Beternak Babi VS Jadi PNS

Spread the love

Saat sedang ramai-ramainya para lulusan sarjana melakukan pendaftaran untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), seorang kawan saya di Larantuka mengirim pesan efbi yang isinya membuat saya prihatin. Sebut saja namanya Elang. Usianya 28 tahun.

Sudah hampir setahun lebih ini, Elang tak memiliki pekerjaan tetap. Terakhir dia bekerja di sebuah koperasi yang cukup terkenal di Flores dan bertugas menjadi penagih di wilayah Adonara.

Setelah itu, dia memutuskan berhenti, karena menurut dia, kantor terlalu banyak mengeksploitasi tenaga dan pikirannya. Sejak mengganggur orangtua dan keluarga Elang selalu berharap dia mendapatkan pekerjaan di kantor lagi.

Tiga bulan terkahir ini, Elang sedang giat-giatnya membangun kandang babi. Dia memang sudah bertekad menjadi peternak babi. Kepada saya dia sering mengirim pesan yang memberitahukan perkembangan terakhir kandangnya.

Bersama pamannya, Elang sudah siap melakukan investasi dari beternak babi. Di NTT, khususnya di Flores, pasaran untuk para peternak babi memang tak pernah sepi.

Tiga hari lalu Elang menyampaikan kepada saya kalau dia mengalami tekanan hebat dari orangtua dan keluarga. Masalahnya adalah semua mereka menginginkan dia melamar menjadi calon pegawai negeri sipil. Mereka sama sekali tidak mau Elang beternak babi. Padahal dia sudah merencanakan semua hal tentang model peternakannya.

Selain sudah membuat kandang, Elang juga sudah melakukan survei harga babi di pasaran, mencari pasar pakan ternak dari tepung ikan, kapan dia harus melakukan kawin suntik dan hitung-hitungan keuntungan yang akan dia peroleh.

Sayangnya, harapan orangtua dan keluarga yang menginginkan dia menjadi pegawai seolah memupuskan semua perjuangannya selama ini.

“Engko tidak malu ka, tetangga lain sudah pegawai semua, jo engko ni hanya piara babi,” begitu sinis kerabat-kerabatnya sebagaimana dituturkan Elang.

Saya kenal baik sahabat saya ini. Jiwanya bebas, tak ingin banyak dikekang, apalagi soal pilihan hidupnya. Jauh hari, ketika kami berjumpa di Larantuka, mahasiswa lulusan Fakultas Ekonomi Akuntansi Unwira Kupang ini sudah menyampaikan kepada saya kalau dia tidak ingin menjadi pegawai negeri. Dia tengah berinvestasi menjadi wiraswasta.

“Saya punya adik sepupu kan pulang kuliah sudah langsung lolos PNS, lalu keluarga bilang di saya, adik saya saja sudah punya kerja, lalu engko ni piara babi. Aiii dalam keadaan apapun selalu komentar ni. Saya malas le. Susah juga hadapi pola pikir keluarga begitu,” keluh Elang dalam pesannya via efbi, Senin malam kemarin.

Meski tidak berdaya menghadapi pola pikir khas orang NTT itu, Elang sudah berusaha menjelaskan kepada orangtua dan beberapa keluarga dekatnya kalau usahanya beternak babi tak akan sia-sia.

Prospek ke depan  bagus. Memang belum bisa sekali jadi. Dia masih harus keluar modal untuk pakan dan bibit babi. Setidaknya pada awal tahun 2020, peternakannya baru bisa mulai aktif.

Kata Elang, penjelasan macam apa pun sungguh tak membuka pikiran orangtua dan keluarganya. Satu-satunya hal yang mereka mau, Elang bisa ramai-ramai ikut seleksi pegawai negeri sipil yang saat ini sudah masuk tahap pengumpulan berkas.

Elang tidak sendiri. Saya kira ada segelintir orang muda yang mempunyai pengalaman sejenis Elang.

Setelah tamat kuliah, orangtua menyarankan kepada mereka supaya melamar menjadi pegawai negeri sipil. Ada yang tidak bisa memberontak karena tekanan orang-orang sekeliling, ada yang terbawa arus dan ada pula yang acuh tak acuh dan lebih memilih bekerja sesuai passion.

Bagi banyak orangtua, anak menjadi pegawai negeri adalah suatu pencapaian dalam hidup. Status sosial di mata para tetangga pun tidak buruk-buruk amat. Anak sudah punya pekerjaan tetap, punya penghasilan tetap, berseragam kantoran, ada tunjangan, dan ada jaminan hari tua.

Menjadi pegawai negeri memang adalah hak siapa saja. Akan tetapi memilih untuk beternak babi seharunya juga adalah hak setiap orang. Menjadi pegawai negeri atau tidak, seorang sarjana tetap harus bertanggungjawab pada pilihannya bekerja.

Setelah mendengar situasi buruk dari sobat Elang, saya pun berpesan kepadanya untuk tetap fokus pada apa yang sedang dia perjuangkan.

Saya katakan kepadanya, “anggap saja ini adalah badai yang harus engko lewati, kalau badai itu engko bisa lewati, tidak mudah patah arang, maka saya yakin satu langkah sukses sedang menunggu di tangga berikutnya.”

Lalu soal komentar “miring” orangtua dan keluarganya, saya hanya berpesan, “anggap saja komentar itu angin lalu. Jangan terlalu dipikirkan, tidak usah ditanggapi berlebihan. Tetap fokus pada usaha yang sedang dirintis. Yang paling penting itu adalah bertanggungjawab pada pilihan beternak babi. Buktikan kepada mereka kalau menjadi petenak babi secara finansial juga jauh lebih baik dari menjadi pegawai negeri.”

Melawan kehendak hati orangtua yang ingin melihat anaknya sukses sebagai pegawai negeri memang butuh perjuangan lebih bagi siapa saja. Wajar juga, karena memang orangtua siapa yang tidak ingin melihat anak kebanggan mereka mapan secara finansial, ya kan?

Pandangan konservatif ini memang sudah merasuki pikiran banyak orangtua  NTT. Bagi mereka, setiap individu baru bisa disebut bekerja kalau menjadi pegawai negeri; memakai seragam necis, sepatu mengkilap, rambut klimis, masuk kantor pagi hari dan baru pulang sore harinya. Setiap bulan terima gaji dan tunjangan sesuai pangkat dan golongan. Lalu apa yang salah dengan menjadi peternak babi?

Sehari setelah menerima curahan hati Elang, saya meminta dia merincikan perhitungan keuntungannya secara matematis dari usahanya beternak babi. Kemudian dengan sangat antusias, Elang menyebutkan kalau pada tahap awal dia memang butuh banyak biaya karena model kandangnya itu memakai biogas.

Total pembuatan kandang, biogas dan sewa tukang bisa mencapai 20 juta rupiah. Karena belum memiliki banyak bibit babi, Elang mengatakan keuntungan yang dia peroleh baru dihitung lima bulan sekali (3 bulan babi bunting ditambah 2 bulan siap untuk jual).

Dia juga masih mendapati kendala pada pakan ternak babi. Dia berencana bisa memproduksi pakan sendiri yang bisa dia jual ke peternak lainnya juga. Elang menuturkan anak babi kalau dijual seharga 1 juta sampai 1 juta tiga ratus ribu rupiah.

“Anak babi 2 bulan sudah lumayan, satu tahun kalau efektif tiga kali beranak. Kalau per induk minimal 10 ekor, sudah 13 juta rupiah per bulan. Saya masih cari jaringan untuk belajar sistem kawin IB, karena satu spoit sperma bisa untuk tujuh ekor. Cuma memang pakan yang agak susah. Berat di transportasi,” rincinya.

Menurutnya, jangankan pesta sambut baru atau wisuda, pesta nikah sederhana saja orang sudah membutuhkan minimal dua ekor babi. Bisa dibayangkan berapa banyak uang yang akan dia dapat dari hasil beternak babi.

Merintis usaha ini memang tidak mudah. Butuh keberanian lebih. Banyak kendala yang dia hadapi termasuk kebutuhan dua orang tenaga kerja dan modal tambahan untuk pakan ternak dan mengelola biogas.

Dia berusaha meyakinkan saya kalau peternakan yang sedang dia rintis bersama pamannya itu berbeda dengan peternakan lainnya. Mendengar penjelasannya yang detail, apa yang sedang Elang lakukan ini bukan sekadar memelihara satu dua ekor babi. Akan ada puluhan bahkan ratusan babi di kandangnya yang diurus secara profesional sampai pada akhirnya tiba di tangan konsumen.

Ketika saya tanyakan lagi soal PNS, Elang hanya menjawab, “saya sudah masukkan berkas-berkas saja hanya untuk membungkam mulut orangtua dan keluarga. Selebihnya lulus atau tidak, saya tetap akan fokus menjadi peternak babi.”

Jika dua sampai tiga tahun ada seorang jutawan dari hasil beternak babi di Kota Larantuka, maka tak lain lagi, dia itu sahabat saya yang enggan menjadi PNS.

 

Oleh: Ricko Wawo

 

Baca juga tulisan lain di kolom Corak atau tulisan menarik lainnya dari Ricko Wawo

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

3 tanggapan untuk “Beternak Babi VS Jadi PNS

  1. Luar biasa…lanjutkan dan lakukan semua niat baikmu tanpa banyak bicara…..biar bukti yg menjelaskan sema tentang kisah ini…..

  2. Ini pembacaan yg bagus dan menantang
    Slm sukses dari guru kmpung adonara…
    Mungkin saya bisa siap pakan ternakx…

  3. Wah, menarik sekali penuturan kisahnya. Penulis Amat piawai menggambarkan fenomena yang aktual di NTT. Kiranya kisah ini menginspirasi banyak kaum milenial NTT yang mau membuka lapangan kerja di bidang wirausaha.

Komentar ditutup.