Mengapa Masih Sering Terjadi Baku Hantam di Tempat Pesta di Bajawa?

Spread the love

Rasa-rasanya, tidak ada baku hantam yang lebih seru dari baku hantam yang terjadi di tempat pesta.

Orang bisa baku hantam di mana saja. Di lapangan bola, di pangkalan ojek, di pasar ikan, di kelas, di gedung DPR, di parkiran gereja, di pertamina, di emperan toko, di kebun, di rumah adat, di tengah kampung, juga di tempat-tempat lain yang bisa Anda deretkan sendiri.

Sebabnya baku hantam bisa macam-macam. Namun, baku hantam di tempat pesta punya daya tarik tersendiri untuk dikaji. Dan kali ini saya melakukannya.      

Bagi publik Bajawa, Ngada, Flores, NTT khususnya, baku hantam di tempat pesta tentu bukan lagi hal baru.

Pertanyaan, “Ai, tadi malam kaco ko?” sudah terlampau biasa ditanyakan, baik oleh orang yang tidak sempat menghadiri pesta tersebut maupun oleh orang yang hadir tetapi lebih dahulu pulang.

Atau, pembuka percakapan seperti, “Wala, tadi malam baku pukul rame ngeri. Syukur saya silit, Pa’e, kalo tidak sa pu kepala bocor kena batu!”, ini pun sudah terlalu sering diucapkan.

Dalam artian tertentu – dan saya kira saat ini kian sering dipakai sebagai indikator –, sukses tidaknya sebuah pesta di Bajawa diukur pula dari ada atau tidaknya baku hantam pada jam-jam tertentu.   

Akar Kekerasan

Mengapa insiden baku hantam bisa terjadi di sebuah tempat pesta? Sebagai salah satu bentuk kekerasan fisik yang terbilang rumit, akarnya mesti terlebih dahulu dilacak.

Erich Fromm–filsuf dan psikoanalis Jerman–cukup membantu dalam perkara ini [lih. Erich Fromm, Akar Kekerasan. Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, penerj. Imam Muttaqin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. xv].

Meningkatnya kekejaman dan kedestruktifan manusia pada skala nasional dan internasional telah menarik perhatian kaum profesional dan khalayak ramai untuk memajukan pertanyaan teoretis mengenai sifat dan penyebab agresi.

Perhatian semacam itu tidaklah mengejutkan. Yang justru mengejutkan ialah bahwa perhatian ini sebegitu terlambatnya, yakni semenjak Freud, yang merevisi teori terdahulunya yang berpusat di seputar dorongan seksual, merumuskan teori baru pada 1920-an yang menyatakan bahwa hasrat untuk merusak (‘insting kematian’) sama kuatnya dengan hasrat untuk mencintai (‘insting kehidupan’, ‘seksualitas’).  

Baku hantam di tempat pesta membenarkan apa yang menjadi hasil studi paleontologi, antropologi, dan sejarah, berikut ini (ibid., hlm. xx).

(a) Kelompok manusia memiliki tingkat kedestruktifan masing-masing yang berbeda secara fundamental sehingga fakta-faktanya hampir tidak dapat dijelaskan dengan asumsi bahwa kedestruktifan dan kekejaman merupakan pembawaan.

(b) Beragam tingkat kedestruktifan bisa dikorelasikan dengan faktor-faktor psikis yang lain dan dengan perbedaan dalam masing-masing struktur sosialnya.

(c) Derajat kedestruktifan melonjak seiring dengan meningkatnya perkembangan perbedaan, bukan sebaliknya.

Telaah Sosiologis

Pintu masuk lain untuk mengerti persoalan ini selain menengok akar kekerasan ialah melihat kembali interaksi sosial antarpeserta pesta. Kita tahu, interaksi antarmanusia tak melulu positif hasilnya. Kadang pula, negatif.

Dalam diskusi bersama siswi/a di kelas, kami menyimpulkan kurang-lebih 4 macam sebab yang memicu pecahnya baku hantam di tempat pesta di Bajawa.

Pertama, adanya dendam pribadi. Watak psikologis Orang Bajawa yang kadang-kandang pendendam menemui pelampiasannya, salah satunya, di tempat pesta.

Tempat pesta sebagai ruang publik kerap dipakai sebagai arena bebas untuk adu jotos. “Sebentar kalo sa lihat ada dia, asli, sa injak!” menjadi rumusan baku yang pada gilirannya terjelma apalagi setelah disuntik oleh secuil provokasi murahan.

Kedua, efek alkohol. Agaknya, alasan ini paling mudah dibantah, lebih-lebih oleh pencinta moke putih dan arak. “Kalo kau kontrol, aman saja sebetulnya.

Ti usa salahkan moke!” sering diucapkan oleh peminum yang tidak pernah terlibat dalam baku injak meski telah menghabiskan berbotol-botol arak.

Meski masih bisa diperdebatkan, efek alkohol memang sering pula ikut menjadi pemicu. Menekan laju distribusi cerek dari dapur menjadi satu-satunya cara yang dibuat oleh panitia pesta.

Ketiga, baku senggol saat goyang dan puntung rokok yang bikin risih. Kelihatan sepeleh, tapi bila teramat menggangu, satu-dua pukulan bisa mendarat di bagian rahang. Biasanya, panitia atau MC sudah mengingatkan soal ini.

Namun, ketakmampuan mengontrol diri sering jadi sebab, mengapa aksi-aksi sederhana ini pada gilirannya menyulut pecahnya baku hantam.

Keempat, dan sekaligus terakhir, soal salah paham. Bisa saya sederhanakan begini. Ketika lagu dansa diputar, si x mengajak si y untuk berdansa. Karena malu atau si x kurang menarik untuk jadi teman dansa, si y menolak halus, “Sa tida tau dansa, Kaka. Aduhh, sumpah sa ti tau dansa. Sorry eee….”

Si x pulang sambil menahan malu. Salah satu cara untuk menghilangkan rasa malu selain pamit pulang, rutin konsumsi alkohol. Saat sudah kembali percaya diri dan siap melanjutkan pesta, si x kembali ke arena.

Kepala makin oleng, kulit wajah kian menebal, si x mendapati si y sedang berdansa mesrah sambil bisik-bisik bersama si z. Yakinlah, kekacauan sudah di depan mata, sebentar lagi pecah. Lucu memang, tapi saya mengamati fenomena ini sejak 1999 hingga kini.

Interaksi sosial di tempat pesta memang berwajah ganda. Di satu sisi bisa menambah daftar pertemanan, di sisi yang sisa bisa menyulut konflik.

Saya mengakui serentak membenarkan Erich From, bahwa insting untuk merusak sama kuatnya dengan insting untuk mencintai merupakan juga karakter kita Orang Bajawa. Itulah mengapa, frasa klasik semisal, “Pak Guru tampar kau itu bukan karena Pak Guru marah, tapi karena Pak Guru sayang kau!” masih sering terdengar.

Sungguh sebuah paradoks, mencintai sekaligus merusak, tampar sekaligus sayang.

Sebagai pengajar Sosiologi, saya tidak memberi solusi. Salah satu ciri Sosiologi sebagau ilmu pengetahuan ialah nonetis, yang mana baik-buruk dan benar-salah tidak bisa ditentukan. Yang mesti dilakukan oleh seorang sosiolog ialah meneliti faktanya lalu menunjukkan. Penyelesaiannya bisa dilakukan oleh pihak yang berwenang.

Apakah Anda juga termasuk oknum yang pernah, sedang, dan akan terlibat dalam baku hantam di tempat pesta? 

 

Oleh: Reinard L. Meo

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Corak atau tulisan menarik lainnya dari Reinard L. Meo


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

2 tanggapan untuk “Mengapa Masih Sering Terjadi Baku Hantam di Tempat Pesta di Bajawa?

Komentar ditutup.