Buzzer Politik, Demokrasi dan Media Alternatif

Spread the love

Dalam beberapa tahun terakhir, jagad Indonesia disesaki oleh wacana yang disebarkan buzzer dan pelbagai tanggapan kritis atasnya.

Eksistensi buzzer di Indonesia melalui media sosial seakan-akan menemukan lahan subur karena jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta, berkisar antara 56% dari total penduduk. Dari jumlah tersebut, terdapat 130 juta (48% dari total penduduk) pengguna media sosial melalui gadget (databoks, 8/2/2019).

Pesatnya pengguna media sosial tentu saja mempercepat pergerakan buzzer dalam membentuk wacana dan mempengaruhi preferensi pemilih dalam bidang politik.

Pada awal mula, buzzer berkembang dalam dunia ekonomi untuk mempromosikan barang yang diproduksi melalui iklan. Dalam perkembangannya, ia merangsek masuk kedalam dunia politik.

Hasil penelitian Centre for Innovation Policy and Governance pada tahun 2017 sebagaimana ditayangkan Kompas.id (8/10/2019) menunjukkan bahwa di Indonesia, pergerakan buzzer mulai muncul pada saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012.

Pilkada DKI Jakarta merupakan pesta demokrasi yang penuh intrik, melebihi intrik politik manapun yang pernah terjadi dalam sejarah politik elektoral paska otoritarian. Warga Jakarta dibelah ke dalam dua kubu yang saling beroposisi.

Polarisasi warga sipil yang menguat, keterbelahan elit politik yang mencekam, dan konsolidasi kekuatan ekonomi yang semakin dahsyat terjadi di sana.

Di panggung depan politik rakyat memanas, akan tetapi di panggung belakang,  penguasa ekonomi tampak tersenyum mengamati polarisasi warga.

Kelompok radikal leluasa menekan warga, dan agama serta tempat ibadah pun dijadikan tempat kampanye. Inilah potret dari dampak destruktif permainan buzzer yang tentu saja dibiayai oleh kekuatan oligopoli.

Gerakan buzzer kemudian terulang kembali pada pemilihan Presiden pada tahun 2014 dan dilanjutkan dengan pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017, dengan pelbagai konsekuensi politik sebagaimana telah dijelaskan di atas. Tak cuma berhenti di situ, peran buzzer diduga terus dilakukan dalam varian konflik di tanah air ke depan.

Dengan mencermati masifnya keterlibatan buzzer yang membentuk wacana dan memengaruhi opini publik, muncul dua konsekuensi lanjutan terhadap masa depan demokrasi di Indonesia yang perlu dilacak lebih jauh.

Baca Juga: Siapa yang Mesti Bertanggung Jawab dengan Berita Palsu?

Dua konsekuensi dimaksud adalah pendangkalan demokrasi yang memungkinkan demokrasi meminjam istilah Georg Sorensen (2003) dengan istilah ‘demokrasi beku’ (frozen democracy) pada satu sisi, dan pada sisi lain persebaran buzzer pun memungkinkan pendalaman demokrasi (deepening democracy). Ada pihak yang melihat demokrasi secara skeptis dan ada pula pihak yang tetap optimis di tengah meruaknya gerakan buzzer.

Kritis Media dan Multipolaritas Ruang Publik

Dua hal perlu dipaparkan berikut ini untuk menunjukkan disposisi buzzer dan tanggapan warga (maya). Pertama, riset Ika Karlina Idris dan Laeeq Khan (2019), sebagaimana dikemukakan Idris (Kompas, 14/10/2019) menunjukkan bahwa meski geliat buzzer tidak berhenti memengaruhi preferensi warga, para warganet (netizen) memiliki daya melek dan kritis terhadap pelbagai informasi yang bergentayangan di media sosial.

Dari total 396 responden yang berasal dari kalangan mahasiswa dan profesional industri media di Indonesia, rata-rata responden menjawab ‘agak setuju’ sebanyak 40,9% bahwa mereka dapat mengidentifikasi atau mengenal akun-akun buzzer, dan mengetahui bahwa pesan-pesan yang disampaikan di sosial media memiliki tendensi dukungan terhadap kepentingan yang sedang diperjuangan.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa warganet menyadari bahwa informasi yang dilakukan buzzer tidak hanya sekadar ekspresi hak politik warga dalam kehidupan bernegara, tetapi juga merupakan ‘perpanjangan tangan’ sponsor.

Meski pada tataran tertentu dan untuk peristiwa tertentu masyarakat masih memercayai buzzer, akan tetapi kedua peneliti ini menganjurkan agar pemerintah mesti memperkuat kapasitas penyediaan informasi publik lewat media sosial.

Sebab, eksistensi media sosial tidak semata-mata “alat diseminasi informasi atau membuat “trending topic”, melainkan sebuah tempat di mana pemegang kebijakan dapat berdialog dengan publik, mencari solusi terbaik bagi permasalahan publik” (Idris 2019).

Kedua, hampir senada dengan Idris dan Khan (2019), Agus Sudibyo (2019) pun menampilkan sikap optimis terhadap warga yang cerdas dalam menggunakan media sosial, terlebih karena adanya multipolaritas ruang publik. Bagi Sudibyo, demokrasi tidak sepenuhnya rusak atau dihancurkan oleh buzzer.

Demokrasi dihancurkan secara total apabila berada dalam kondisi ceteris paribus, dimana buzzer adalah satu-satunya sumber dan aktor dalam pertarungan politik, atau bahkan media sosial maya adalah sumber primer akses informasi dan ruang diskursus.

Sebaliknya, demokrasi akan tetap bertahan dalam ruang publik yang multipolar dan berlapis-lapis. Bagi Sudibyo, “Pada setiap lapis dan diantara lapis-lapis ruang publik itu terjadi dinamika dan dialektika. Dinamika dan dialektika itu secara akumulatif memberi sumbangan terhadap rupa dan kualitas demokrasi secara keseluruhan”.

Karena itu, publik tidak perlu tenggelam dalam lautan pesimistik akan hadirnya buzzer dalam linimasa.

Dalam ruang publik yang multipolar, tidak hanya buzzer yang eksis, tetapi juga media massa yang masih menjadi rujukan publik akan kebenaran informasi dan kedalaman analisis, serta memberi ruang kritisisme terhadap negara, meski perlu dicatat bahwa media massa mainstrem masih terjebak dalam korporasi bisnis-politik.

Selain itu, pada ruang publik pun, tersebar jutaan pembaca yang melek literasi digital. Pada akhirnya, geliat buzzer dan para pendukungnya akan terbongkar oleh ketersediaan teknologi.

Teknologi yang dipakai buzzer untuk memompa kepentingan ekonomi-politik justru membongkar dengan sendirinya praktek busuknya di kemudian hari seperti pernah terjadi pada kasus infiltrasi Uni Soviet selama proses pemilihan presiden Amerika Serikat baru-baru ini.

Bahkan, dalam konteks Indonesia, pihak Kepolisian dan Badan Intelijen Negara (BIN) berhasil mengendus jejaring buzzer.

Dengan dua pemikiran di atas, tampaknya tidak perlu pesimis dengan masifnya permainan para buzzer politik di linimasa sejauh bara api sikap kritis terhadap pemberitaan terus dinyalakan, dan kultur cross check terhadap sumber-sumber terpercaya lain tetap dilakukan.   

Melampaui Penguatan Epistemik Netizen

Anjuran Idris (2019) agar negara membangun kapasitas layanan media, dan ajakan untuk membangun sikap kritis di tataran epistemik warga terhadap pemberitaan media menimbulkan problem krusial. Dalam perspektif marxian, negara tidak pernah netral dalam relasinya dengan warga dan pemilik kapital.

Disposisi Negara yang menjadi bagian dari pemilik kapital, dan atau sebaliknya, maka kehadiran Negara cenderung membela elite ekonomi.

Negara akan menutup akses informasi atas peristiwa di suatu wilayah untuk menjaga logika integrasi bangsa, meski di sana terjadi penghancuran massa, pembiaran terhadap ketidakadilan struktural, dan memuluskan proses akumulasi kapital ke kantong-kantong oligark.

Dalam terang pemikiran demikian, maka penguatan kapasitas pelayanan informasi pun akan selalu cacat dan problematik.

Senada dengan hal itu, mengharapkan informasi media massa mainstrem pun membuat publik terjebak ‘simalaka’. Media massa di Indonesia telah menjadi bagian dari oligarki kekuasaan yang berusaha mempertahankan status quo.

Pemberitaan media massa mainstream diarahkan untuk membentuk citra pemilik media yang adalah juga elit negara.

Di titik inilah, sebetulnya, ruang kemunculan media alternatif progresif dibuka seluas-luasnya. Ia kemudian dirawat, dibesarkan dan dijaga keberlangsungan hidupnya. Ia hadir untuk menyeimbangkan buzzer dan media massa mainstream agar tidak mendominasi satu terhadap yang lain. Bahkan, media alternatif ini pun diarahkan untuk mengungguli media lainnya.

Tipologi media alternatif progresif adalah media yang secara konsisten membuka kanal-kanal oligarki dan membuka selubung struktur kekuasaan ekonomi-politik yang menindas secara terang-benderang. Hanya dengan demikian, jagat maya dan dunia riil Indonesia tidak disesaki oleh pemberitaan yang menyesatkan.

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

 

Oleh: Didimus Dedi Dhosa

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari Didimus Dedi Dhosa


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai