Ekspansi Kapital dan Disorientasi Koperasi (1)

Spread the love

 

Kota Kupang sedang diguyuri investasi besar-besaran beberapa tahun terakhir. Mulai dari pembangunan mall-mall, hotel-hotel megah hingga Alfamart. Ornamen kapitalisme ini hadir atraktif sembari menawarkan kesempatan secara vulgar bagi setiap orang untuk berbelanja dan berkonsumsi sebagai salah satu paradigma menghindari stagnasi pertumbuhan ekonomi.

Sependek pengamatan saya, tidak tampak perlawanan serius dan masif dari massa atas ekspansi ornamen kapitalisme tersebut di Nusa Tenggara Timur (NTT). Diskursus rasional atas fenomena ekspansi kapital ke wilayah periferi, termasuk NTT pun, tidak dilakukan oleh pelbagai gerakan sosial yang mampu menggerakan aksi massa. Hal itu pula tidak dibicarakan secara luas oleh orang-orang biasa dalam kehidupan harian mereka (daily politics). Jika memang ada, aksi-aksi itu tampak sporadis, dan karena itu, ia sangat mudah dipatahkan.

Dua alasan perihal melempemnya gerakan sosial menghadang ekspansi kapital. Tiap alasan merepresentasikan masing-masing komunitas, yakni pemerintah dan massa/publik. Pertama, dalam kacamata pemerintah, investasi kapital merupakan strategi paling jitu untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan mendongkrak ketertinggalan pembangunan. Pemerintah mengundang kapital domestik dan asing untuk mengembangkan usaha dalam pelbagai aspek yang dapat memvalorisasi kapital menjadi nilai lebih. Kapital asing (center) hanya dapat masuk ke wilayah lokal (periphery) jika ia berkolaborasi dengan kapital domestik, dan difasilitasi oleh pemerintah lokal.

Dengan investasi kapital korporasi, pemerintah selalu berdalih mampu meraup pendapatan daerah melalui pajak dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dari indeks pertumbuhan ekonomi tersebut, lapangan kerja selalu diciptakan, paling tidak, untuk menyerap tenaga kerja yang menganggur. Adagium pemikir neo klasik yakni makin tinggi aktivitas yang membidani lahirnya pertumbuhan ekonomi, semakin besar peluang menciptakan lapangan kerja baru sebagai efek merembes ke bawah (trickle down effect).

Kedua, asumsi publik atau orang kebanyakan, yakni kota besar ditandai oleh investasi kapital yang semakin pesat. Kota modern adalah kota yang ditandai oleh pembangunan mall-mall, hotel dan alfamart. Ruang publik dikolonisasi. Ruang terbuka hijau diokupasi. Dan, pemerintah mengkonversi pemanfaatan ruang dari publik ke privat melalui perubahan kebijakan yang pro investasi.

Iklim investasi modal terus menggeliat jika Kupang khususnya dan NTT umumnya melakukan dua hal. Pertama, menjaga toleransi antar umat beragama. Toleransi memampukan orang untuk menghargai satu terhadap yang lain. Model toleransi tersebut pada titik tertentu dipakai sebagai dalil untuk menghindari konflik. Pada akhirnya toleransi menyembunyikan antagonisme ketimpangan ekonomi yang relatif tinggi diantara kaum yang berpunya dan kaum yang tak berpunya, antara kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah dalam struktur sosial masyarakat.

Kedua, menciptakan wajah kota yang asri. Kota yang kumuh mengganggu ekspansi kapital. Kota kumuh pula tidak menarik investasi kapital. Tugas pemerintah kemudian adalah menyulap wajah kota yang dianggap semrawut dan kumuh menjadi arena yang indah dipandang. Dalam perspektif seperti ini, tidak heran jika kita menyaksikan, bagaimana pemerintah menggusur bangunan-bangunan yang dianggap liar, yang didirikan di pinggir jalanan umum, yang dimiliki oleh orang-orang kecil, sebagaimana terjadi di Kupang beberapa tahun terakhir.

Tak lama sesudah menggusur bangunan liar, pendirian ornamen kapitalisme semakin masif. Inilah ironi dari sebuah pembangunan yang berorientasi akumulasi kapital. Konsekuensi logis dari hal-hal yang dipaparkan di atas adalah monopoli ruang dan penggusuran orang-orang kecil yang sedang berjuang untuk mempertahankan hidupnya.

Yang patut didiskusikan lebih lanjut adalah mengapa terjadi demikian? Apakah hal ini adalah kesalahan pemerintah dan kerakusan pemilik kapital asing dan kapital domestik? Ataukah, ada ruang kosong yang tidak diisi oleh komunitas atau lembaga alternatif lain? Ruang kosong itu pada akhirnya membuka rongga yang menganga lebar, dan memungkinkan permainan bebas antara pemerintah dan kapital swasta?

Ruang kosong ini, bagi saya, adalah ketiadaan peran koperasi yang memainkan fungsi radikal meng-counter ekspansi kapital. Ketiadaan ini disokong pula oleh kekaburan epistemik disposisi koperasi. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan secara ringkas disposisi koperasi dalam perdebatan antara Muhammad Hatta (wakil presiden RI) dan Dipa Nusantara Aidit (Partai Komunis Indonesia), dan bagaimana mengintervensi pembentukan koperasi non-kapitalis melalui prisma analisis Pierre Bourdieu. Dengan demikian, tulisan ini berargumen bahwa problem penting ekspansi kapital dari wilayah pusat (center) ke wilayah pinggiran (periferi, baca: NTT) tidak semata-mata kesalahan pemerintah dan monopoli aliansi kapital asing-domestik, tetapi juga, terutama, ruang kosong yang ditinggalkan oleh koperasi.

Koperasi Sebagai Sarana Akumulasi Kapital

Konsep akumulasi primitif dikemukakan oleh Karl Marx dalam karya monumentalnya, Das Capital I. Melalui akumulasi kapital terjadilah pencaplokan pelbagai basis produksi. Bagi Marx (2004), tanah diambil alih entah melalui perampasan secara paksa, pengusiran para petani secara sewenang-wenang maupun pemindahan suku-suku dari tanah ulayat. Hal-hal itu ditunjang oleh otoritas negara yang merancang regulasi untuk mengeluarkan massa rakyat dari basis produksi yang telah menghidupi mereka.

Sebagaimana disitir dari Mulyanto (2012), sesudah proses pengalihan itu berakkhir, terciptalah dua kelompok besar yang saling beroposisi: kaum feodal dan tuan tanah di satu sisi, dan kaum tanpa tanah, atau memiliki tanah namun tampak kecil ukurannya pada sisi yang lain. Kaum yang terlepas dari basis produksi ini ditarik masuk ke dalam sistem ekonomi kapitalistik.

Pencaplokan basis produksi dalam apa yang disebut akumulasi primitif telah menyebabkan para pekerja terlepas dari basis produksi. Para pekerja tidak menjadi tuan atas dirinya. Mereka kemudian dicampak ke dalam rimba pasar kapitalis yang sangat eksploitatif dan predatoris.

Seiring berkembangnya modus operandi kapitalisme akibat perkembangan teknologi, terjadi pula transformasi cara kerja akumulasi kapital. Karena itu, Harvey menyebut 4 fitur akumulasi kapital yakni privatisasi dan komodifikasi, finansialisasi, manajemen dan manipulasi krisis, serta redistribusi oleh negara. Semua hal itu mendapat dukungan dan difasilitasi oleh negara, dalam apa yang Harvey (2009; 2003) sebut ‘neoliberal state’. Negara neoliberal membentuk lembaga keuangan global untuk memperlancar akumulasi di tingkat global diantaranya International Monetary Fund (IMF), World Trade Organization (WTO) dan bank dunia (World Bank). Tiga lembaga itu adalah pendukung utama neoliberalisme. Negara acapkali tunduk pada titah institusi keuangan global tersebut.

Pertanyaan kemudian adalah dimanakah posisi koperasi? Sejatinya, koperasi dibentuk untuk menahan laju ekspansi kapitalisme. Tapi, pembentukan koperasi sebagai lembaga keuangan yang berasaskan kekeluargaan dan dijadikan dasar ekonomi nasional pada akhirnya hanya menjadi institut pelayan pasar kapitalis, khususnya melalui koperasi harian, dan koperasi arus utama yang menanamkan modal anggota pada institusi keuangan seperti bank-bank.

Tak dapat disangkal bahwa modal anggota koperasi entah secara sengaja atau tidak sengaja, oleh karena keterbatasan infrastruktur pengaman, disimpan oleh pegiat koperasi pada bank-bank. Bank menerima dengan tangan terbuka uang-uang anggota koperasi. Kapital finansial tersebut kemudian dipinjamkan kepada kelas menengah-atas. Uang tersebut mengalami sirkulasi dari pinjaman menjadi bunga, dan dikembalikan kepada bank untuk diakumulasi dalam siklus kapital. Karena itu, koperasi-koperasi di NTT dalam tataran tertentu dibangun untuk mengakumulasi kapital kelas menengah dan kelas atas.

Menurut kepemilikan terhadap aset dan sarana produksi, koperasi dapat dibedakan atas dua tipe. Tipe pertama adalah koperasi kapitalis, dan tipe kedua adalah koperasi sosialis. Koperasi kapitalis mengusung spirit kepemilikan pribadi, sementara itu koperasi sosialis menekankan kepemilikan bersama. Modal pribadi dalam koperasi kapitalis dipergunakan untuk menambah akumulasi kapital dengan cara meminjamkan modal kepada para anggota. Sedangkan modal bersama dalam koperasi sosialis dipinjamkan kepada para anggota demi membantu meningkatkan produktivitas masing-masing anggota. Perbedaan koperasi ini dapat disimak dalam kritik D.N Aidit kepada konsep koperasi a la Muhammad Hatta.

Menurut Hatta, koperasi merupakan landasan perekonomian nasional. Sebab, di dalam koperasi terdapat prinsip kekeluargaan diantara semua anggota. Pada koperasi, demikian Hatta, tak ada majikan dan buruh yang kepentingannya bertentangan. Yang bekerja semuanya anggota yang sama-sama bertanggung jawab atas keselamatan koperasinya. Koperasi berbeda dengan lembaga keuangan atau firma-firma. Jika lembaga keuangan memiliki aset pribadi dan dikembangkan demi keuntungan pribadi, maka koperasi mengusahakan kepentingan bersama dan memajukan kesejahteraan bersama (Hatta 2015:7).

Koperasi dalam pandangan Hatta (2015:13-15) memiliki beberapa tugas utama. Pertama,  koperasi bertugas memperbanyak jumlah produksi barang-barang berupa makanan dan kerajinan serta  pertukangan yang diperlukan oleh para anggota tiap hari. Kedua, koperasi berperan memperbaiki kualitas barang-barang yang diproduksi atau dihasilkan dari tangan para anggota. Artinya, barang yang diproduksi itu masih terbatas pada bahan mentah, maka koperasi perlu mengolah bahan tersebut menjadi bahan yang nilai jualnya lebih tinggi. Tentu saja, pengolahan barang tersebut demi kepentingan anggota koperasi. Ketiga, koperasi perlu memberbaiki distribusi barang-barang kepada para anggota. Keempat, koperasi memperbaiki harga barang-barang yang menguntungkan masyarakat. Tugas tersebut sangat membantu masyarakat yang lemah ekonominya dan penghasilannya tidak menentu. Kelima, koperasi bertugas melawan para penghisap dan lintah darat melalui sistem ijon di desa-desa. Keenam, memperkuat modal bagi masyarakat. Karena modal masyarakat untuk melakukan kegiatan produksi relatif kecil, maka koperasi bertugas memberikan layanan modal bagi anggotanya. Ketujuh, pembentukan lumbung desa yang dapat menyimpan hasil pertanian masyarakat. Lumbung seperti ini sangat diperlukan antara lain 1) untuk menyimpan hasil nilai lebih produksi para anggota koperasi; 2) Simpanan di lumbung desa itu dapat digunakan kembali sebagai bahan cadangan pada saat masyarakat memasuki musim paceklik; 3) Simpanan itu dapat dijual lagi dengan harga yang relatif besar, dan dapat jual kepada sesama anggota atau orang yang sangat membutuhkan. (Bersambung)

[alert type=white ]Baca Bagian 2 di Sini[/alert]

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

 

Oleh: Didimus Dedi Dhosa

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari Didimus Dedi Dhosa


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai