Polemik KPK dan Jalan Panjang Pemberantasan Korupsi di NTT

Spread the love

Polemik di Tingkat Elite

Dalam beberapa hari terakhir, jantung publik dibikin berdegup kencang sekurang-kurangnya oleh dua hal.

Satu, polemik calon pimpinan (Capim) KPK bermasalah.

Dua, polemik revisi UU KPK.

Sayangnya polemik itu hanya terjadi di tingkat elite dan tidak menjadi percakapan harian rakyat jelata.

Hal pertama antara lain mendorong Koalisi Kawal Capim KPK, yang terdiri atas Indonesia Corruption Warch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, dan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama, menginisiasi penandatanganan petisi “Presiden Jokowi, Coret Capim Bermasalah!” melalui laman Change.org.

Sampai dengan tulisan ini dibuat, sudah sebanyak 177.505 orang telah membubuhkan tanda tangannya.

Akan tetapi, kita tahu, Jokowi tak pernah menggubris petisi itu.

10 Capim KPK, yang diduga bermasalah, lolos seleksi tim Panitia Seleksi (Pansel).   

Ketuk palu Ketua Komisi III DPR RI Azis Syamsudin pada Jumat (13/9) dini hari yang menetapkan Irjen Firli Bahuri sebagai Ketua KPK Terpilih dan Alexander Marwata, Nawawi Pamolango, Lili Pintauli Siregar, serta Nurul Ghufron sebagai Wakil Ketua KPK Terpilih Periode 2019-2023 telah memupus harapan para penandatangan petisi untuk memperoleh pimpinan KPK bebas rekam jejak buruk.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) menyebut “Irjen Firli simbol pelemahan KPK” karena diduga kuat melakukan pelanggaran kode etik saat menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana seorang pimpinan KPK dengan rekam jejak yang buruk dapat memimpin pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia?

Sebelum Irjen Firli terpilih, jantung publik sebenarnya sudah “but-but” dengan keinginan anggota DPR RI merevisi UU KPK.

Tidak tanggung-tanggung, seperti rilis yang diterima Penulis dari ICW, sebanyak 37 guru besar di Indonesia menyatakan menolak revisi UU KPK.

Argumen mereka adalah 10 poin revisi UU KPK berpotensi melemahkan dan/atau bahkan membubarkan KPK.

10 poin itu adalah pembentukan Dewan Pengawas, kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), dalam melaksanakan tugas penuntutan, KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, penyadapan harus izin dari Dewan Pengawas, KPK bukan lagi lembaga Negara independen, KPK hanya dibatasi waktu 1 tahun untuk menangani sebuah perkara, menghapus kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik independen, penanganan perkara yang sedang berjalan di KPK dapat dihentikan, KPK tidak bisa membuka kantor perwakilan di seluruh Indonesia, dan syarat menjadi Pimpinan KPK mesti berumur 50 tahun.

Mereka mendesak pertama, Presiden Jokowi menghentikan pembahasan revisi UU KPK dan kedua, DPR fokus pada penguatan KPK dengan cara merevisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Akan tetapi, kita tahu, pada Kamis, 5 September 2019 lalu, ketuk palu Wakil Ketua DPR RI Utut Udianto sebagai pimpinan Rapat Paripurna mengesahkan naskah rancangan Revisi UU KPK menjadi RUU Inisiatif DPR (Kompas.com, 6 September 2019).

Kita juga tahu, 5 hari kemudian, Presiden Jokowi menyetujui RUU Inisiatif DPR itu.

Dalam Surat Presiden No. R-42/Pres/09/2019 pada 11 September 2019, Jokowi menugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin untuk mewakili Pemerintah membahas revisi UU KPK bersama dengan DPR.

Dalam pertanggungjawaban kepada publik yang tersebar di berbagai media, Jokowi menegaskan perlu dilakukan “penyempurnaan terbatas” terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang sudah berusia 17 tahun itu (CNN, Jumat, 13/9/2019).

Jokowi menyetujui sekaligus menolak beberapa poin revisi UU KPK.

Jokowi menyetujui pembentukan Dewan Pengawas, kewenangan KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), dan kepegawaian KPK, termasuk penyelidik dan penyidik berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN).

Sementara itu, dia menolak izin pihak luar untuk melakukan penyadapan, penyidik dan penyelidik KPK harus dari unsur kepolisian dan kejaksaan, koordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam hal penuntutan, dan dikeluarkannya pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dari KPK.

Apa implikasi struktur baru kepemimpinan dan revisi UU KPK bagi upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di NTT?

Korupsi di NTT

Dalam laporannya tentang kondisi pemberantasan korupsi di NTT, Staf Investigasi Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah di Hotel Pelita Maumere, Flores, mengungkapkan, sepanjang tahun 2018 saja, terdapat 19 kasus korupsi dan suap di NTT.

Dari 19 kasus itu, 14 kasus ditangani oleh kepolisian dengan estimasi kerugian Negara sebesar Rp 7,6 Miliar, 5 kasus ditangani oleh kejaksaan dengan estimasi kerugian Negara sebesar Rp 3,1 Miliar, dan 1 kasus suap ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan jumlah uang suap Rp 4,1 Miliar.

Jadi, total kerugian Negara akibat korupsi para koruptor di NTT sepanjang tahun 2018 mencapai angka Rp 10,7 Miliar.

Sementara itu, total uang suap dari swasta kepada penjabat Negara sebesar Rp 4,1 Miliar. Kasus suap ini terkuak saat KPK mencokok Bupati Ngada Marianus Sae di Surabaya di tengah kontestasi Pilgub NTT 2018 lalu.

Politisi PDI-P ini divonis 8 tahun penjara, denda Rp 300 Juta, dan pencabutan hak politik. Marianus terbukti menerima janji dan hadiah berupa uang tunai sebesar Rp 4,1 Miliar. Uang itu ditransfer via rekening dan diserahkan langsung secara tunai.

Baca Juga: Bupati dan CEO

Saat itu, Marianus menjanjikan Dirut PT Sinar 99 Permai Wilhelmus Iwan beberapa proyek di Kabupaten Ngada yang nilainya mencapai Rp 54 Miliar.

Marianus dijerat dengan Pasal 12 Huruf a atau Huruf b atau Pasal II Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain Marianus, Bupati Sabu Raijua Marthen Dira Tome juga ditangkap KPK dalam kasus dugaan korupsi dana pendidikan luar sekolah (PLS) sebesar Rp77 Miliar pada 2007 di Nusa Tenggara Timur.

Kasus Marianus dan Dira Tome hanyalah salah satu modus korupsi di NTT.

Dalam sejarah kasus korupsi di NTT dari masa ke masa, demikian ICW, para koruptor di NTT menggunakan berbagai macam modus untuk menggarong uang rakyat.

Pertama, mark up sebanyak 76 kasus dengan total kerugian Negara Rp 541 Miliar.

Kedua, penyalahgunaan anggaran sebanyak 68 kasus dengan total kerugian Negara Rp 455 Miliar.

Ketiga, penggelapan sebanyak 62 kasus dengan kerugian Negara Rp 441 Miliar.

Keempat, penyalahgunaan wewenang sebanyak 20 kasus dengan kerugian Negara Rp 3,6 Triliun.

Kelima, laporan fiktif sebanyak 59 kasus dengan kerugian Negara Rp 160 Miliar.

Keenam, suap sebanyak 51 kasus dengan kerugian Negara Rp 67,9 Miliar dan pencucian uang sebesar Rp 57 Miliar.

Ketujuh, kegiatan/proyek fiktif sebanyak 47 kasus dengan kerugian Negara Rp 321 Miliar.

Total kerugian Negara akibat korupsi di NTT mencapai angka Rp 5,6 Triliun lebih!

Sementara itu, data PIAR 2018 menunjukkan, 70% kasus-kasus korupsi di NTT di-peti-es-kan.

Massa Aksi Melawan Korupsi dan Oligarki

Banyaknya kasus-kasus korupsi di NTT membuat kita bertanya-tanya, seberapa berhasil KPK mencegah dan memberantas kasus-kasus korupsi di NTT?

Mengapa kerja-kerja investigatif KPK hanya sanggup mencokok dua (2) kepala daerah di NTT?

Di tengah kasus bahwa setiap kepala daerah di NTT terima fee 10% dari setiap proyek yang dikerjakan, mengapa tidak kunjung terdengar  kabar upaya pencegahan dan pemberantasan dari pihak KPK?

Siapa yang paling diuntungkan dari ribut-ribut tentang KPK ini?

Catatan ini akan ditutup dengan jawaban singkat atas pertanyaan terakhir.

Yang paling diuntungkan dari polemik ini adalah para kapitalis dan oligarkis yang hidup menggerombol di Jakarta sebagai pusat kekuasaan ekonomi politik.

Juga para kapitalis dan oligarkis di NTT yang ambil profit dari rekan-rekannya di istana dan senayan.

Mereka diuntungkan karena sudah berhasil melakukan hegemonisasi wacana tentang KPK: pelemahan, penguatan, radikalisme, polisi Taliban, polisi India, dan lain-lain.

Ribut-ribut soal KPK hanya menampilkan panggung depan persoalan, tetapi gagal menyingkap panggung belakang persoalan.

Panggung depan persoalan adalah isu penguatan KPK vis a vis potensi gagal total pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia di bawah kendali struktur kepemimpinan baru KPK dengan UU yang telah direvisi.

Sementara itu, panggung belakang persoalan adalah bagi-bagi kekuasaan ekonomi politik di antara kalangan oligarkis dan kapitalis.

Suksesi kepemimpinan baru KPK yang disinyalir bermasalah dan isu pelemahan KPK melalui revisi UU KPK merupakan panggung depan persoalan sebagai refleksi atau cermin pertarungan kapital di panggung belakang.

Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Irjen Firli memperlihatkan, dia memiliki aset sebesar Rp 18,2 M, lebih besar hampir 18 kali lipat dari 4 komisioner KPK lainnya. Nawawi Rp 1,8 M, Nurul Rp1,8 M, Alexander Rp 3,9 M, dan Lili Rp 700-an Juta.

Dari mana Irjen Firli mengakumulasi kekayaannya ini?

Komisi III DPR RI adalah eksekutor Capim KPK dan revisi UU KPK.

Para wakil rakyat ini merupakan para petugas partai politik yang berutang budi dan duit pada Parpol sebagai induk semangnya.

Sementara itu, partai politik selalu butuh dukungan uang segar untuk membiayai ongkos politik elektoral yang kian mahal.

Tidak heran jikalau setiap Parpol punya backing kapital di saku para kapitalis dan oligark.

Dengan kekuatan uang, para kapitalis dan oligark, dayang politik yang sesungguhnya, menyandera partai-partai politik di Indonesia.

Selanjutnya, Parpol menyandera pion-pion politik dalam rupa para wakil rakyat di senayan untuk selalu berbuat sekehendak hati kapitalis dan oligark.

Salah satu perbuatan wakil rakyat bikin senang Parpol untuk selanjutnya bikin girang kapitalis dan oligark adalah bikin lemah KPK hingga menjadi lemah selemah-lemahnya.

Mengapa KPK harus dibikin lemah?

Sebab, korupsi adalah anak kandung dan urat nadi kapitalisme.

Di mana ada kapitalisme, di sana korupsi memamahbiak.

Sebab, kapitalisme hanya dapat eksis melalui penguasaan alat-alat produksi oleh kelas kapitalis dengan merampas nilai lebih dari kelas pekerja untuk mengakumulasi kekayaan.

Misalnya, dalam kasus Marianus, Wilhelmus memberi suap Rp 4,1 M kepada Marianus karena hendak mengakumulasi profit dari total nilai proyek Rp 54 Miliar. Si kapitalis Wilhelmus bisa melakukan ini karena dia punya alat produksi untuk kerja proyek-proyek infrastruktur di Ngada.

Marianus hanyalah pion di tangan Wilhemus untuk mengakumulasi kekayaannya secara tanpa batas.

Kasus Marianus di NTT menunjukkan, proyek infrastruktur Jokowi selain mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi juga menjadi ladang basah korupsi dengan aktor utama pengusaha atau kontraktor dan penyelenggara Negara.

Demokrasi dalam cengkeraman oligarki.

Itulah panggung belakang persoalan sesungguhnya.

Panggung belakang itu coba ditutup-tutupi dengan isu tentang radikalisme polisi taliban vs polisi India di KPK, misalnya.

Bisa dipastikan, KPK yang menjadi semakin lemah adalah cita-cita para oligark dan kapitalis di negeri ini.

Mereka tidak ingin kerja-kerja akumulasi kekayaan melalui perampasan nilai lebih kelas pekerja diganggu oleh lembaga superbody seperti KPK.

Mereka akan berusaha sedemikian rupa agar KPK bisa berada dalam cengkeramannya. Cengkeraman oligarki.

Pada titik ini, keberadaan Dewan Pengawas KPK dan kewenangan SP3, yang disetujui Presiden Jokowi dengan dalih check and balances serta perlindungan HAM, adalah instrumen legal para oligark dan kapitalis mengontrol KPK dengan kekuatan uang yang ada padanya.

Siapa yang bisa menjamin kaum oligark dan kapitalis, dengan pion-pionnya dalam rupa partai politik, tidak mengongkosi Dewan Pengawas dan meminta KPK terbitkan SP3 untuk sebuah kasus korupsi yang mengganggu status quo ke-oligarki-an mereka?

Dengan demikian, kita harus berduka, jalan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia pada umumnya dan di NTT pada khususnya akan semakin panjang, lama, dan berat.

Sebab pokoknya adalah demokrasi kita sudah dibajak sejak awal hingga sekarang oleh oligarki.

Dalam penelitian Hadiz dan Robison, setelah kran demokrasi di Indonesia dibuka paska 3 dekade otoritarianisme, para oligark mereorganisasi diri dan main peran penting dalam mengelola kekuasaan ekonomi politik di Indonesia hingga kini.

Pada akhirnya, upaya mencegah dan memberantas korupsi mesti ditafsir sebagai upaya melawan oligarki.

Massa aksi dan aksi massa rakyat adalah kekuatan utama menggembosi kekuasaan oligarki di negeri ini.

Akan tetapi, sebelum sampai ke sana, perlu dilakukan semacam hegemonisasi wacana kontra oligarki-kapitalisme di ruang publik.

Menjadikan korupsi sebagai percakapan harian di antara rakyat jelata, yang kemudian menjelma menjadi massa aksi dan aksi massa melawan korupsi, jauh-jauh lebih penting dari pada menyerahkan nasib KPK di tangan Jokowi, simbol dari elite politik yang telah ditunggangi kepentingan ekonomi politik para oligark dan kapitalis di negeri ini.

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

Oleh: Silvano Keo Bhaghi

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari Silvano Keo Bhaghi

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai