Kekerasan Seksual, Akar Masalah, dan Kebijakan Penuntasan

Spread the love

Pada beberapa pekan belakangan, masyarakat Nusa Tenggara Timur dikejutkan dengan beberapa pemberitaan mengenai kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.

Di Ngada, seorang gadis berkebutuhan khusus menjadi korban pemerkosaan dua pemuda secara bergilir.

Di Manggarai, seorang pria dewasa diduga menyetubuhi seorang gadis dibawah umur.

Beberapa minggu sebelumnya, tanggal 26 Februari 2021, terjadi kasus percobaan pemerkosaan terhadap anak dibawah umur di Flores Timur.

Pada kasus terakhir, modusnya jauh lebih kompleks, dan tergolong baru untuk situasi sosial masyarakat NTT.

Pelaku menggunakan modus ancaman akan menyebarkan video dan foto bugil dan mengajak korban berhubungan badan.

Pelaku berjanji akan menghapus foto dan video yang disimpannya dengan syarat  korban harus rela ditiduri. Sungguh tak beradab!.

Dua kasus pemerkosaan yang terjadi di Manggarai dan di Ngada, serta peristiwa percobaan pemerkosaan di Flores Timur merupakan kejahatan seksual yang mengoyak sanubari kita.

Sesungguhnya, kejahatan semacam ini menciptakan trauma psikologis serius yang sangat mengganggu fungsi dan perkembangan otak dan merusak masa depan korban.

Proses penyembuhan dan pemulihan psikologi korban adalah bagian tersulit yang harus dihadapi oleh perempuan sebagai korban kejahatan seksual.

Mereka bisa pergi dari masa lalu, tetapi, memori pengalaman buruk dan traumatis psikis serta kecacatan fisik akan terbawa terus ke masa depan.

Dalam beberapa kasus, pemerkosaan bisa menyebabkan stres akut atau post-traumatic stress disorder  (PTSD) sehingga pasca kejahatan seksual, seseorang dapat mengalami depresi mental yang  luar biasa besar.

Akar Masalah

Kasus kekerasan seksual, jika diselisik lebih jeli, bukan hanya persoalan hukum, moral, dan etik semata, bergeser dari situ, sebetulnya ada ketimpangan struktur sosial dalam masyarakat kita. Dan hal ini, agaknya sering luput dari perhatian kita.

Saya melihat, bagaimana prespektif patriarki yang bercokol dalam budaya kita dalam banyak hal telah menghadirkan bentuk relasi kekuasaan yang timpang antara laki-laki dengan perempuan dan sangat berpengaruh menjadi pemicu terjadinya kasus kekerasaan seksual.

Kedudukan perempuan dalam masyarakat kita yang kerap berada dalam posisi tersubordinasi secara kultural dari laki-laki, agaknya, masih diterima oleh semua orang dan dipraktikan dengan nyaman di dalam ikatan relasi sosial.

Perempuan, dalam prespektif patriarki yang mendarah daging, boleh jadi hanya dilihat sebagai objek untuk menyalurkan hasrat, bukan sebagai rekan setara yang perlu dihormati dan dihargai.

Tesis yang saya kemukakan soal pengaruh budaya patriarki dengan kasus kekerasan seksual agak prematur memang, tetapi bukti di lapangan agaknya mendukung itu.

Sebab, berkali-kali upaya hukum dibuat dengan ancaman berlapis yang memberatkan pelaku, berkali-kali juga kasus kekerasan seksual terjadi dan mengaggetkan kita semua. Hal ini boleh jadi karena persoalaan dasar tidak pernah terselesaikan dengan baik.

Masyarakat kita harus mulai diberi pemahaman bahwa perempuan adalah pribadi yang memiliki otoritas yang setara dengan laki-laki.

Kondisi ini bisa kita mulai dari rumah tangga, lingkungan rumah tinggal, kampung-kampung, ruang-ruang publik atau bahkan di lingkup birokrasi pemerintahan.

Kebijakan Penuntasan Masalah

Kasus pemerkosaan yang saban kali terjadi, harus mendapatkan atensi publik, terlebih bagi para pengambil kebijakan untuk melindungi hak perempuan dalam kehidupan sosial dan budaya di masyarakat melalui sebuah regulasi yang berpihak kepada perempuan.

Kelompok pengambil kebijakan perlu melakukan upaya proteksi terhadap nilai susila dan moralitas publik melalui keberpihakan kebijakan kepada kelompok rentan, termasuk perlindungan dan penghargaan terhadap perempuan dalam ekosistim sosial seperti politik, hukum, dan budaya. 

Setidaknya, saya berpandangan bahwa, ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai upaya untuk mengatasai kekerasan pada perempuan dari sisi kebijakan.

Pertama, perlu ada langkah proteksi dari pemerintah melalui pendekatan yang menghargai perempuan, terutama ketika kekuatan teknologi informasi sedang membanjiri ruang-ruang privat.

Kedua, memberi ruang untuk praktik budaya positif, kearifan lokal, dan agama yang bersinergi dengan kurikulum pendidikan dan tata kehidupan sosial.

Orientasi dan target di sektor pendidikan tidak sebatas meningkatkan kecerdasan intelektual dan penguasaan teknologi serta pembentukan keterampilan tetapi juga menyangkut pembentukan kecerdasan emosional dan spiritual.

Ketiga, menguatkan peran keluarga dalam membentuk karakter anak melalui pendidikan keluarga. 

Keluarga harus dilihat sebagai lingkungan awal dan tempat pertama dalam membentuk karakter dan moralitas individu

Keteladanan dalam keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan dan penghormatan atas perempuan adalah modal utama dalam membantuk watak, kecerdasan emosional dan spiritualitas anak, terlebih dalam relasi sosial untuk lebih menghargai perempuan.

Keempat, perkuat sanksi hukum positif terhadap pelaku kejahatan seksual dengan pola hukuman maksimal sekaligus juga membuat regulasi yang dapat memulihkan masalah korban secara utuh.

Kita berharap dinas pemberdayaan perempuan dan anak di kabupaten menunjukkan peran dan kinerjanya lebih jelas, lebih-lebih pada upaya advokasi dan pendidikan di tingkat akar rumput sebagai tindakan pencegahan dan pendampingan bagi korban.

Kita tentu harus mengutuk keras perilaku tak beradab ini, sambil secara jeli dan intens manaruh perhatian yang serius terhadap kasus ini agar proses penegakan hukum dapat dilakukan dengan prinsip pemenuhan rasa keadilan yang utuh baik dari sisi korban maupun pelaku.

 

Salam hangat 

Arnoldus Wea

Co-Founder Gerakan DHEGHA NUA dan Yayasan ARNOLDUS WEA

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

Satu tanggapan untuk “Kekerasan Seksual, Akar Masalah, dan Kebijakan Penuntasan

  1. Jangan lupa bahwa dari jumlah tindak pidana kesusilaan, Kasus perkawinan sedarah antara orangtua dan anak (Parental Incest) juga tinggi disamping perkawinan antar saudara kandung (Sibling Incest ) serta hubungan dilakukan keluarga dekat (Family Incest) dengan sejuta alasan mengapa terjadi peristiwa memiluhkan dan memalukan itu. Kategori parental inses merupakan kategori terberat dalam kriteria inses dimana inses ini merupakan inses yang benar-benar murni dari hubungan sedarah yang merupakan inti dari keluarga, karena perbuatan tersebut dilakukan oleh orangtua terhadap anak-anaknya sendiri, siklus perbuatan inses yang terjadi pada akhirnya akan terulang kembali, dan inses yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak merupakan perbuatan yang di kategorikan semakin berat dan dilakukan dengan sering oleh orangtua karena kekuasaan orang tua yang kuat. Orangtua dan anak yang terjebak dalam hubungan semacam ini akan mengalami “learned helplessness” (belajar menerima ketidakberdayaan) dan menjadi submisif (penurut). Artinya dari waktu ke waktu anak yang melakukan perbuatan inses cenderung memilih untuk bertahan menghadapi hasrat seksual dari orangtua dan tidak mampu menolak atau meninggalkan perbuatan tersebut dengan alasan bahwa keluarga inti yang melakukannya. Jika melihat dengan Kebijakan Penuntasan di atas, maka sepertinya tidak akan pernah ketemu, sebab Inses sebagai perbuatan pidana dilakukan secara diam-diam dan berlangsung lama (misalnya terjadi sejak kelas VI SD sampai Kelas XI SMU). Akan sangat cepat terungkap bila ada akiibat dari perbuatan pidana tersebut seperti terjadi kehamilan, atau kekerasan fisik yang berakibat korban (anak) melaporakan kebejatan orangtuanya, baik pada Mama maupun pada pihak ketiga atau Aparat Penegak Hukum. Keluarga yang taat agama dan mapan dalam hal ekonomi (fiskal) saja belum cukup untuk mencegah peristiwa itu.

Komentar ditutup.