Penangkapan Aziz Syamsuddin dan Korupsi di Tanah Air

Spread the love

Korupsi masih menjadi masalah serius yang sedang dihadapi oleh Negara. Bangsa yang besar ini, dengan segala kekayaan alam yang ada didalamnya, mungkin saja bisa jatuh ke dalam ambang kehancuran akibat ulah koruptor.

Korupsi jelas sebuah kejahatan besar yang memberikan dampak buruk bagi kehidupan Bangsa. Kegiatan merampok uang rakyat oleh para pejabat Negara, boleh jadi, sedang menggambarkan bahwa kita tengah terjebak dalam degradasi moral bernegara.

Ditengah kesulitan pemerintah dalam menggerakkan roda pembangunan guna menciptakan keadilan ekonomi, Negara justru gagal mencetak pejabat untuk menduduki berbagai posisi penting dan strategis.

Dalam banyak kasus, koruptor yang tertangkap dan terjerat dalam berbagai kasus korupsi justru pejabat tinggi negara, orang yang paling sering berbicara tentang kepentingan rakyat dan integritas.

Penangkapan Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsuddin oleh KPK beberapa waktu yang lalu secara gamblang menunjukkan hal itu.

Praktek koruptif sering dilakukan oleh elit secara terselubung dan terlepas dari sorotan mata publik. Pengungkapan kasus seringkali membutuhkan lebih banyak energi dan sumber daya. 

Selama kasus korupsi masih menjadi misteri dan aman tersembunyi, biasanya pejabat gemar bersilat lidah di depan publik.

Syamsuddin, bukanlah satu-satunya koruptor dari golongan pejabat negara yang berhasil ditangkap oleh KPK. Boleh jadi, ada begitu banyak tersangka lain yang tidak dan atau belum terungkap.

Korupsi sebagai extra ordinary crime telah mendapat perhatian khusus dari Negara lewat pembentukan lembaga KPK, tetapi, kejahatan luar biasa ini malah tidak terselesaikan sampai saat ini.

Siapa yang Gagal?

Keadaan ini pada akhirnya sampai pada sebuah pertanyaan, “Siapakah yang gagal dan mengapa masih gagal memberantas korupsi?”.

Pertama, pihak yang paling bertanggungjawab atas kegagalan Negara dalam menuntaskan masalah korupsi saat ini adalah pemerintah itu sendiri. Unsur pemerintah bukan saja eksekutif tetapi di dalamnya ada legislatif dan yudikatif.

Korupsi erat kaitannya dengan jabatan dan kekuasaan, sehingga perilaku koruptif justru beredar di ruang eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Tidak heran, jika para pelaku korupsi yang tertangkap selama ini selalu dari unsur pejabat pemerintah, wakil rakyat, jaksa, hakim, atau mereka yang dekat dengan kekuasaan.

Ruang kekuasaan dapat menjadi katalisator terciptanya perilaku koruptif yang seringkali tidak disadari dengan baik oleh banyak pejabat.

Kedua, persoalan sistem yang gagal menciptakan manusia yang berintegritas. Demokrasi yang pada awalnya bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan kesetaraan seluruh warga melalui jaminan atas kebebasan.

Dalam praktek nyata, malah menghasilkan kebebasan semu dengan tereduksinya nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

Demokrasi saat ini, justru menciptakan tembok pemisah antar kelas untuk mengakses kekuasaan sehingga rakyat kecil, yang boleh jadi jauh lebih berintegritas, sulit secara politik untuk masuk ke dalam ruang kekuasaan.

Akibatnya, rakyat sulit terlibat dalam menentukan kebijakan. Pada akhirnya yang mampu berada di dalam ruang politik hanyalah pemodal kaya.

Baca Juga: Bupati dan CEO

Peran rakyat kecil dalam demokrasi lebih sering hanya sebatas di bilik suara, atau hanya sampai pada aksi masa yang gampang dipolitisir, atau berhenti pada kritik publik sebagai bentuk kontrol non formal terhadap penyelenggara negara.

Politik transaksional dan korupsi bisa saja sebuah hal lumrah asal tersembunyi dari mata publik. Siapa yang berjalan sendiri dan tidak saling menguntungkan akan terdepak dari kekuasaan, misalnya saja, lewat penangkapan oleh KPK.

Hal semacam ini merupakan akhir yang buruk bagi perjalanan karir seorang politisi tetapi bagi rakyat ini adalah fakta amoral dalam kehidupan politik.

Salah satu hal yang paling buruk dari kehidupan demokrasi saat ini adalah sistem politik yang mahal, tetapi, wakil rakyat, kepala daerah, bahkan presiden justru dikontrol oleh partai bukan oleh rakyat atau konstituen. Partai menjadi penentu sikap dan kebijakan para pejabat publik. 

Memperbaiki sistem politik bukanlah hal yang mudah.  Sejak awal kehidupan demokrasi sudah terlanjur diisi oleh oligark, oleh karenanya, biaya politik menjadi mahal sehingga rakyat kecil menjadi sangat sulit mengakses posisi penting dan strategis. 

Keadaan yang sedemikian rumit dapat memaksa seseorang untuk melakukan tindakan korupsi agar dapat berkuasa atau mempertahankan kekuasaan.

Pada titik ini, hipotesis sementara adalah bahwa mahalnya biaya politik telah menjebak seorang politisi jatuh ke dalam persoalan korupsi. Untuk itu, upaya pemerintah dalam mengatasi masalah korupsi tidak cukup sebatas membentuk lagi lembaga anti rasuah.

Komitmen Negara harus dimulai dengan perbaikan sistem politik mulai dari  pola rekruitmen kader, menekan biaya politik, dan mempertegas eksistensi partai politik.

Ketiga, korupsi yang terus terjadi juga dipengaruhi oleh rendahnya integritas individu. Integritas menjadi hal terpenting yang sangat sulit ditemukan dalam watak dan perilaku pejabat hari-hari ini.

Bahkan, aktivis jalanan ketika masuk ke dalam ruang kekuasaan tiba-tiba bungkam dan tidak berdaya atas iklim yang jauh berbeda antara di dalam dan di luar kekuasaan.

Tentu tidak bijak apa bila disimpulkan bahwa semua pejabat saat ini dinilai korup hanya karena semakin banyak elit yang sudah tertangkap oleh penegak hukum selama ini.  Akan tetapi, masyarakat patut menduga, bahkan secara akademis perlu dibangun sebuah hipotesis bahwa korupsi merupakan praktek umum dalam sistem politik Indonesia saat ini.

Belajar dari Syamsuddin

Melalui kasus Syamsuddin serta dengan melihat berbagai kasus korupsi di tanah air, rakyat pada akhirnya memiliki catatan khusus bagi para politisi yang sedang berkuasa hari ini. Kenyataannya, pejabat publik dapat dengan mudah melakukan korupsi karena memiliki kewenangan, otoritas, fasilitas dan logistik memadai yang disediakan oleh negara.

Politisi juga mudah membohongi rakyat sekalipun dalam hal yang dapat dicerna oleh indra manusia lalu gampang diingat dari waktu ke waktu seperti halnya ketidakjujuran mereka dalam menyampaikan janji dan orasi politik.

Jika hal kasat mata saja dapat diabaikan maka bukan tidak mungkin mereka mudah berbuat curang terhadap hal yang tersembunyi. Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang membutuhkan kegigihan untuk mendeteksi dan membongkar kebenaranya.

Rakyat dengan segala keterbatasan tentu sulit menjangkau hal semacam itu guna memberikan kontrol dan sanksi publik.

Tetapi kontrol sosial tetap diperlukan sesulit apapun melawan arus kekuasaan. Masyarakat berhak mengawasi pemimpinnya yang bermasalah dan berpotensi korupsi. 

Pemimpin yang cenderung berbohong, “lain bicara tapi lain yang diperbuat”, tipikal dan gaya kepemimpinan seperti ini layak mendapatkan perhatian serius baik oleh rakyat maupun oleh Negara lewat lembaga penegak hukum yang ada.

Pada akhirnya, kita semua berharap persoalan korupsi di tanah air dapat segera diatasi bukan sebatas penangan terhadap masalah-masalah yang bersifat kasuistis melalui upaya hukum, tetapi, selebihnya diperlukan pencegahan dengan cara mengeliminir akar masalah yang berpotensi menciptakan perilaku korupsi oleh para pejabat.

Salam hangat 

Arnoldus Wea

Co-Founder Gerakan DHEGHA NUA dan Yayasan ARNOLDUS WEA


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai