Apa Kabar English Day di NTT?

Spread the love

Saudari dan saudara terkasih, masih ingat?

Sejak resmi dilantik menjadi Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 5 September 2018 lalu, Viktor Bungtilu Laiskodat langsung menjadi satu dari beberapa sentral perbincangan publik NTT.

Hal ini dipicu oleh ucapan-ucapan Viktor yang dikutip media-media, yang polemis bahkan kontroversial.

Kaki para pelaku human trafficking akan dia patahkan, kepala Kadis Nakertrans akan dia tendang bila masih menjabat sebagai kadis setelah dia meminta Sekda untuk memberhentikannya, orang muda yang suka tidur di atas 5 jam sehari akan dia buang ke laut, dan beberapa keputusan lainnya. Amazing!

Sebagai yang sangat tidak terbiasa berhadapan dengan pemimpin model ini, publik NTT tentu reaktif. Di media-media sosial, Viktor ramai diperdebatkan.

Salah satu kebijakan yang segera jadi polemik, masih ingat?

Yah, itu. Viktor mengeluarkan Pergub Nomor 56 Tahun 2018 tentang Hari Berbahasa Inggris.

Aturan ini berlaku tiap Rabu. Pergub ini ditetapkan untuk mendukung progres pariwisata yang jadi sektor unggulan di NTT, yang juga jadi andalan Viktor dan wakilnya, Josef Nae Soi, pada kesempatan debat bersama 3 cagub-cawagub kali lalu.

Aturan ini bertujuan menjadikan bahasa Inggris sebagai salah satu media komunikasi dalam aktivitas perkantoran dan dalam keseharian hidup warga NTT.

Aturan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi berbahasa internasional bagi ASN, karyawati/wan swasta, dan seluruh komponen masyarakat, sebagai persiapan menghadapi deras arus globalisasi yang mau tak mau, merengsesk masuk hingga ke urusan bahasa. Luar biasa!

Pro-kontra jelas lahir di tengah publik.

Warganet NTT yang setuju dengan Pergub ini, antusias menyambutnya. Pergub ini dinilai bagus dan merupakan gebrakan positif yang patut didukung.

Masyarakat NTT diyakini akan memiliki daya saing yang bagus, di masa mendatang. Pihak-pihak yang pro, langsung mempraktikkannya.

Di media-media sosial, bahasa Inggris mulai digunakan, baik menyampaikan hal lain maupun berargumen mendukung Pergub ini. Viktor sendiri langsung menggunakan bahasa Inggris, pada hari pertama berlaku.  

English Day NTT
Oleh: Reinard L. Meo

Pihak kontra pun tak kalah jumlahnya. Pergub ini dinilai terlalu lebay. Ada yang berpendapat, “Aeee, bahasa Indonesia yang baik dan benar saja masih jatuh-bangun, ini kita dipaksa lagi berbahasa Inggris…!”

Gerutuan demi gerutuan terkait Pergub ini, bertebaran di dunia maya. Pergub ini terlalu “memaksa”, tanpa peduli pada apa dan bagaimana kenyataan riil masyarakat NTT.

Tanggapan cukup serius datang dari Kantor Bahasa NTT. Viktor diminta meninjau ulang Pergub ini. Selain karena dalam penggodokan aturan ini, pihak Kantor Bahasa NTT dan ahli bahasanya tidak dilibatkan, Pergub ini ditakutkan berpotensi menjadikan bahasa asing lebih utama.

Sebagai penjaga gawang bahasa nasional, Bahasa Indonesia, pihak Kantor Bahasa amat menyayangkan ini semua. “Harusnya ada Pergub tentang penggunaan bahasa negara dulu. Juga Pergub tentang penggunaan bahasa daerah. Ini malah langsung ke negara asing”, ungkap ketua Kantor Bahasa NTT.

Pemda NTT didesak untuk lebih dahulu menjunjung tinggi bahasa Indonesia.

***

Saya masih ingat, sehari sebelum berlaku, di sebuah grup whatsapp beranggotakan orang-orang NTT, Pergub ini diperbincangkan.

Ada yang tegas menolak, tak terlalu tegas menolak, menerima, sangat menerima, hingga mulai dijadikan lelucon. Lelucon kemudian terasa paling kuat, dari semua respons yang ada.

Seorang sahabat–sebut saja namanya Gege–tepat beberapa menit setelah Pergub ini berlaku, mengunggah sebuah kisah fiktif di facebook-nya.

Dikisahkan, pada sebuah resepsi pernikahan, seorang pemuda yang sedang rapat berdansa dengan seorang pemudi, ditanyai oleh pemudi tersebut. “Do you understand?” Si pemuda sigap melepaskan pelukan lalu merogoh saku celananya.

Kamus kecil Inggris – Indonesia telah dia siapkan sebelum menuju tempat resepsi itu. Dia lalu mengecek, apa arti under dan stand. Under artinya di bawah, stand artinya berdiri. “Memang, saya punya barang di bawah sudah berdiri dari tadi..!” Lalu pemuda itu membawa si pemudi ke tempat sepi lagi gelap dan “melakukannya”.

Sahabat saya itu pun menutup, si pemuda kemudian harus membayar denda adat, sesuai aturan yang berlaku di kampung itu.

***

Secara pribadi, saya menilai Pergub ini sangat positif dan visioner. Dibanding ucapan-ucapan dan ancaman-ancaman kontroversial juga oh my God Viktor dan kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya, aturan ini saya kira baik.

Sekali lagi, penilaian ini tentu subjektif. Kendati begitu, saya juga tak menutup mata terhadap fakta riil di tengah masyarakat. Bahwa Pergub ini begitu “memaksa”, saya kira ini respons yang sah. Orang-orang NTT yang umumnya petani, pedagang, dan peternak, tentuk merasa Pergub ini sangat tidak ramah.  

Namun, saya ingin membentangkan fakta lain, mengapa Pergub ini saya nilai positif dan visioner.

Di NTT, campur tangan Belanda sangat kuat. Sulit membayangkan perkembangan dalam dunia pendidikan dan kehidupan agama Kristen (mayoritas di NTT) sampai detik ini, tanpa serentak menaruh pihak Belanda pada posisi yang penting.

Dahulu, para misionaris (pastor) Belanda datang ke NTT dan mulai mambangun sekolah-sekolah dan gereja. Infrastruktur-infrastruktur pendukung ekonomi pun, saya kira jejaknya masih membekas hingga kini.

Para misionaris itu bekerja sama dengan warga-warga lokal, dalam mendukung misi yang mereka bawa. Orang-orang NTT yang punya relasi mantap dengan orang-orang Belanda pada masa itu, sampai sekarang masih dapat berbicara dan mengerti bahasa Belanda.

Di seminari-seminari (lembaga pembinaan para calon pastor) di NTT, bahasa Belanda diajarkan, menyusul bahasa Latin dan Inggris. Hari-hari ini, bahasa Belanda mungkin tak lagi intens diajarkan, tapi bahasa Latin dan Inggris wajib.

Kenyataan ini, kalau mau ditarik semacam kesimpulan umum, menunjukkan betapa orang-orang NTT itu sebetulnya sangat adaptif secara linguis.

Di kampung-kampung di Bajawa, Flores, NTT, misalnya, orang masih menggunakan ‘studi’ untuk belajar, ‘kopen’ untuk memainkan bola dengan kepala, ‘hanger’ untuk penggantung pakaian, dan lain-lain.

Bahasa-bahasa asing itu masih membekas dan sulit dihilangkan. Tambah lagi benda-benda teknologi yang kian berkembang, orang-orang NTT sudah terbiasa menggunakan copy-paste, enter, dan sebagainya.  

Bertolak dari kenyataan-kenyataan ini, yang perlu diubah sebetulnya cara pandang masyarakat terhadap Pergub ini. Di sini, peran warganet aktif sangat menentukan. Sosialisasi yang suportif perlu dilakukan.

Sebagai contoh, Komunitas KAHE, Maumere, Flores, NTT, dalam grup whatsapp-nya, menyambut baik Pergub ini. Pada Rabu minggu pertama berlakunya Pergub ini, komunikasi selama sehari itu langsung berbahasa Inggris. Bahkan, anggota grup yang punya kemampuan lebih, langsung diminta jadi leader. Terciptalah semacam kelas baru di sana.

Dari sini, tentu diharapkan agar semakin luas disosialisasikan ke tengah masyarakat. Selain itu, sekolah-sekolah di NTT perlu lebih serius merespons Pergub ini. Bila di dunia maya, Pergub ini terlanjur jadi polemik dan lelucon yang bikin ngakak, sekolah-sekolah harusnya sama sekali tak punya alasan untuk menolak.

Baca Juga: Standar New Normal WHO Tidak Bisa Diterapkan Di NTT, Lalu Kita Mengikuti Pedoman yang Mana?

Pelajaran bahasa Inggris harus makin tekun digeluti. Beragam cara dan metode harus dipakai, karena sekolah merupakan garda terdepan dalam mempersiapkan generasi masa kini menghadapi deras arus modernisasi di masa mendatang.

Kalau Pergub ini menempatkan bahasa asing lebih penting dari bahasa Indonesia dan daerah, sebagaimana diungkapkan ketua Kantor Bahasa NTT, mengapa tak pernah ada protes serius terhadap penetapan bahasa Inggris sebagai salah satu mata uji dalam ujian nasional? Itu!

***

Pada suatu hari Rabu yang saya lupa tanggalnya, di facebook, saya menulis dalam bahasa Inggris.

Terjemahannya kira-kira begini: “Jauh sebelum Pergub ini ditetapkan, siswa-siswa SMP di sebuah seminari di Flores, sudah terbiasa dengan aturan ‘Hari Selasa dan Jumat sebagai Hari Bahasa Inggris’. Tak pernah ada protes, meski aturan itu adalah aturan turun-temurun yang entah kapan ditetapkan!” Jelas saya gegabah, kalau menjadikan seminari sebagai rujukan, tapi, tak salah, bukan? Karenanya, saya sepakat dengan slogan ini: “Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing”. So, mengapa takut belajar bahasa? Jangan sekali-kali merasa inferior!

***

Tiba-tiba, saya teringat akan Pergub ini dan menulis semuanya seperti yang baru saja Anda baca di atas. Kemudian, saya merasa sangat jengkel. Bukan, bukan karena tiba-tiba saya teringat akan aturan English Day itu. Bukan. Saya jengkel karena pembuat prank terbaik, saya kira pemerintah. Apa kabar English Day di NTT? 

 

Oleh: Reinard L. Meo

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Corak atau tulisan menarik lainnya dari Reinard L. Meo


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai