Negara Berbisnis Melalui Cukai Rokok

Spread the love

Pada tahun 2020, pemerintah telah menetapkan kenaikan cukai rokok sebesar 23% dan harga jual rokok eceran sebesar 35%.

Upaya pemerintah untuk menaikan pajak rokok gegara karena adanya dampak negatif dari konsumsi rokok, terutama, dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.

Yang sakit karena rokok makin hari makin banyak, begitu kira-kira alasan pemerintah.

Pada saat ini, jumlah perokok secara global terus meningkat dari 32,8% menjadi 33,8%. 

Perokok pada usia anak dan remaja juga mengalami peningkatan, dari 7,2% menjadi 9,1%, demikian halnya untuk perokok perempuan, dari 1,3% menjadi 4,8%.

Di Indonesia, remaja berusia 13-15 tahun yang merokok sebesar 19,4%. Kementrian Kesehatan melaporkan bahwa jumlah perokok berusia 10-18 tahun meningkat setiap tahun dari 7,2% pada tahun 2013, 8,8% pada tahun 2016, dan 9,1% pada tahun 2018.

Kenaikan cukai rokok pada tahun 2020 nanti merupakan kenaikan tertinggi dalam beberapa tahun terakhir, sebab, rata-rata kenaikan tarif cukai selama ini hanya berada di kisaran 8%.

Kenaikan tertinggi sempat terjadi pada 2012, yakni 14%. Namun, setelah itu, kenaikan tarif cukai per tahun berada di kisaran 8-11%.

Secara berurutan, pada tahun 2013 cukai rokok naik sebesar 8,5% kemudian pada tahun 2015 sebesar 8,72%, dan pada tahun 2016 sebesar 11,19%. Adapun kenaikan cukai rokok pada tahun 2017 sebesar 10,54% dan tahun 2018 sebesar 10,04%.

Meningkatkan beban cukai rokok untuk menekan jumlah konsumsi rokok sejauh ini dapat dikatakan tidak berkolerasi positif alias tidak nyambung, sebab, jika kita liat pada perbandingan antara besar konsumsi dengan beban cukai yang terus melambung tidak saling memengaruhi.

Rokok makin mahal, yang isap makin banyak.

Ambil contoh—seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya—pada tahun 2018 ketika cukai rokok dinaikan menjadi 10,04%, justru terjadi peningkatan jumlah perokok dari 8,8% pada tahun 2016 menjadi 9,1% pada tahun 2018.

Angka di atas bahkan jauh dari target penurunan jumlah perokok yang ditetapkan Kementrian Kesehatan, yakni sebesar 5.4%.

Perbaikan pada Soal Mendasar

Untuk mengurai masalah ini, pemerintah perlu untuk merumuskan ulang upaya menekan jumlah konsumsi rokok dengan memahami persoalan fundamental dari prilaku perokok.

Beberapa peneliti berpendapat bahwa konsumsi rokok tidak akan sensitif terhadap perubahan harga setidaknya dalam jangka pendek karena sifat bikin ketagihan dari rokok bagi para penggunanya.

Selain bikin ketagihan, kondisi sosiologis masyarakat juga dapat memengaruhi besaran konsumsi rokok, kelompok kelas menengah ke bawah—seperti komposisi masyarakat di Ngada, misalnya—sulit mendapat lingkungan yang bisa baku dukung untuk berhenti merokok.

Keadaan tersebut semakin dipersulit dengan rendahnya tingkat pendidikan dan pemahaman mereka mengenai bahaya merokok.

Sejauh ini, jumlah perokok Indonesia di dominasi oleh penduduk miskin, dengan angka sekitar 70-80%, dan pada tahun 2018 yang lalu, konsumsi rokok menjadi penyumbang penyebab kemiskinan terbesar kedua, yakni sebesar 10,39% di perkotaan dan 10,06% di perdesaan.

Lalu, apakah melalui pemahaman kondisi mendasar ini cukup untuk menekan jumlah konsumen rokok? Tentu saja tidak. Kita bisa belajar dari Kanada dalam upaya menekan konsumsi rokok.

Selain menaikan pajak rokok, pemerintah Kanda melalui pemerintahan federal dan provinsinya menerapkan langkah-langkah lain untuk membatasi merokok, termasuk melarang merokok di gedung-gedung dan ruang publik dan melarang iklan tembakau di papan iklan, di titik pembelian, dan di acara olahraga.

Jadi, iklan rokok yang tersebar di sekitar wilayah terminal Watu Jaji, Bajawa itu mestinya tidak bole ada

Hal ini belum terlihat di Indonesia, meskipun ada beberapa pemerintah daerah yang membuat perda larangan merokok, tetap saja, implementasinya masih lemah dan belum memberikan dampak yang signifikan karena rendahnya pengawasan serta sistim sanksi.

Di satu sisi, Perda anti-rokok kemungkinan tidak memiliki dampak langsung pada kelompok remaja karena mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka di sekolah dari pada di ruang publik lainnya, tempat diperlakukan Perda larangan merokok. Hal ini dibuktikan dengan masih tingginya jumlah remaja perokok di Indonesia.

Untuk menyasar kelompok remaja, pemerintah perlu melakukan pendekatan yang berbeda, langkah pendidikan kesehatan tentang dampak merokok harus dilakukan sejak usia dini, mengingat berdasarkan data, remaja Indonesia telah merokok di usia 10 tahun.

Pemerintah bisa melakukan pendidikan kesehatan di bawah usia itu, namun hal ini belum terlihat sama sekali, pemerintah anggap seolah-olah kelompok ini belum mengerti, masih ana banga (anak kecil) padahal justru kelompok ini yang mulai diam-diam belajar merokok.

Selain beberapa faktor di atas, kondisi lain yang turut serta memengaruhi peningkatan jumlah perokok meski harga rokok meningkat adalah jumlah  ketersediaan merek rokok murah setelah kenaikan pajak pada rokok mahal, sehingga memudahkan konsumen untuk tetap mendapatkan rokok sesuai isi kantongnya.

Varian sebab seperti yang tersebutkan membutuhkan pendekatan yang menyeluruh dan berkesinambungan. Menaikan cukai rokok untuk mengurangi konsumsi rokok jelas tidak efektif jika kita melihat data yang ada. 

Langkah yang ditempuh pemerintah cendrung terlihat semata-mata sebagai upaya bisnis dalam meningkatkan pendapatan Negara, alih-alih untuk menekan jumlah konsumsi rokok. 

Oleh: Petrus Kanisius Siga Tage

 

Baca juga tulisan lain di kolom Corak atau tulisan menarik lainnya dari Petrus Kanisius Siga Tage

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai