukup?

Tentu saja tidak!. Jika tingkat elektabilitasnya tinggi, bakal calon bupati ini mesti mendapat izin dari pengurus partai di tingkat pusat (dewan pimpinan pusat atau DPP). Sekali lagi tidak gratis.

Setelah mengantongi izin, calon harus meminta dukungan partai-partai lainnya. Apalagi kalau kursi partai yang mengusungnya tak sampai menguasai 15 persen kursi di DPRD. Selanjutnya, dapat diisi dengan mengurus proses pencalonan di Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang juga tidak selalu mudah.

Biaya mahal dan proses panjang yang harus ditempuh membuat calon yang bagus tapi tidak memiliki dana besar, enggan berkompetisi dalam pilkada.

Sebagai pribadi, saya berharap banyak, kelak, ada jalan keluar untuk menekan proses cost transaksi pencalonan lebih murah, sehingga, kandidat yang bagus bisa muncul ke atas dan para calon yang ada ketika terpilih, tidak bekerja hanya untuk “urus kembali modal”

Sementara itu, untuk menjadi CEO, prosesnya jauh lebih cepat dan murah. Anda hanya perlu ditunjuk para pemegang saham tanpa memerlukan biaya. Sebab, kalau Anda coba-coba menyuap pemegang saham—yang sebagian diwakili jajaran komisaris—malah bisa konyol akibatnya.

Kedua, hubungan dengan pemilih pasca pemilihan. Sebagai kepala daerah, Anda mesti mendengarkan aspirasi seluruh rakyat. Untuk menjaring suara mereka, Anda mesti rajin blusukan. Kalau hanya mengandalkan laporan dari bawahan, Anda bakal keliru mengambil keputusan.

Memang ada DPRD sebagai wakil rakyat. Tapi, Anda bisa gila–bahkan tersangkut banyak perkara–kalau menganggap mereka betul-betul mewakili suara rakyat.

Anda tahu DPRD kita hari-hari ini, bukan? Rakyat mau ke kanan, DPRD malah belok ke kiri, rakyat mau naik ke atas mereka justru turun ke bawah.

Mereka (sebagian besar), hanya peduli dengan suara partainya, dengan urusan pribadinya, bukan rakyat yang sudah memilihnya.

Sebagai CEO hal ini berlaku sebaliknya, Anda bisa memfokuskan perhatian kepada customer, segenap karyawan, shareholders, dan stakeholders. Jumlah mereka jelas lebih sedikit daripada warga se-kabupaten.

Jenis kepentingan yang juga dilayani CEO terbatas, yakni, keuntungan perusahaan dan pembagian dividen di akhir tahun. Sebagai Bupati, jenis kepentingan yang dilayani sangat beragam dan membutuhkan negosiasi politik. Alokasi anggaran amat bergantung pada siapa yang kuat dan berpengaruh dalam proses negosiasi itu.

Ketiga, sebagai CEO, kalau ada proyek atau pekerjaan apa pun, Anda bisa menunjuk langsung kontraktornya. Kepala daerah tidak bisa melakukan penunjukkan langsung, kecuali untuk pengerjaan berskala kecil.

Jika Anda memaksa untuk melakukan penunjukkan langsung proyek berskala besar, Anda tak hanya bisa turun jabatan, tetapi jerat hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunggu Anda dengan tangan terbuka.

Keempat, soal gaji. Saya tak perlu menyebut angkanya, tapi Anda pasti tahu. Gaji kepala daerah dengan CEO bak bumi dan langit. Memang kesannya sebagai kepala daerah, Anda lebih berkuasa ketimbang para CEO. Itu kesannya. Di lapangan, siapa bilang? Kalau tidak betul-betul pandai, Anda bakal kena olah dari cukong dan mafia kapital yang ada di daerah masing-masing.

Kelima, risiko hukum. Menurut data KPK, sampai saat ini sudah ada kira-kira 360 kepala daerah yang ditangkap komisi anti rasuah. Kira-kira 100 kepala daerah sudah diproses hukum termasuk mantan bupati Ngada, Marianus Sae.

Kalau jumlah kepala daerah–mulai gubernur hingga bupati atau wali kota–di seluruh Indonesia 549 orang, itu berarti lebih dari separuhnya tersangkut perkara korupsi. Bandingkan dengan jumlah CEO yang tertangkap karena kasus serupa. Bak bumi-langit. Jadi, bagi yang berminat menjadi Bupati, berhati-hatilah.

Pada bagian yang lain, proses dan resiko berbeda, seorang Bupati masa kini bekerja dalam dua kapasitas sekaligus—menjadi politisi dan CEO. Sebagai politisi, ia berjalan dalam prinsip politik  yakni the arts of posibility.

Politik adalah soal memilih kemungkinan di antara berbagai kemungkinan melalui proses tawar-menawar. Kebijakan dan program pembangunan adalah hasil dari proses itu. Tujuan akhir adalah keadilan dan kesejahteraan publik.

Sebagai seorang CEO, ia berjalan dalam prinsip the art of choice. Ia harus memilih jenis investasi dalam konstrain sumber daya yang terbatas. Tujuan akhir adalah keuntungan.

Bupati masa kini juga harus bertindak sebagai CEO, yakni, bagaimana memilih cara mengelola sumber daya terbatas tapi paling menguntungkan bagi rakyat.

Perusahaan-perusahaan daerah, misalnya, harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip manajemen modern untuk menghasilkan manfaat paling besar bagi rakyat. Jangan sampai perusahaan daerah hanya menguntungkan para pengelolanya, sementara rakyatnya makan angin

Jadi, sudah siapkah Anda, para calon bupati?

 

Salam hangat

Arnoldus Wea

Co-Founder Gerakan DHEGHA NUA dan Yayasan ARNOLDUS WEA


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

3 tanggapan untuk “Bupati dan CEO

  1. Mantul kae ja’o… Tulisan ini akan menjadi inspirasi serta suggestion yg baik bagi calon kepala daerah yang paham

  2. Sangat realistis dan memang begitulah yg terjadi. Dengan segala macam seluk beluk dan berbagai proses yg harus dilalui yg tentu sj banyak menguras waktu, tenaga, emosi dan sudah pasti materi, tidaklah heran bahwa yg terjadi sesudahnya adalah sang pemenang menjalankan politik balas jasa dan berupaya utk tdk merugi. Balik modal dengan bunganya sekalian.. semoga tulisan ini membuka wawasan kita semua dan siapa saja yg ingin terlibat baik dalam mencalonkan diri maupun sebagai pemilih yg baik. Semoga yg terbaiklah yg terjadi. Majulah Ngadaku!

  3. Puji Tuhan.. Bacaan yg bagus untuk hari ini.
    Terima kasih Kakak Arnoldus untuk tulisannya..
    Dengan membaca tulisan di atas, sepertinya saya lebih tertarik jadi CEO (Amin) drpd jadi DPRD atau Kepala Daerah atau sejenisnya????..
    Uang mahar itu bikin usaha saja, daripada terbuang percuma hanya sekedar untuk menjadi horang top (yg belum tentu jadi horang khaya)???
    Mantap.. Tetap jadi CEO kak.. Tapi kalo org seperti kakak mau jadi Bupati (merangkap CEO) juga tidak masalah kok.. ???.. Kami menantikan pemimpin bangsa dengan pola pikir seperti kakak.. No promises but take action dan show the result..?

Komentar ditutup.