Kesalahpahaman Saat Berkirim Pesan Singkat Tanpa Emoji dan Huruf Ganda di Akhir Kalimat

Spread the love

Suatu waktu, saya menerima pertanyaan bernada takut dari adik. Ia menanyakan, apakah saya marah atau tidak? Tentu saya kebingungan, mengapa adik saya menanyakan hal tersebut.

Sebelum saya menjawabnya, saya justru menanyai balik adik saya. Saya bertanya lebih lanjut ke dia, apa dasar yang membuat ia mengira saya marah?

Usut punya usut, dia menyangka demikian setelah saya hanya membalas pesannya dengan kata singkat, “Iya, Dik.”

Katanya, saya dianggap terlalu cuek. Ia menafsirkan itu karena saya menuliskan pesan benar-benar sesuai ejaan. Tidak disertai emoji ataupun kata yang menggambarkan sedang tertawa seperti: hahahaha, wkwkwkwk, hehehe, dan lain sebagainya.

Saat itu, kami memang sedang berbalas pesan melalui WhatsApp. Ia meminta tolong saya untuk mengisikan ulang saldo di aplikasi perbelanjaannya. Tentu saya iyakan.

Saya rasa, respons saya benar dan tidak menyalahi aturan apapun. Namun siapa sangka, malah berbuntut salah penerimaan bagi adik saya.

Sampai-sampai ia telah berpikir macam-macam dan terlalu jauh. Ia khawatir kalau-kalau pesan darinya mengganggu aktivitas yang tengah saya jalankan.

Atau mungkin saya keberatan dimintai tolong. Bahkan ia sudah berniat untuk mengurungkan permintaannya.

Agar kesalahpahaman tersebut tidak berlarut, lantas saya jelaskan secara mendetail ke adik. Saya sama sekali tidak marah bahkan dengan senang hati akan menambahkan saldo untuknya. Mungkin saja, cara saya menulis pesan terkesan kaku. Sehingga ia menangkapnya sebagai tanda kemarahan saya.

Sebenarnya, bukan sekali ini saja saya diprotes atau diinterograsi orang-orang sekitar hanya gara-gara cara saya menulis pesan. Saya dianggap terlalu formal dan kaku lantaran menuliskan pesan di aplikasi perpesanan instan secara baku. Mengikuti tata bahasa yang benar. Tidak menyertakan aneka gif, stiker, atau emotikon untuk menegaskan emosi yang ingin saya sampaikan.

Misalnya, ketika saya ingin mengungkapkan kebahagiaan, harusnya saya memakai simbol senyum atau tertawa terbahak. Jika sedang bersedih, saya harus mewakilinya dalam pesan dengan mencantumkan stiker bersuasana duka atau berkabung. Contohnya semacam itu.

Orang-orang juga kerap menyimpulkan bahwa saya adalah pribadi yang tegas dan susah diajak bercanda. Pendapat mereka ini dilatari karena tiap kali berkirim pesan dengan saya, saya selalu menyertakan tanda baca sesuai kebutuhannya. Selalu membubuhkan titik di akhir kalimat. Menggunakan tanda koma untuk menjeda sementara atau membedakan antara induk dan kalimat. Menyelipkan tanda seru jika itu memang kalimat perintah. Dan contoh penerapan tanda baca lainnya.

Percayalah, penilaian kalian lebih banyak salahnya. Saya adalah sosok yang cenderung receh. Mudah sekali tertawa untuk hal-hal kecil sekalipun. Paling susah untuk menahan tidak terpingkal-pingkal dan terbahak-bahak.

Jika menemui hal jenaka sekecil apapun, pasti saya langsung terpancing untuk tertawa. Saya bahkan termasuk yang bisa tertawa saat membaca sesuatu. Termasuk membaca pesan singkat dari teman saya, yang padahal tidak ada emoji pendukung. Begitulah, saya memang pandai memainkan emoji setelah membaca.

Namun dari kasus kesalahpahaman di atas, saya lantas memahami bahwa memang inilah masalah yang bakal timbul jika komunikasi dilakukan secara verbal dan tertulis. Baik penerima atau pengirim pesan akan memiliki nada yang berbeda saat membaca pesan tersebut.

Hal ini bergantung pada kebiasaan, pola budaya, dan suasana hati yang melingkupi masing-masing individunya. Jika dibaca dengan nada lantang dan menyeru, sebuah pesan yang maknanya sebenarnya netral, bisa jadi berubah sebagai pesan yang menegangkan.

Kelemahan lain dari komunikasi yang melibatkan teks tanpa adanya tatap muka adalah minimnya kesempatan bagi kita untuk menilai komunikasi nonverbal.

Padahal, komunikasi nonverbal itulah yang menjadi kunci sesungguhnya. Jarang bisa dibohongi. Ekspresi jujur yang terwakilkan lewat komunikasi nonverbal. Bahkan sulit untuk dimanipulasi, tingkat kejujuran dari komunikasi nonverbal terbilang tinggi.

Contohnya: bisa saja kita mengatakan paham dengan suatu topik. Tapi nyatanya, alis kita berkerut, mata kita membelalak, dan tangan kita gugup bergerak kesana kemari. Dengan jeli memerhatikan hal itu, kita sebagai pengirim pesan sudah bisa menyingkap maksudnya. Bahwa si penerima sebenernya gagal dalam mencerna informasi. Namun karena suatu kondisi, ia diharuskan berhadapan dengan situasi sulit tersebut. Makanya si penerima terpaksa berpura-pura bilang mengerti.

Komunikasi via teks memang seringkali memicu perdebatan. Apalagi jika dilakukan di antara orang-orang yang sebelumnya belum saling mengenal dekat. Belum memahami kebiasaan masing-masing. Berbeda jika memang sudah saling akrab dan terlibat interaksi langsung yang intens.

Contohnya, saya dengan sahabat karib saat saling berkirim pesan singkat bisa terpingkal dengan topik yang diobrolkan. Padahal, teks yang kami tulis tidak disertai dengan emoji atau partikel tambahan seperti wkwkwk atau hahahaha.

Mengapa kami tetap bisa merasa geli dan menganggap pesan yang dikirim itu lucu? Karena, kami sudah saling membayangkan kejadian-kejadian kocak yang diceritakan. Sudah tergambar bagaimana teman saya meresponsnya. Bagaimana mimik muka masing-masing. Ya karena kami sudah cukup sering beraktivitas bersama dan menghabiskan waktu bareng-bareng. Tidak ada jarak lagi.

Makanya, wajar bila kita menerima chat atau mengirim chat ke orang yang belum dikenal baik, kita berusaha untuk mencairkan suasana. Dengan cara menggunakan bahasa non-formal, menyelipkan emoji, atau bahkan menuliskan huruf secara ganda di akhir kata biar tidak terkesan jutek, garang, dan galak.

Baca Juga: Siapa yang Mesti Bertanggungjawab dengan Berita Palsu

Maka tidak heran kalau beberapa waktu lalu di Twitter heboh dengan tangkap layar akun Instagram Nia Ramadhani Bakrie mengirimkan pesan personal ke akun milik komika Kiki Saputri. Berikut kutipannya:

“Haalooooo

Kikiiii

Apaa kabar? Ini Nia.”

Di situ jelas Nia Ramadhani ingin berusaha mengirim pesan selayaknya sedang berbicara. Ada bentuk ketertarikan untuk berkomunikasi, diwakili dengan pemakaian huruf yang berulang. Nia ingin menunjukkan ekspresi girang dan menampilkan suasana nyata seperti keduanya sedang bertemu langsung.

Mungkin hal-hal seperti inilah yang harus kita terapkan saat sedang berkirim pesan singkat dengan teman, kerabat, atau siapapun tapi konteksnya non-formal. Pengaplikasiannya bakal berbeda jika berkirim pesan singkat dalam lingkup suasana resmi.

Jadi, apakah masih mau bikin geram dan kesal orang lain dengan membuka pesan singkat pakai kode seperti ini saja: P, P, P, P, P. Meski kalian sudah saling mengenal, etika berkomunikasi juga tetap ada, ya.

Oleh: Shela Kusumaningtyas

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Corak atau tulisan menarik lainnya dari Shela Kusumaningtyas

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai