Bahaya Pestisida di Ngada dan Pemerintah yang Tidak Cakap

Spread the love

Istilah pestisida mencakup berbagai senyawa termasuk insektisida, fungisida, herbisida, rodentisida, moluskisida, nematicides, pengatur pertumbuhan tanaman dan lain-lain (Aktar, Sengupta, dan Chowdhury, 2009; Mostafalou dan Abdollahi, 2017) 

Pestisida, secara umum, menjadi komponen penting dari sistem pertanian dunia selama beberapa abad terakhir, peran pestisida disinyalir telah meningkatkan hasil panen dan produksi makanan (Alexandratos dan Bruinsma, 2012 ). 

Peningkatan produksi ini diarahkan pada upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan karena tekanan pertumbuhan eksponensial populasi manusia dan menyempitnya ruang bercocok tanam.

Kasus yang Meluas

Meski dapat meningkatkan produksi pangan, pada saat yang sama, para sarjana dalam banyak penelitian menyadari bahwa residu pestisida sangatlah berbahaya.

Pestisida diyakini telah menyebar di lingkungan hidup dan menyebabkan kontaminasi yang signifikan pada ekosistem darat serta meracuni makanan manusia (Carson, 1962). 

Selain itu, kontaminasi sistem perairan oleh residu pestisida di seluruh dunia, secara berulang kali telah membahayakan sumber daya makanan perairan, perikanan, dan akuakultur (Carvalho, 2017)

Isu bahaya pestisida telah menyebar luas, laporan WHO (2018) menunjukkan di seluruh dunia, diperkirakan, tiga juta kasus keracunan pestisida terjadi setiap tahun, dan menghasilkan lebih dari 250.000 angka kematian.

Selain itu, masih menurut WHO, keracunan pestisida yang disengaja maupun yang tidak disengaja telah diakui sebagai masalah serius di banyak komunitas pertanian di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah—seperti Indonesia, misalnya—dengan upaya pencegahan dan pengelolaan distribusi dan keracunan pestisida yang tidak memadai.

Di Amerika dalam studi yang dilakukan oleh Langley dan Mort (2012), dilaporkan bahwa biaya nasional tahunan yang terkait dengan paparan pestisida diperkirakan hampir mendekati angka 200 juta dolar.

Di China, dalam studi yang dilakukan oleh Wang et al., (2019) dijelaskan dari 2007-2016, ada 30.789 kasus keracunan pestisida. Secara total, 1705 kasus berakhir dengan kematian, dengan tingkat kematian sebesar 5,5%.

Sedangkan, di Indonesia, dalam laporan Pesticides and health hazards Facts and figures sepanjang tahun 1999-2000 telah terjadi 125 kasus keracunan.

Kondisi ini diperburuk dengan rendahnya kesadaran tentang efek kronis dan negatif dari paparan pestisida di kalangan masyarakat Indonesia.

Perusahaan pestisida di Indonesia benar-benar bebas mempromosikan penggunaan pestisida dengan memberikan hadiah kepada petani seperti kaos, topi dan radio (van der Maden, Wulansari, dan Koomen, 2014)

Di Kabupaten Ngada, isu pestisida kencang bergulir sepanjang tahun 2019 ini, hari ini (13/11/19), Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Ngada mengeluarkan surat pemberitahuan soal kandungan pestisida dalam beberapa bahan pangan seperti buah dan sayur.

Imbauan ini bukan hal baru, sejatinya telah disampaikan juga pada bulan Agustus lalu, karena berdasarkan hasil kajian di empat pasar kabupaten Ngada yang dilakukan oleh Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Ngada, ditemukan adanya bahan pangan yang terindikasi mengandung pestisida dan berbahaya bagi kesehatan ketika dikonsumsi.

Lemahnya Regulasi

Berbagai jenis pestisida digunakan untuk mengendalikan dan mengusir hama di berbagai jenis bidang (Yimaer et al., 2017). Manfaat pestisida ada harganya, dan penggunaannya yang terus menerus sering menjadi bahan perdebatan (Konradsen, van der Hoek, Gunnell, dan Eddleston, 2005).

Dalam studi yang dilakukan oleh Darren (2007) dan Thundiyil, Stober, Besbelli, dan Pronczuk (2008) mereka menjabarkan bahwa meningkatnya kasus bahaya pestisida umumnya ditenggarai oleh lemahnya peraturan, kurangnya sistem pemantauan, penegakan hukum yang rendah, kurangnya pelatihan, akses yang tidak memadai ke sistem informasi, peralatan pelindung pribadi yang tidak dikelola atau tidak ada, dan populasi berbasis pertanian yang besar.

Agaknya, asumsi ini amat relevan dengan kondisi di Ngada, di mana, umumnya mata pencarian masyarakatnya adalah petani sebagai presentasi terbesar yang berjumlah 41100 orang dengan luas lahan pertanian mencapai 6695 hektar (BPS, 2019).

Selain itu, sejauh ini, kita tidak menemukan regulasi yang ketat soal penggunaan pestisida di Ngada, tampaknya, masyarakat masih bebas menggunakan pestisida di area pertanian.

Distribusi pestisida masih bebas dilakukan, demikian juga takaran jumlah penggunaan pestisida di lahan pertanian.

Regulasi berupa Peraturan Menteri Pertanian nomor 24 tahun 2011 tentang Persyaratan dan Prosedur Pendaftaran Pestisida, yang mencakup area aplikasi pestisida, klasifikasi, kategori registrasi, persyaratan administrasi, prosedur pendaftaran, pelabelan pestisida, persyaratan teknis dan fasilitas pengujian terlihat masih jauh untuk diterapkan secara tegas di Ngada saat ini.

Pada sisi yang lain, yang tidak kalah buruk adalah sikap pemerintah yang tidak cukup cakap dan serius untuk membuat regulasi soal masuknya sumber pangan dari luar daerah, ditemukannya berbagai varietas buah apel yang mengandung pestisida menunjukkan hal itu secara gamblang.

Perlu Upaya Serius

Kasus pestisida pada sumber pangan yang merebak di Ngada jika tidak diatasi secara serius akan menimbulkan masalah yang luas. Pertama, dari sisi konsumen jelas mereka akan dirugikan karena bahaya bagi kesehatan.

Kedua, dari sisi petani mereka akan merugi karena hasil pertanian tidak laku dijual dan bahaya penyakit akibat paparan pestisida akan sangat dekat dengan hidup mereka.

Problem pestisida yang terjadi di Ngada sebetulnya tidak sederhana, ada mata rantai yang luas dan dalam.

Dalam laporan  Food systems in an unequal world: Pesticides, vegetables, and agrarian capitalism in Costa Rica, Galt (2014) menjabarkan bahwa produksi sayuran yang bergantung pada pestisida, dibentuk oleh tiga kekuatan utama, yaitu kapitalisme agraria, tata kelola sistem pangan di seluruh rantai komoditas, dan dinamika ekologis yang mendorong produksi pangan lokal.

Proses-proses tersebut menghasilkan kondisi yang tidak setara yang merugikan produsen pangan kecil, seperti petani di Ngada, misalnya, yang memiliki pilihan lebih terbatas daripada petani besar, yang biasanya memiliki akses ke sumber modal yang lebih baik dan dengan demikian dapat mengurangi penggunaan pestisida dan biaya produksi.

Dalam studi yang  lebih spesifik, Williams (2018) melihat bahwa problem pestisida dipengaruhi oleh sistim kebijakan dan praktik politik material yang justru dapat merusak lingkungan dan kesejahteraan manusia.

Dalam konteks Ngada, kita bisa melihat bahwa adanya struktur dan ideologi politik yang membantu memposisikan pertanian sebagai salah satu sektor yang paling intensif menggunakan pestisida.

Pestisida dipertahankan oleh kepentingan sektor pertanian untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah.

Situasi kasus pestisida di dalam bahan pangan mungkin tidak akan mudah diatasi di Ngada dalam waktu cepat,mengingat, Indonesia telah menjadi lahan subur bagi perdagangan pestisida beracun 

Pada tahun 2017, ada 3.285 merek dagang pestisida di Indonesia. Namun, hanya 422 merek dagang pestisida yang diizinkan dan diperdagangkan untuk penggunaan domestik pada tahun 2013

Kondisi ini diperburuk dengan lemahnya seruan untuk kontrol yang lebih ketat pada impor pestisida.

Banyak bahan kimia yang sekarang digunakan mengalir secara ilegal melalui perbatasan yang longgar, datang dari negara-negara yang lebih besar, lebih kuat secara ekonomi ke yang lebih kecil.

Meskipun negara-negara berekonomi kecil terus berupaya mengendalikan impor bahan kimia beracun, permintaan akan pestisida yang murah dan kuat membuat pasar terus berdetak.

Saat ini, industri pestisida Indonesia sangat bergantung pada impor. Pada tahun 2012, pasar pestisida Indonesia bernilai sekitar 2 miliar dolar. Sekitar 64% pasar Indonesia dikendalikan oleh perusahaan multinasional.

Dari perspektif kategori produk, produk yang paling banyak digunakan adalah herbisida (42,5%) dengan glifosat dan paraquat mencapai hampir 120 ribu ton. 

Insektisida adalah kategori produk terbesar kedua berdasarkan konsumsi (37,5%) dan bahan aktif yang paling banyak digunakan adalah carbofuran (40.000 ton).

Fungisida menyumbang sekitar 18% dari pasar dan bahan aktif paling populer adalah mancozeb dan propineb.

Besaran masalah dan tantangan yang ada, dapat menjadi sinyal serius bagi pemerintah, bahwasannya, upaya mengurai persoalan pestisida di Ngada tidaklah mudah.

Namun, peluang penuntasan masih bisa diusahkan. Kondisi yang paling mendesak saat ini adalah mengeluarkan Perda yang dapat mengontrol keluar masuknya pestisida sembari terus melakukan upaya penyadaran kepada masyarakat soal dampak pestisida.

Surat imbauan yang dikeluarkan pemerintah soal kandungan pestisida di dalam bahan pangan tidaklah cukup, sebab, langkah yang demikian alih-alih dibaca sebagai upaya mengurai masalah justru sedang menunjukkan betapa buruknya kinerja pemerintah dalam mengatasi masalah bahaya pestisida yang tengah mengincar masyarakat Ngada.

Imbau jalan terus tetapi masalah jalan terus, kapan pemerintah mulai bekerja serius untuk mengatasi masalah?

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

Oleh: Petrus Kanisius Siga Tage

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari  Petrus Kanisius Siga Tage

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

2 tanggapan untuk “Bahaya Pestisida di Ngada dan Pemerintah yang Tidak Cakap

  1. Bahaya pestisida dalam pengolahan pertanian sdh sangat lama dibahas tapi blm ada solusi pemerintah khusus untuk regulasi pengadaan & penggunaannya pada lahan pertanian.. percuma surat edaran dtrbitkan terus tapi upaya penanggulanganx blm dlakukan. wacana pertanian dgn pupuk organik msh banyak memakai konsep blm diikuti aksi.

  2. Mencerahkan. Sekiranya direspons cepat dan tepat oleh pemerintah. Senang sekali, punya warga yg kritis begini, sebetulnya.

Komentar ditutup.