Menangkal Fundamentalisme, Merenda Perdamaian (Sebuah Catatan Reflektif Perspektif Kristiani)

Spread the love

Masalah Fundamentalisme Agama

Fundamentalisme agama menjadi tantangan bagi negara bangsa Indonesia karena kaum fundamentalis meng-agama-kan segala-galanya.

Menurut Franz Magnis Suseno, fundamentalisme religius memiliki tiga ciri: Pertama, segala-galanya dilihat secara eksklusif dari aspek agama. Hanya pertimbangan agama yang diakui. Pertimbangan lain, entah filosofis, rasional, ilmiah-sekular, ditolak.

Yang benar hanyalah pendangan agamanya sendiri. Sikap seperti itu sudah barang tentu sangat mengganggu semangat kesatuan dalam perbedaan di dalam Negara bangsa Indonesia.

Kedua, kaum fundamentalis tidak pernah toleran. Yang benar hanyalah pandangan agama sendiri. Sikap tidak toleran itu tidak hanya berlaku bagi pandangan-pandangan religius, tetapi juga bagi pandangan-pandangan politis, sosial, ekonomis dan budaya.

Sikap ini jelas sangat berlawanan dengan semangat toleransi yang justru sangat dituntut di dalam Negara bangsa yang majemuk ini.

Ketiga, fundamentalisme bersifat mutlak dan totaliter. Ia mengklaim kemutlakan sendiri bagi pandangannya. Maka ia menganggap diri bahwa tidak ada bidang yang dikecualikan dari penguasaannya.

Pandangan Kristiani tentang “Yang Lain” Sebagai Sesama

Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru juga memuat pandangan tentang karya penyelamatan Allah yang bersifat univeral.

Hal ini menegaskan pandangan inklusif kristiani terhadap faktum pluralisme agama. Salah satu tema biblis yang dapat disejajarkan dengan konsep persaudaraan universal adalah shalom.

Kata Ibrani shalom pada umumnya diterjemahkan dengan kata damai, kebaikan, kebajikan, integritas dan situasi yang optimal.

Kitab Kejadian berbicara tentang situasi optimal manusia ketika diciptakan sebagai citra Allah dan Allah mengakui ciptaanNya sebagai “sungguh amat baik” (Kej. 1:31).

Dengan demikian, shalom menunjuk pada aspek relasi yang harmonis dari segenap umat manusia dalam persatuan dengan Allah sebagai Penciptanya.

Data biblis dalam Perjanjian Baru juga banyak menunjukkan aspek keselamatan universal umat manusia.

Dalam Injil, diceritakan bahwa Yesus sering berhubungan dengan  banyak orang yang oleh masyarakat pada zamanNya dianggap kafir. Misalnya, Yesus mengungkapkan kekaguman-Nya terhadap iman yang begitu besar dari seorang perwira Romawi yang meminta Dia menyembuhkan hambanya (Mat. 8:10).

Yesus memahami kahausan jiwa perempuan Samaria di sumur Yakob akan “air hidup” (Yoh. 4: 7-    15). Dan dalam salah satu perumpamaan-Nya, Dia mengangkat tokoh “Orang Samaria yang baik hati” untuk menjadi contoh bagi orang Yahudi tentang bagaimana mempraktekkan kasih terhadap sesama (Luk. 10: 29-37).

Kasih menjadi bahasa universal yang meruntuhkan sekat perbedaan manusia. Hukum kasih sebagai hukum terutama menjadi landasan yang memperkokoh persaudaraan universal umat manusia. “Yang lain” adalah saudara.

Pada zaman Gereja awal, kita kenal adagium terkenal “extra ecclesiam nulla salus; Di luar Gereja tidak ada keselamatan.”

Meski adagium ini sebenarnya diperuntukkan bagi para bidaah dan mereka yang memisahkan diri dari Gereja Katolik, namun, ada beberapa pemikir Kristen yang menegaskan ekslusivisme keselamatan Gereja dibandingan agama-agama lain.

Namun, refleksi teologis dalam Gereja senantiasa berkembang. Bahkan sejak dahulu, telah hadir pandangan para Bapa Gereja yang memiliki pandangan inklusif dan positif terhadap agama-agama non-Kristen.

Yustinus Martir memperkenalkan istilah “Logos Spermatikos” (kebenaran yang terpancar). Bahwa Kristus sebagai Logos yang hadir dalam keseluruhan kosmos memancarkan cahaya kebenaranNya pada seluruh umat manusia dalam pelbagai kebudayaan dan religiositas.

Dengan demikian, kebenaran hadir dalam setiap tradisi budaya dan agama dalam komunitas umat manusia.

Merayakan Perbedaan: Bhineka Tunggal Ika

Indonesia merupakan negara yang kaya akan perbedaan. Kekayaan budaya dan tradisi religius (agama) dapat menjadi peluang sekaligus tantangan dalam usaha mewujudkan kesejahteraan umum (bonum commune).

Peluangnya terletak dalam kekuatan bersama untuk mewujudkan perkembangan negara dengan dialog yang konstruktif, namun tantangannya terletak pada gesekan perbedaan yang dapat menyulut perpecahan. Dan ironisnya, fenomena ini kian mewarnai kehidupan sosial di Negara kita.

Fundamentalisme agama atau radikalisme agama merupakan aksi yang menegasi perbedaan. Fakta kemajemukan agama dianggap sepi.

Klaim kebenaran mutlak menjadi tameng yang akan dengan mudahnya dijadikan alasan untuk menolak (menegasi) bahkan meniadakan “yang lain.”

Heterophobia (takut akan yang lain) menjadi penyakit yang menjangkiti masyarakat Indonesia. Kecurigaan terhadap “yang lain” menjadi daya pemicu kebencian yang masif dalam diri kaum beragama di Negara kita.

Falsafah “Bhineka Tunggal Ika” sebenarnya merupakan jiwa yang mempersatukan seluruh rakyat Indonesia. Bahwa kesatuan yang sejati memang dibangun di atas perbedaan.

Membangun sikap yang terbuka dan dialog yang intensif merupakan agenda bersama seluruh umat beragama.

Menjadi 100% beragama dan juga 100% bernegara merupakan cita-cita ideal yang perlu kita perjuangkan bersama. Sebab, Indonesia merupakan Negara yang berdasar atas Ketuhanan.

Sikap kritis juga perlu dibangun melalui pendidikan yang memadai agar dapat membongkar pemikiran dan ideologi yang sempit.

Terkadang, di Negara kita, agama “diboncengi” oleh kepentingan politis segelintir pihak. Akibatnya, banyak benturan bernuansa SARA merebak dalam masyarakat kita.

Semangat toleransi dan proeksistensi hendaknya menjadi acuan etis dalam membangun hidup bersama. Penghargaan akan perbedaan merupakan tuntutan etis yang perlu dibangun dalam diri masyarakat kita.

Peran Komunitas Seni dalam Menangkal Fundamentalisme dan Merenda Perdamaian

Komunitas Sastra adalah sebuah rumah yang merangkai perbedaan. Komunitas sastra dapat menjadi “ruang publik dialogis” yang mampu merawat kekhasan masing-masing anggotanya dalam semangat persatuan.

Tentu, tidak tertutup kemungkinan juga bahwa komunitas ini pun dapat bersemi bibit-bibit fundamentalisme, jika dan hanya jika suatu komunitas membangun tembok kebenarannya sendiri dan menolak “yang lain.”

Komunitas yang baik adalah komunitas yang tidak hanya membangun suasana persaudaraan ad intra (kedalam komunitas) melainkan juga ad extra (keluar) komunitas.

Penghargaan terhadap perbedaan anggota, entah etnis, agama, ideologi, dan lainnya yang serupa merupakan api yang menjaga semangat persaudaraan dalam komunitas sastra. Dan jika telah sampai pada titik ini, maka komunitas sastra dapat menjadi “rumah teladan persaudaraan.”

“Dari pada memaki kegelapan, lebih baik kita menyalakan sebatang lilin.” Kiranya kalimat ini dapat menginspirasi kita.

Bahwa maraknya permasalahan fundamentalisme tak hanya cukup dibawa ke ranah diskurus untuk dikritik dan selesai. Mari kita bangun persatuan dan perdamaian dari komunitas kita.

Kasih persaudaraan adalah kunci untuk memutuskan rantai kebencian yang telah mengerak dalam tembok-tembok dogmatisme agama yang menyangkal keberagamaan sebagai anugerah yang terindah dari Tuhan yang Maha Esa.

 

Oleh: Giovanni A. L Arum

 

Baca juga tulisan lain di kolom Corak atau tulisan menarik lainnya dari Giovanni A. L Arum


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai