Mengobati Kerinduan Plesiran Lewat Wisata Virtual

Spread the love

Mari kita kilas balik saat jelang pergantian tahun 2019 menuju tahun 2020, beredar infografis tentang tanggal-tanggal merah untuk tahun 2020.

Saya termasuk orang yang sibuk mengamati secara jeli infografis tersebut. Menandai tanggal mana yang kira-kira bisa saya ajukan untuk cuti.

Biasanya, kaum-kaum pekerja kantoran menyenangi cuti yang diambil pada tanggal-tanggal kejepit. Tanggal kejepit adalah istilah yang muncul untuk menggambarkan tanggal kerja aktif yang terhimpit dengan hari libur nasional.

Siasat cuti di tanggal kejepit memang bukan rahasia lagi bagi para pegawai yang hari-harinya diisi dengan tugas-tugas kantor.

Cuti di tanggal terjepit bagaikan oasa yang menyegarkan pikiran. Termasuk bagi saya. Saya sudah berancang-ancang untuk liburan. Merencanakan banyak kunjungan ke berbagai destinasi wisata di Indonesia.

Sayang jika melewatkan tanggal kejepit tersebut tidak dimanfaatkan untuk liburan.

Yang menggembirakan lagi, ternyata banyak tanggal terjepit pada tahun 2020. Tentu saya girang bukan kepalang. Apalagi pada tahun 2019 lalu benar-benar seret tanggal terjepit.

Hari libur nasional kebanyakan jatuh pada akhir pekan, pada Sabtu atau Minggu. Sedangkan pada tahun 2020, hari libur nasional ada yang jatuh pada hari Jumat, atau Selasa.

Sehingga, saya tidak perlu terlalu banyak menghabiskan jatah cuti saya hanya untuk istirahat panjang. Atau hari terjepit itu dimanfaatkan untuk liburan dari hari Jumat hingga Selasa, ambil cuti pada hari Senin.

Rencana saya sudah tersusun rapi. Tentang bagaimana saya akan menggunakan kuota cuti tahunan saya.

Bahkan, saya sudah terbayang, 12 jatah cuti saya tidak akan habis jika ingin sekadar liburan tipis-tipis. Melimpah sekali tanggal terjepit. Benar-benar kesempatan yang tidak akan saya sia-siakan.

Demikian pula yang dilakukan teman-teman saya. Kami pun sudah mendaftar tempat-tempat wisata mana yang akan didatangi dan aktivitas plesiran apa yang kami lakukan.

Mendaki Gunung Semeru, salah satunya. Bulan April dan Mei menjadi bulan yang kami pilih untuk merealisasikan wacana tersebut.

Hingga ternyata ungkapan: manusia hanya bisa berkehendak, Tuhanlah yang menentukan; benar-benar kita semua rasakan sekarang ini.

Sejak Maret 2020, kita diminta membatasi sementara aktivitas, termasuk kegiatan rekreasi. Semua ini semata-semata untuk memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19.

Seperti yang kita tahu, pemerintah mengumumkan kasus pertama Corona di Indonesia pada Senin (2/3/2020). Orang yang terinfeksi virus ini makin melonjak jumlahnya sejak kasus pertama disampaikan ke publik.

Pemerintah akhirnya mengeluarkan imbauan untuk bekerja, belajar, beribadah, dan mencari hiburan dari rumah saja. Jika terpaksa harus melakukan aktivitas di luar rumah, harus mematuhi protokol kesehatan.

Seperti jaga jarak aman (dianjurkan dua meter), memakai masker, meningkatkan intensitas cuci tangan, mengonsumsi nutrisi yang cukup bagi tubuh, rutin berolahraga, dan senantiasa berpikiran positif.

Kehidupan normal kita pun begitu terdampak setelah pandemi Corona menghantam Indonesia.

Terjadi pergeseran drastis dari kebiasaan-kebiasaan yang selama ini hidup di tengah masyarakat. Interaksi tatap muka dengan banyak orang dibatasi dan mulai dialihan lewat piranti teknologi.

Kita jadi beradaptasi untuk mulai mengakrabi berbagai platform penyedia layanan konferensi video. Platform-platform tersebut kita gunakan untuk menunjang dan memastikan seluruh keperluan kta tetap berjalan di tengah pandemi.

Namun tak dipungkiri, bertahan di rumah saja dalam kondisi sulit seperti sekarang tidaklah mudah dihadapi. Kita rentan mengalami masalah psikologis. Hari-hari kita terasa monoton karena minim interaksi dengan orang lain. Emosi kita mudah meledak. Suasana hati menjadi sering tak menentu. Mudah disergap rasa sedih. Jika mengalami seperti itu, kita mengalami demam kabin (cabin fever).

Sindrom tersebut lumrah muncul ketika seseorang berdiam diri terlalu lama hanya di satu tempat. Inilah yang sekarang ini sedang melanda masyarakat Indonesia. Terisolasi hampir tiga bulan. Kejenuhan menyergap.

Kesulitan menguasaai diri yang terus-menerus menahan rindu karena tidak bisa pulang kampung. Perasaan kalut, marah, sedih, bingung, dan emosi negatif lainnya bercampur jadi satu. Saya tahu, ini tidak mudah dilalui. Apalagi buat kalian perantau atau yang tinggal sendiri. Mari sama-sama yakin dan saling menguatkan, episode bencana ini bisa lekas berakhir.

Demam kabin ini juga dipicu karena kita terpaksa menunda hobi secara mendadak dan dalam kurun waktu yang panjang. Salah satu hasrat yang mungkin harus disimpan selama masa karantina mandiri ini adalah keinginan untuk pergi liburan.

Saya sendiri baru sebatas merencanakan, belum membeli tiket transportasi ataupun memesan penginapan. Sedih dan menyesal itu pasti, tapi tidak terlalu ribet memikirkan rencana liburan yang batal.

Mungkin teman-teman ada yang harus mengurus pengembalian dana dari perjalanan liburan yang batal akibat Covid-19. Semoga segera terselesaikan permasalahannya.

Percayalah pandemi Covid-19 ini juga memukul para pelaku pariwisata. Tempat-tempat rekreasi diharuskan tutup. Karena seperti yang kita tahu, objek wisata termasuk tempat yang mengundang banyak kerumunan. Sementara Covid-19 mudah sekali menyebar dan menular di tempat-tempat yang kerap dijadikan masyarakat berkumpul.

Dunia pariwisata kita terpukul dan lesu. Dampaknya kita bisa saksikan lewat unggahan-unggahan yang membanjiri media sosial.

Penggalangan dana untuk membeli makanan binatang di kebun binatang viral. Semenjak kebun binatang berhenti beroperasi selama pandemi, tidak ada pemasukan yang diterima pengelola. Padahal, pemasukan tersebut menjadi sumber utama untuk menghidupi para satwa yang tinggal di sana dan untuk menggaji para karyawannya.

Tak hanya para pengelola kebun binatang yang harus memutar otak agar bisa bertahan selama pandemi ini. Para operator biro perjalanan juga terkena imbas dari wabah global Corona. Mereka tidak lagi bisa mengajak orang-orang untuk berwisata. Sangat berisiko jika memaksakan untuk menggelar acara ramai-ramai yang menarik kerumunan massa.

Kita sebagai pengunjung atau wisatawan pastinya juga bosan berdiam di rumah tanpa bisa menyalurkan penat. Miris memang rasanya saat mendengar berita-berita sengsara akibat Covid-19.

Untuk bangkit dari keterpurukan, ide-ide kreatif dilahirkan oleh para pegiat wisata yang terdampak Covid-19. Selain sebagai cara untuk tetap bertahan di situasi sulit sekarang, inovasi yang bermunculan juga bentuk respons untuk memuaskan dahaga masyarakat terhadap kebutuhan liburan.

Para travel blogger misalnya, mereka kini rutin mengadakan siaran langsung di akun media sosial. Membagikan tips-tips menulis untuk menjaga kewarasan selama pandemi.

Rupanya tren pemaparan materi secara daring juga dilirik oleh para brand. Akhirnya para travel blogger kini digaet untuk menjadi pembicara di acara-acara seminar online yang memanfaatkan platform seperti Webinar dan Zoom.

Yang tak kalah gaungnya adalah, menjamurnya wisata virtual. Ini menjadi berita bagus bahwa dunia pariwisata kita perlahan mulai beradaptasi. Tidak berlarut meratapi kondisi yang sedang tidak berpihak.

Wisata virtual ini menjadi peluang baru yang bisa ditawarkan para pelaku bidang pariwisata kepada masyarakat. Pengalaman plesirannya memang tidak benar-benar mirip jika kita mendatangi langsung tempat wisatanya. Setidaknya, wisata virtual memberi harapan baru kepada  pariwisata Indonesia.

Wisata Virtual

Gempuran virus tidak menyurutkan para pelaku usaha untuk tetap mengibarkan pariwisata Indonesia. Ini juga kian membuktikan bahwa teknologi berdampak positif jika digunakan secara benar.

Lantas, seperti apa sih wisata virtual ini?

Wisata virtual ini membawa kita para pengunjung bisa menjelajahi tempat yang jauh sekalipun tanpa mengharuskan kita bergerak sedikitpun. Kita bisa bertualang hanya bermodal gawai dan koneksi internet.

Kita bisa tiba dalam sekejap ke destinasi yang dituju tanpa harus menempuh perjalanan yang melelahkan.

Wisata virtual ini memangkas modal dan waktu. Katakanlah jika kita yang tinggal di Jakarta ingin plesir ke Bromo, Malang.

Otomatis harus memikirkan biaya yang diperlukan untuk transportasi ke sana. Entah naik kendaraan pribadi atau transportasi umum seperti kereta api, pesawat, atau bis.

Belum lagi harus mempertimbangkan menginap di mana yang sesuai anggaran dompet. Itu yang harus dipersiapkan jika kita akan liburan langsung. Sementara untuk liburan virtual, cukup menyiapkan jaringan internet yang stabil dan waktu yang sebentar.

Wisata virtual ini sudah mulai digencarkan para pelaku usaha wisata. Misalnya salah satu penggagas wisata jalan kaki di Kota Semarang, yakni Bersukaria Tour.

Biro perjalanan ini dari awal memang mengusung konsep tamasya yang berbeda dibandingkan biro perjalanan lain. Usaha besutan Dimas Suryo ini menawarkan wisata mengenal sudut-sudut kota yang dinikmati para wisatawan dengan berjalan kaki.

Agen perjalanan ini tidak sekadar mengajak para wisatawan berwisata jalan kaki dan foto-foto. Para pemandu juga memaparkan fakta-fakta unik yang tidak diketahui sembarang orang. Fakta yang informatif dan edukatif, ya.

Rupanya kreativitas biro perjalanan ini tidak surut meski dunia pariwisata begitu tersungkur ketika terkena pukulan telak pandemi. Orang-orang yang terlibat di dalam Bersukaria Tour ini lantas menginisiasi sebuah gerakan, wisata virtual.

Mereka menyebarkan poster-poster agenda di media sosial. Dalam poster tersebut tercantum informasi tentang destinasi mana yang yang bakal diulas pada hari penyelenggaraan.

Benar-benar konsep yang segar dan seru. Tak ketinggalan, Bersukaria juga tetap memungut biaya untuk paket wisata virtual tersebut. Tenang saja, tidak bakal membuat kocekmu bolong.

Agen wisata ini memang unggul soal konsep penarikan biaya. Prinsip mereka adalah “pay as you want”. Para peserta dipersilakan membayar sesuai yang mereka inginkan. Yang penting ikhlas, tapi jangan merendahkan ya. Sebagai wisatawan harus tahu diri juga, ya.

Betul, keseruan saat berwisata langsung memang tidak tergantikan dan tidak tertandingi oleh wisata virtual. Namun lagi-lagi yang perlu diingat, wisata virtual ini menghadirkan napas baru yang mampu memperpanjang keberlangsungan pariwisata Indonesia.

Tak hanya Bersukaria yang bergerak untuk memopulerkan tur virtual. Agenda tur virtual ini juga diagendakan oleh www.wisatakreatifjakarta.

Destinasinya tak melulu dalam negeri, bahkan kita diajak berkeliling dunia. Kapan lagi kita menghabiskan waktu keliling dunia hanya bermodal biaya tak lebih dari Rp50.000?

Pihak penyelenggara memang mematok biaya bagi masyarakat yang tertarik bergabung dalam sesi jalan-jalan virtual ini. Tapi, tidak lebih dari Rp50.000. Nominal yang masih wajar.

Apalagi pengunjung mendapatkan pengetahuan baru soal destinasi tersebut. Sebagai peserta, jangan protes ya. Kita harus sama-sama memahami bahwa pandemi ini turut menyebabkan penghasilan para pelaku bisnis pariwisata turun drastis.

Wisata virtual ini juga menuntun para pelaku bisnis pariwisata belajar mengoperasikan teknologi dan memanfaatkannya. Pasalnya, untuk menampilkan destinasi tersebut ke layar laptop atau ponsel pintar partisipan, diperlukan platform penghubung.

Misalnya, memakai Zoom agar konferensi video bisa berlangsung. Lalu memanfaatkan fitur Street View yang dimiliki Google Maps. Fitur tersebut memungkinkan penggunanya menikmati tampilan sebuah lokasi secara 360 derajat. Kita lebih leluasa dalam melihat satu objek dari segala sisi.

Wisata virtual ini juga menjadi jalan untuk lebih mempromosikan destinasi wisata yang mungkin kalah pamornya dengan tujuan wisata yang ikonik. Harapannya setelah pandemi ini berakhir, animo liburan masyarakat tidak hanya terpusat ke tempat tertentu.

Untuk masyarakat, wisata virtual ini merupakan sarana untuk melepas rindu sejenak dengan destinasi wisata yang indah di Indonesia. Sedikit menuntaskan hasrat bertualang yang sempat terpendam karena pandemi.

Oleh: Shela Kusumaningtyas

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Corak atau tulisan menarik lainnya dari Shela Kusumaningtyas

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai