“Pikir Baik-baik, Jangan Coba Gara-gara”: John Mansford Prior

Spread the love

“Apa kabar?”

 = Begini.

 John

Setelah lama meninggalkan Maumere dan kembali ke Bajawa, pada 6 Mei 2020 saya mengirim email ke johnotomo46@gmail.com, sekadar untuk menanyakan kabarnya. Terlampir di atas, balasannya.

John Prior, Pater Dr. John Mansford Prior, SVD, setahu saya, tidak memiliki telepon genggam. Punya akun facebook, “John Prior”, tapi email merupakan sarana komunikasi yang paling sering digunakan. Konon, John bangun pagi sekali, sekitar pukul 04.00 WITA.

Membaca, mengoreksi tesis mahasiswa bimbingannya, menulis, menyiapkan makalah, dan tentu, membalas email yang masuk. Konon pula, John paling suka bersepeda di seputaran Kota Maumere. Celana pendek dan kaos oblong adalah kesukaannya.

Saya mengenal John tidak dalam situasi yang formal. Sejak masih SMA di Seminari Mataloko, nama John sudah sering saya temui baik di koran, jurnal, maupun majalah. Saat saya menjalani masa studi filsafat di STFK Ledalero, John tidak mengajar untuk Program S1.

Saya tidak pernah bertemu John di dalam kelas. Semuanya di luar kelas: pinggir jalan, Puslit Chandraditya, Rumah TRUK-F, aula Thomas Aquinas, kapela, lorong-lorong Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, facebook, dan email.

John lahir di Ipswich, Inggris, 14 Oktober 1946. Dalam obrolannya dengan Katolikpedia, sejak masih duduk di Sekolah Dasar, John bermimpi untuk pergi ke Cina. Setelah ditahbiskan menjadi Pastor Misionaris dalam Societas Verbi Divini (SVD), John beralih ke Indonesia.

“Saya tertarik ke Indonesia karena satu, mayoritas Islam. Kami ada kuliah dari orang Islam tentang Islam waktu studi di London, jadi saya tertarik. Lalu setelah saya pilih Negara Islam, saya ditaruh di Flores di Maumere …..”

John mulai belajar Bahasa Indonesia di Ruteng, di bawah bimbingan Pater Frans Schaaf, SVD. Di Paroki Thomas Morus Maumere, John berkarya selama 7 tahun (1973-1981). 1981-1987, di Wolofeo. Sejak 1987, John mengajar di Ledalero, sebagai dosen. Di Wolofeo, di kampung, di salah satu sudut Flores, John mengerjakan tesis dalam bidang Teologi Interkultural, sebentar ke Birmingham University, lalu kembali sudah sebagai seorang doktor.

“Saya diculik ke Ledalero karena pada tahun 80-an, satu-satunya komputer di Flores itu ada di Pastoran Wolofeo. Saya omong begini supaya kau jangan anggap remeh kami orang Wolofeo!”,

John bercerita saat kami diskusi ringan di Chandraditya. Terasa betul, John sangat mencintai Wolofeo. John sering memakai Wolofeo sebagai senjata sarkastik, “Model begitu, kami di Wolofeo tidak pakai!”

Dari Ipswich ke Wolofeo ke ceruk rantau. Gerak pastoralnya selama di Flores naik penuh turun setengah: dari pantai Thomas Morus naik pangkat ke gunung Wolofeo lalu turun lagi ke bukit Ledalero.

Sejak saya dan beberapa mahasiswa dilibatkan dalam Focus Group Discussion (FGD) bersama para ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) di Maumere, kedekatan emosional saya dan John menjadi makin kuat. Tim kami waktu itu dipimpin oleh John, dr. Asep Purnama, dan Rasdiana Rovigis.

Hasil dari proses itu kemudian terkumpul dalam sebuah buku, “Bangkit dalam Harapan Baru. 25 Penyintas HIV Berbagi Kisahnya”, terbitan Penerbit Ledalero.

Dari John, saya benar-benar belajar tentang pentingnya mendengarkan. Bahwa mendengar dan mendengarkan itu dua hal yang berbeda. Bahwa mendengarkan merupakan syarat utama menjadi pelayan, umumnya; menjadi pastor, khususnya. Yang lain-lain itu tambahan.   

Pada suatu Kamis sore – jadwal misa komunitas – John masuk Kapela Agung Ledalero, duduk persis di samping saya, pada deretan bangku paling belakang. Kami sama-sama terlambat. Dengan hanya mengenakan kaos oblong putih, sepanjang perayaan, John cerewet tiada henti. John melanggar beberapa aturan penting: tidak menjadi pastor konselebran, tidak memakai kemeja, dan terlambat. Tepat saat khotbah, celetukan John benar-benar mengejutkan,

“Yang lagi omong di depan itu ngawur. Tafsir sembarang saja Kitab Suci. Itu golongan mahasiswa yang tidur di kelas atau titip tanda tangan saat kuliah saya dulu!”

Mengejutkan, garing, dan seolah-olah, tapi, bisa dipakai juga sebagai item penilaian jika suatu saat Anda berkesempatan ke rumah ibadah: atau tidur di kelas atau titip tanda tangan saat kuliah.

Ketika saya sedang mengumpulkan esai-esai saya dan berencana membukukannya, John orang pertama yang saya pikirkan untuk menulis pengantarnya. John dan segala ke-John-annya, lalu meminta bantuan untuk urusan yang satu ini – ilmiah –, siapa berani? Saya coba saja negosiasi lewat email.

“Kirim bunga rampai dulu, baru saya putuskan”, balasnya, dilengkapi dengan beberapa emoticon. Milenial sekali.

Tidak lama setelah draft buku itu saya kirim, email John masuk,

“Rein, saya sudah coret-coret satu-dua kata. Kalau mau pakai sebagai Pengantar kumpulan esaimu, silakan. Kalau tidak, tidak apa-apa. Terlampir.”

 Ah, John masih manusia biasa. Orang Inggris yang menulis “silakan” dengan baik dan benar, bukannya “silahkan” seperti yang masih selalu Anda keliru menuliskannya.

John memang manusia biasa, sampai kabar bahwa John sakit tiba. Kanker kulit, kata Diakon Krispin di Grup WA Ledalero 76. Sudah tidak respons-respons lagi, pikun, tidak mau merepotkan orang lain, berusaha buat apa-apa sendiri.

John yang gagah dan bejingan baik fisik, pikiran, perkataan, maupun perbuatan itu, hanyalah manusia biasa. Hanyalah manusia biasa yang candaannya lebih sulit dicerna ketimbang tulisan teologis-misiologisnya.

“Apa alasan kau larang saya?”

“Itu ditegaskan Pater Ketua saat pembukaan Tahun Ajaran Baru kemarin. Kita sekarang kalau ke Sekretariat Kampus, harus baju berkerah dan bersepatu. Makanya hadir, jangan menghilang!”

“Kamu orang suka buat hal-hal yang tidak penting. Tapi, Otto Gusti bagus. Dia bantah pepatah yang paling kamu orang sukai: murid tidak lebih besar dari guru. Otto bikin aturan begitu supaya dia kelihatan lebih besar dari saya!”

Kami bertemu saat John hendak ke Sekretariat Kampus. Persis, John hanya mengenakan kaos oblong, celana pendek, sandal, sambil menjinjing sebuah tas.

Macam-macam predikat atau julukan, bisa Anda temui di facebook atau ketika searching namanya di google. Tafsiran atas pola pikir dan hidup laku John pun macam-macam. Dalam komunitasnya, John sering tidak disukai – berbeda dengan para narapidana di Maumere yang sangat mencintai John. John suka bikin aturan sendiri di atas basa-basi aturan yang ada.

Bikin aturan sendiri adalah jalan ninja John.

Sebagai yang memang benar-benar hanyalah manusia biasa, John Mansford Prior akhirnya pergi juga. Tepat pukul 06.30 WITA, 2 Juli 2022, di Biara Simeon, Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, Maumere, Flores. John wafat, persis beberapa hari setelah STFK Ledalero beralih nama menjadi Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero.

Anda bisa menunggu 50 atau 100 tahun lagi, orang macam Messi dan Ronaldo itu muncul lagi di era yang sama. Namun, yang macam John, agaknya tidak akan pernah muncul lagi. Dia khas, unik, garing, dan menjengkelkan. Kritiknya lentur ke segala arah, gugatannya tajam baik ke dalam maupun ke luar.

Satu-satunya bocoran yang bisa dipakai jika Anda ingin The Next John itu lahir lagi, mungkin ini: pikir baik-baik, jangan coba gara-gara. Pesan yang sering ditemui di akhir kertas ujian mata kuliahnya.

Selamat jalan, John. Saya yakin, basa-basi ini dan semua basa-basi kami yang lain akan kau baca dari surga, sambil berkomentar,

“Yang model ini, kami di Wolofeo tidak pakai!”

Terima kasih, John. Hati kami, hati saya pribadi, patah. Lebih patah dari patah-patah sebelumnya. 

 

Oleh: Reinard L. Meo

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Corak atau tulisan menarik lainnya dari Reinard L. Meo

 

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai