Ambulans atau Angkot Putih?

Spread the love

Ketegangan yang menyertai pesta demokrasi pemilihan presiden tahun 2019 mulai mereda tatkala Pak Jokowi dan Pak Prabowo akhirnya bertemu dan “berdamai” di stasiun MRT Lebak Bulus beberapa waktu lalu.

Kalau pun masih tersisa riak-riak kecil dari berbagai pihak, itu sudah tidak terlalu berpengaruh lagi. Pihak yang kalah telah legawa, dan yang menang pun tidak jemawa.

Bila kita menengok sebentar ke belakang, betapa banyak kenangan pahit-manis yang kita lalui selama perhelatan pilpres tersebut. Di antara sekian banyak persoalan, salah satu yang tidak kalah menarik untuk dibahas adalah soal ambulans.

Masalah seputar ambulans di Indonesia memang masih perlu dibahas terus-menerus. Sebabnya, ada begitu banyak persoalan yang bermunculan. Barangkali, masih membekas dalam ingatan kita, ada kabar beredar tentang pasien yang terlantar di daerah terpencil lantasan ambulans yang mestinya dimanfaatkan untuk kepentingan pasien, malah digunakan oleh oknum kepala puskesmas untuk keperluan pribadi 

Masih banyak modus penyalahgunaan ambulans lainnya. Beberapa contoh kasus nyata yang pernah ada di antaranya ada yang digunakan untuk mengangkut keramik, memfasilitasi kegiatan lomba burung, pelesiran dan kegiatan yang tidak sesuai lainnya.

Termasuk selama perhelatan pilpres 2019 kali lalu, paling tidak ada dua kejadian melibatkan ambulans yang paling menghebohkan.

Pertama, ketika Pak Said Didu dan Rocky Gerung menumpang ambulans, menghadiri acara di kampus Universitas Muhammadiyah Jember.

Kedua, ada mobil ambulans yang berlogo Partai Gerindra berisi benda yang tidak seharusnya ada seperti batu dan perlengkapan kerusuhan lainnya pada aksi 22 Mei 2019 

Tidak Paham atau Disengaja?

Beberapa fakta di atas menunjukkan kalau ambulans sering disalahgunakan. Entah berhubungan atau tidak, hal itu beriringan dengan respons yang rendah dari masyarakat akan kehadiran angkutan kedaruratan itu di jalan raya.

Kita sering temukan keluhan di berbagai daerah di Indonesia, ambulans kadang terjebak macet atau malah tidak diberi kesempatan oleh pengendara lain. Padahal, pasien-pasien yang dimobilisasi dengan ambulans, pada umumnya dalam kondisi gawat darurat.

Pasien seperti itu punya risiko mengalami kematian atau kecacatan permanen bila tidak segera ditangani dengan cepat, tepat dan cermat. Kecepatan transportasi menuju fasilitas kesehatan yang memadai menjadi kunci keberhasilan penanganannya.

Di sisi lain, kita selalu menyanjung dengan kesadaran masyarakat di luar negeri. Beberapa berita yang tersiar menunjukkan mereka lebih sadar dengan keberadan ambulans di jalanan umum, sehingga diberi prioritas untuk melambung dan tindakan istimewa lainnya.

Salah satu yang ramai yang dibagikan netizen Indonesia adalah ketika lautan massa demonstran di Hongkong meminggirkan diri demi kelancaran sebuah ambulans.

Pertanyaannya: apakah kita memang belum paham, apa karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan untuk menepi, atau sengaja acuh tak acuh?

Dua kemungkinan awal itu masih bisa dimaklumi. Tapi, bila sebagian besar tahu tapi tidak mau melakukan tindakan semestinya, patut kita renungkan, kenapa hal itu bisa terjadi? Apakah itu bentuk resistansi masyarakat terhadap kesemrawutan penggunaan ambulans selama ini?

Angkot Putih

Penulis masih mengingat jelas keluhan seorang dosen,—dokter yang bertahun-tahun bekerja di UGD sebuah rumah sakit besar, “Ambulans yang kita miliki saat ini tidak lagi bisa dibedakan dengan sebuah angkot putih.”

Katanya, kebanyakan ambulans itu tidak memiliki fasilitas penunjang sesuai standar. Mirip sebuah angkot, hanya kebetulan saja berwarna putih dan diberi tulisan “AMBULANCE” di beberapa bagian luarnya.

Padahal, selain harus memiliki SDM (sopir dan tenaga kesehatan) yang terlatih, di dalam ambulans harus berisi fasilitas dasar yang bisa membantu pasien untuk bertahan, hingga ke fasilitas kesehatan yang lebih memadai. Fungsinya bukan sekadar mengangkut orang, tapi ada tindakan medis yang harus diberikan selama perjalanan.

Standar tentang fasilitas ambulans telah dituangkan dalam aturan yang jelas, Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI No.143/MENKES-KESOS/SK/II/2001 tentang Standarisasi Kendaraan Pelayanan Medik.

Dalam aturan tersebut, setidaknya ada enam jenis kendaraan pelayanan medik, yaitu: ambulans transportasi, ambulans gawat darurat, ambulans rumah sakit lapangan, ambulans pelayanan medis bergerak, kereta jenazah, dan ambulans udara.

Ambulans transportasi yang paling dasar saja memiliki kriteria jelas, harus memiliki tabung oksigen dengan peralatannya, alat penghisap lendir, peralatan medis untuk Pertolongan Pertama pada Gawat Darurat (PPGD), obat-obatan sederhana, cairan infus secukupnya.

Petugas yang bekerja di dalamnya bukan asal tahu menyetir, tapi memiliki kemampuan melakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar (BHD) serta memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Ditambah seorang perawat yang terampil melakukan PPGD.

Coba kita perhatikan ambulans yang kita jumpai sehari-hari, apakah sesuai kriteria minimal tersebut?

Penulis meyakini, jawabannya bisa beragam. Tapi secara umum, ada lumayan banyak yang asal-asalan. Pada bagian awal tulisan ini pun sudah disinggung beberapa kejadian nyata, betapa ambulans yang kita miliki memang masih banyak tidak sesuai standar.

Apalagi, ambulans yang dimiliki atau dikelolah oleh organisasi yang tidak ada kaitannya dengan fasilitas kesehatan seperti partai politik atau komunitas lain. Keberadaan dan kelengkapannya sulit dipantau tenaga ahli atau pihak berwenang.

Menurut penulis, untuk menghindari penyelewengan fungsi ambulans, ada baiknya hanya dimiliki dan dikelola secara profesional oleh institusi kesehatan. Hal itu dimaksudkan agar petugas yang bekerja memang berkompeten, fasilitasnya lengkap dan mudah dikontrol oleh pihak berwenang.

Aturan yang sudah dibuat secara baik, harus diterapkan secara tegas. Kalau pun ada pihak lain yang ingin menyediakan ambulans bagi masyarakat, sebaiknya harus memiliki izin khusus dari pihak yang berwenang, dalam hal ini Kementerian Kesehatan.

Bila ditemukan ada ambulans tapi tidak sesuai standar, maka izinnya dicabut dan kendaraan tersebut dilarang berlalu-lalang di jalanan umum.

Sambil terus mengedukasi masyarakat tentang ambulans, pemerintah sebagai regulator sebaiknya tidak neko-neko lagi dalam menerapkan aturan. Bila tidak ada tindakan tegas terhadap setiap pelanggar, maka kesemrawutan ambulans kita tidak akan berakhir.

Bila kesemrawutan itu tidak ditata kembali dengan baik, maka ketika ada sirene ambulans berbunyi keras di jalanan umum, orang tetap enggan memberi jalan sesuai aturan lalu lintas.

Mereka akan berpikir ulang-ulang, apakah ambulans itu membawa pasien gawat darurat, atau ada oknum kepala puskesmas yang sedang pelesiran; atau ada oknum politisi yang sedang bersembunyi; atau hanya berisi batu serta alat buat tawuran? Atau itu hanyalah angkot putih yang kebetulan diberi nama: AMBULANCE

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

 

Oleh: Saverinus Suhardin

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari Saverinus Suhardin


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

3 tanggapan untuk “Ambulans atau Angkot Putih?

  1. Semoga kita semakin “sadar Ambulance”

    Ini bukan angkot putih yg wara wiri cari penumpang, tapi melaju kencang utk selamatkan nyawa saudar saudari..
    Soal kelayakan sebuah ambulance menjadi kewajiban pihak penyelenggara tapi soal kepedulian pada lajunya di jalan untuk keselamatan nyawa menjadi kepedulian kita bersama.

  2. Ambulance di RS banyak. Tapi Ada orang kecil yang bawa pulang mayat keluarga pakai grab. Ada yang pakai ojek. Ada yang pakai gendong. Pada hal ambulance lagi nganggur. Alasannya, terikat Standar Operasional Prosedur Dan Standar Operasional Manajemen.

  3. Perlu disosialisasi secara terus menerus soal eksistensi ambulance dan hakikat penggunaanny kpada masyarakat umum. Siapa yg mensosialisasikn ini smua, ya pemerintah dan instansi2 terkait seperti lembaga rumah skit.

Komentar ditutup.