Budak Sosmed

Spread the love

Dan tibalah kami pada materi Sosiologi Kelas X tentang “Faktor-faktor Pendorong Interaksi Sosial”. Kurang lebih ada enam. Identifikasi, Imitasi, Sugesti, Motivasi, Simpati, dan Empati.

Tiap anak saya minta memilih satu dari enam faktor ini, lalu memikirkan contoh konkretnya. Masing-masing berpikir. Saling tanya terjadi di antara mereka. Diksusi mulai seru. Kelas mendadak ramai.

Mereka saya beri kesempatan untuk berpendapat. Hampir seisi kelas memilih Imitasi. Meniru. Tiruan. “Berpakaian seperti aktris Korea!”, “Gunting rambur seperti CR7!”, “Lepas janggut seperti Messi!”, “Lari motor seperti Rossi!”, dan sejenisnya. Selanjutnya Motivasi.

Empat yang sisa sepi dari obrolan mereka. Di situ giliran saya menjelaskan. Identifikasi begini. Sugesti begitu. Tentang Simpati dan Empati — saya kira ini topik paling penting dari semua, karena merujuk tepat pada soal “hati” — saya memutuskan untuk agak lama membicarakannya.

Jika empat faktor yang lain, arah geraknya “dari luar masuk ke dalam”, Simpati dan Empati sebaliknya. Simpati dan Empati memungkinkan Interaksi Sosial terjadi dengan alur gerakan “dari dalam ke luar”.

Simpati dan Empati

KBBI V offline mengartikan Simpati sebagai rasa kasihan, keikutsertaan merasakan perasaan orang lain. Sedangkan Empati artinya keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.

Empati jelas lebih dalam dari Simpati. Saya mulai dengan contoh kecil. Anak-anak saya giring mulai dari hal paling sederhana, soal sahabat. Ketika saya tanya, semua menjawab punya sahabat sejati. Saya ajak mereka membedah kesejatian dalam persahabatan mereka itu.

Simpati adalah “dia yang ketika kamu sedang sedih dan menangis, datang dan bilang: semangat, yang kuat”. Empati adalah “dia yang ketika kamu sedang sedih dan menangis, datang memberi kamu tisu”. Temukan perbedaannya. Simpati adalah “dia yang ketika motormu macet, memberimu beberapa alternatif: cek bensin, coba ke bengkel”. Empati adalah “dia yang ketika motormu macet, datang membawa bensin atau sama-sama menemanimu ke bengkel”. Sekali lagi, temukan perbedaannya.

Di wajah mereka, perempuan dan laki-laki, saya melihat kesejatian dalam persahabatan seketika langsung diperiksa. Saya suka melihat anak-anak berpikir. Saya suka melihat anak-anak mulai meragukan segala sesuatu. Saya mau dan tentu sangat suka, ketika anak-anak “tidak menerima begitu saja segala sesuatu yang ada, sebagaimana adanya yang begitu saja”.

“Budak Sosmed”

Setelah raut wajah mereka kembali normal, contoh lain saya tambahkan. Contoh yang agak luas dan kontekstual. Tentang apa yang terjadi di sosial media.

Semua punya minimal satu sosmed. Facebook sudah pasti. Dari Sahabat, kami pindah ke Facebook. “Apakah di sosmed ada Simpati dan Empati?” Kelas hening. Pertanyaan terlalu kabur. Saya sederhanakan. “Apakah ketika kalian main Facebook,  kalian juga bersimpati dan berempati dengan sesama pengguna Facebook yang lain?” Bisik-bisik mulai terjadi, tapi tak kunjung ada jawaban.

Baik. Saya coba menjelaskan. Di sosmed, yang ada hanya Simpati. Tidak ada Empati di sosmed. Raut wajah mereka tambah bingung. Tenang. Saya menerangkan lebih lanjut.

Di sosmed, Simpati muncul saat ulang tahun. Orang hanya menuliskan “HBD, GBU”, “PU+SS”, “Happy Birthday, GBU”, “Panjang Umur, Sehat Selalu, TYM”, dan sejenisnya. Orang hanya bisa sebatas itu. Hanya sampai pada level Simpati. Empati adalah “dia yang membawa kamu kue saat kamu ulang tahun!” Dan itu tak akan pernah mungkin lewat dunia maya. Stiker kue dan lilin tidak akan pernah mungkin seketika lompat dari HP-mu dan jadi nyata ketika muncul dikirim oleh pengguna sosmed yang lain.

Saat kedukaan juga. Hanya ada Simpati. Ketika keluargamu meninggal, di sosmed ramai dengan “RIP”, “Turut Berduka”, “Yang sabar, Tuhan punya rencana lain”, dan sejenisnya. Hanya begitu. Empati adalah “dia yang datang membawa lilin, babi, gula, beras, moke, ke rumah dukamu; dia yang menangis bersamamu!”

Dalam dua situasi ini, kita sebetulnya bisa menentukan perbedaannya. Di sosmed ada Simpati, tapi Empati hanya dan hanya ada di dunia nyata. Kita punya banyak teman di sosmed, tapi kita hanya punya sedikit keluarga dekat yang membawa kue, meniup lilin, memasak makan malam yang enak, atau mengajak makan di resto. Empati tidak butuh sosial media.

Kita punya banyak teman yang turut berduka, tapi kita hanya punya sedikit yang hadir langsung menguatkan, saat patah hati dan hampir putus asa.

“Di sosmed, tidak ada Empati. Dan bila kalian masih merasa bahwa sosmed adalah segala-galanya, paket data habis rasanya mau mati, ke mana-mana minta hotspot , dan galau berat ketika energi HP hampir habis, kalian adalah Budak Sosmed. Hendaklah kita semua menjadi Tuan atas Sosmed kita masing-masing!”

Waktu pelajaran tersisa 5 menit. Saya meninggalkan kelas. Meninggalkan anak-anak di saat isi kepala mereka mulai bercabang ke mana-mana. Saya bisa tahu itu dari mata mereka. ***

 

Oleh: Reinard L. Meo

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Corak atau tulisan menarik lainnya dari Reinard L. Meo

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

2 tanggapan untuk “Budak Sosmed

Komentar ditutup.