Merayakan Inkarnasi dalam Puisi (Refleksi Teologis Puitik Tentang Natal)

Spread the love

Geliat sastra religius selalu inheren dalam dinamika perkembangan sastra. Mendiang Romo Mangun bahkan pernah mengatakan bahwa sastra pada hakikatnya adalah religius. Relasi dengan Yang Transenden selalu memiliki ruang antara yang dapat diisi dengan pelbagai bentuk ungkapan manusiawi, termasuk sastra.

Dalam tataran filsafat metafisik, sastra yang menekuni aspek verbal dari seni menyentuh forma keindahan (pulchrum) sebagai salah satu sifat metafisik yang terpancar dari Yang Transenden. Dalam peta sastra religius ini, kemudian banyak penyair yang memilih untuk mendekatkan imaji puitis mereka dengan Kitab Suci dari tiap-tiap agama sebagai dokumen wahyu suci yang diyakini mampu mempertemukan manusia dengan Sang Pencipta.

Dalam beberapa tahun terakhir, kehadiran puisi-puisi dengan imaji biblikal cukup mewarnai dinamika perkembangan sastra Indonesia kontemporer. Salah satu penyair muda yang konsisten untuk menggarap puisi-puisi dengan imaji biblikal adalah Mario F. Lawi.

Kehadiran Mario yang dengan tenaga estetis mampu mengolah narasi biblikal dengan orisinil, kemudian membuka ruang-ruang eksplorasi bagi penyair muda berhadapan dengan teks Kitab Suci. Beberapa penyair terkenal yang juga mengeksplorasi tema biblikal seperti: Avianti Armand melalui kumpulan puisi Perempuan yang Dihapus Namanya, Adimas Immanuel melalui kumpulan puisi Karena Cinta Kuat seperti Maut, Dea Anugrah melalui kumpulan puisi Misa Arwah, Cyprian Bitin Berek melalui kumpulan puisi Pertarungan di Pniel dan Saddam HP melalui kumpulan puisi Komuni.

Kitab Suci sebagai dokumen Wahyu Ilahi juga kaya akan narasi sastrawi. Sebut saja, Kitab Mazmur. Kitab ini adalah kitab puisi yang terkenal dalam Perjanjian Lama dengan merujuk pada nyanyian Daud. Bukan hanya nilai teologis yang terkandung di dalamnya, namun juga kekayaan faset sastrawi dalam eksplorasi imaji, metafora, simbol, komposisi yang teratur, hingga akustik rima yang indah dan padan. Dengan kata lain, sastra –secara tertentu- merupakan suatu locus theologicus. Dalam tutur adat, kita juga melihat bagaimana puisi-puisi adat digunakan sebagai medium untuk berdoa kepada Sang Wujud Tertinggi.

Baca Juga: Tuhan a la Cyprian

Mayoritas teolog berbicara tentang Allah sebagai Unum, Bonum, dan Verum. Allah itu Maha Esa, Maha Baik dan Maha Benar. Masih tergolong minim hadirnya refleksi teologis yang melihat Allah sebagai yang Maha Indah, yakni: Allah dalam forma transendentalia Pulchrum.

Salah seorang dari yang sedikit itu adalah Hans Urs Von Balthasar. Teolog Katolik ini mendedikasikan pemikiran teologisnya bagi pengenalan akan Allah yang Maha Indah. Ia menulis tujuh rangkaian pemikiran dalam The Glory of The Lord; A Theological Aesthetics, yang terdiri dari: I. Seeing the Form, II. Studies in Theological Style: Clerical Styles, III. Studies in Theological Style: Lay Styles, IV. The Realm of Metaphysics in Antiquity, V. The Realm of Metaphysics in the Modern Age, VI. Theology: The Old Covenant, dan VII. Theology: The New Covenant. Dalam terang pemikiran estetika teologis inilah kita dapat menarik refleksi tentang sebuah perayaan Inkarnasi dalam Puisi

Mari kita mulai perjalanan reflektif ini dengan menyimak salah satu puisi Mario F. Lawi dalam buku kumpulan puisi Mendengarkan Coldplay berjudul “Yes” (Mario F. Lawi, 2016, hlm. 21):

Yes

Seekor anjing menantikan sebuah Amin

Sebelum daging

Dilemparkan dari ujung lembing.

 

Dari sisik seekor naga yang ditaklukan

Seorang perempuan,

Mata lembing itu diciptakan.

 

Anjing itu tak mau tahu,

Naga yang ditaklukan itu jatuh dari surga

Atau tidak, perempuan penakluk itu

Masih perawan atau tidak,

Mata lembing itu disepuh dengan Darah domba atau tidak.

 

Ia hanya tahu, sabda tak mungkin

Menebus laparnya

Jika tidak menjelma daging.

Puisi ini sarat imaji biblikal. Dalam bait pertama, mungkin fragmen yang ditampilkan tidak langsung mengacu pada narasi biblis tertentu. Tetapi, kita bisa merasakan resonansi dari peristiwa “fiat” Maria sebagai jawaban “ya” atau “yes” pada kehendak Allah untuk melahirkan Sabda yang menjelma menjadi manusia. (Bdk. Luk. 1:38).

Kata “Amin” memiliki makna “penerimaan” yang hakiki. Kita bisa menafsirkan simbol “anjing” sebagai representasi seluruh umat manusia yang berdosa. Adegan penantian akan jawaban “Amin” menggambarkan penantian akan datangnya Mesias dalam diri Sabda yang menjelma untuk melepaskan “lapar purba” (dosa) umat manusia.

Fragmen pada bait kedua mengacu pada narasi Kitab Wahyu tentang peristiwa “Perempuan dan Naga” (Bdk. Why. 12: 1-6). Banyak penafsir mengartikan simbol “perempuan” sebagai Gereja yang menderita. Namun, ada juga penafsir Katolik yang mengartikan simbol “perempuan” itu sebagai Bunda Maria.

Dalam konteks persitiwa inkarnasi dan merujuk pada koherensi imaji dengan bagian puisi pada bait terdahulu, maka sosok Bunda Maria lebih relevan dalam konteks puisi ini. Puisi ini ditutup dengan bait terakhir yang menjadi kesimpulan dengan hadirnya fragmen yang juga tidak mengacu secara langsung pada narasi biblis tertentu. Namun, jika didalami, maka fragmen ini memiliki resonansi imaji yang sangat kuat dengan peristiwa “inkarnasi.”

Incarnatio (In: dalam; caro: daging) adalah peristiwa penjemaan Sabda (Logos) yang menjadi manusia dalam sejarah keselamatan. Dalam konteks Injil Yohanes, digunakan istilah “sarx” atau daging. “Kai ho Logos sarx egeneto kai eskenosen en hemin…; Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita…” (Yoh, 1:14).

Mario berhasil masuk dalam refleksi teologis yang amat mendalam dengan menarasikan secara puitis dalam imaji tentang “daging”. Kata “lapar” bermakna “kekurangan eksistensial” sekaligus “kerinduan besar untuk dipenuhi”.

Anjing yang lapar menyimbolkan privatio (kekurangan) sekaligus malum (keburukan) eksistensial manusia yang berdosa dan punya kerinduan untuk diselamatkan secara penuh dengan “daging”, yakni Inkarnasi Allah yang menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia dari dosa.

Penggunaan frasa “menebus lapar” memperkuat resonansi imaji biblikal tentang peristiwa penyelamatan melalui Inkarnasi Sang Sabda. Term “menebus” memiliki kekuatan pembangkit imaji biblikal karena secara khusus bagi umat Kristen, penebusan dilekatkan pada pribadi Yesus Kristus sebagai “gelar kristologis khusus.” (Yun. Soter: penebus)

Meski puisi-puisi dalam kumpulan puisi Mendengarkan Coldplay adalah respon puitik Mario terhadap lagu-lagu dalam Album Coldplay, ia tetap menghadirkan imaji biblikal yang sangat reflektif dalam tiap-tiap puisinya. Mario memang dikenal sebagai penyair muda nasional dengan kekhasan imaji biblikal dalam puisi-puisinya.

Yang luar biasa bagi Penulis adalah kemampuan menghasilkan suatu bentuk dialektika imaji (pembahasan ini pernah dibawakan oleh Penulis saat bincang buku Mendengarkan Coldplay di SPEKSANYO pada tahun 2016 silam). Ia membangkitkan imaji dari lagu “YesColdplay dengan imaji biblikal tentang peristiwa inkarnasi.

Bagi Balthasar, peristiwa inkarnasi merupakan inti dari estetika teologis. Allah menyapa umat manusia dalam persitiwa penjelmaan Sabda menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. Melalui inkarnasi, keindahan kosmik diangkat statusnya. “God’s incarnation perfects the whole ontology and aesthetics of created Being.” (Balthasar, Glory of The Lord I, p. 29)

Dengan penyatuan dua kodrat ilahi dan insani dalam diri Kristus, terjadilah harmoni yang mengangkat status forma keindahan. Bagi Balthasar, Inkarnasi adalah sebuah peristiwa cinta yang sempurna. Melalui refleksi ini, kita dapat merasakan melalui sense of beauty bahwa cinta yang luar biasa itu dapat dirasakan dalam peristiwa inkarnasi.

Balthasar mengajak kita untuk merasakan keindahan yang sempurna dari peristiwa Inkarnasi sebagai perwujudan kasih Allah. Dengan demikian, peristiwa ini bukan menjadi konsep teologi yang “kering” dan “kaku” melainkan dirayakan sebagai sebuah peristiwa kasih yang maha indah.

Bagi Penulis, Mario berada dalam lajur pemaknaan ini. Puisinya ini adalah respon puitik yang keluar dari sense of beauty-nya untuk “merayakan” peristiwa inkarnasi dalam puisi. Imaji biblikal yang dihidupkan dalam figur-figur tertentu dalam puisinya merupakan tenunan estetika teologis yang berhasil dikontemplasikan dalam tubuh puisi. Dengan kata lain, Mario merayakan Inkarnasi sebagai sebuah momentum estetis-teologis dalam puisi.

Peristiwa Inkarnasi secara populer dirayakan sebagai Hari Raya Natal. Beberapa pertanyaan menggelitik untuk kita: bagaimana kita merefleksikan peristiwa Natal? Apakah cukup berhenti pada kue, lagu-lagu Natal, nostalgia bunga pohon Sepe, dan lainya yang serupa? Entahlah. Tetapi, dengan penelusuran reflektif ini, kita dapat melihat, bahwa penyair dalam kesunyian diri dan puisinya (bukan pengabdi kesendirian) dapat merasakan perjumpaan estetis dengan Sabda yang menjelma “daging.”

Memanfaatkan puisi sebagai locus penghayatan iman personal dapat dimaknai sebagai bentuk fluidasi (pencairan) pemaknaan ajaran atau doktirn iman yang kaku. Tuhan dialami sebagai Yang Maha Indah. Puisi dengan segala misteri dan faset-faset estetisnya dapat menawarkan pendekatan iman personal yang estetis.

Risiko dari penggunaan imaji biblikal yang “eksplisit” seperti yang dilakukan Mario adalah penyempitan komunitas pembaca puisinya. Memang, puisi itu universal. Namun, seringkali ada yang sulit mendekati puisi-puisi Mario, karena kekurangakraban pada imaji-imaji biblikal eksplisit yang hadir dalam puisi-puisinya.

Namun, Penulis percaya bahwa popularitas penerimaan puisi tidak menjamin ukuran kualitas karya sastra. Penulis bahkan membacanya dari sisi lain. Hal ini –dalam konteks iman- adalah sebuah risiko pewartaan. Selamat merayakan Hari Raya Inkarnasi. Jika tertarik, rayakanlah peristiwa iman ini dengan puisi!

Ordo Amaris

Hukum itu tertulis jelas di mataMu:

“Cintailah Aku dengan segenap puisimu!” 

 

Oleh: Giovanni A. L Arum

 

Baca juga tulisan lain di kolom Corak atau tulisan menarik lainnya dari Giovanni A. L Arum


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai