Gagal Total Penuntasan Sengketa Tanah Perbatasan Ngada-Matim 

Spread the love

Pada Mei 2019 lalu, Gubernur NTT Viktor Laiskodat sesumbar mengatakan, hanya dalam tempo beberapa jam saja, ia mampu menyelesaikan sengketa tanah perbatasan Ngada-Manggarai Timur yang sudah berlangsung selama 46 tahun (Kompas, 2019).

Lima bulan berselang, tepatnya pada Sabtu, 19 Oktober 2019, Tadeus Taang (65), warga Dusun Benteng Tawa 1, Kabupaten Ngada, tewas dibakar oleh sekelompok warga Dusun Sanangkalo, Kabupaten Manggarai Timur di Kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Mapar di wilayah perbatasan antara Kabupaten Ngada dan Kabupaten Manggarai Timur (EKORA NTT, 2019).

Seperti diakui Anggota DPRD Provinsi NTT Yohanes Rumat, motif pembunuhan di atas belum jelas (EKORA NTT, 2019).

Apakah karena sengketa tanah perbatasan? Apakah karena sengketa tanah kebun milik pribadi?

Akan tetapi, adanya korban nyawa akibat sengketa tanah di wilayah perbatasan menunjukkan gagal total solusi teknis Pemrov NTT mengatasi persoalan tersebut.

Mengapa gagal?

Di satu sisi, terdapat pendapat yang mengatakan bahwa gagal total penyelesaian sengketa perbatasan Ngada-Matim terjadi karena cacat prosedural dan ketidaktegasan Negara–dalam hal ini Kementerian dalam Negeri RI–dalam menghargai sejarah, bukti fisik pilar, dan kesepakatan yang telah dibuat oleh para pendahulu.

Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan menurut cara pandang ini adalah pemerintah perlu melakukan penyelidikan administrasi perihal status agraria dan penentuan batas wilayah di daerah perbatasan itu.

Di sisi lain, terdapat argumen yang mengatakan bahwa sengketa tanah perbatasan Ngada–Matim disebabkan oleh alasan ekonomi dan politik (Tolo, 2019).

Secara ekonomi, konflik terjadi karena terdapat sumber daya ekonomi yang hendak dikuasai oleh warga atau pemerintah administratif.

Secara politik, konflik terjadi karena elite ekonomi dan politik memiliki kepentingan ekonomi politik pada masyarakat yang menjadi basis politik atau konstituennya.

Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan menurut perspektif ini adalah menggunakan pendekatan bottom up alias mendengarkan rakyat untuk menggali akar masalah dengan mencari tahu alasan ekonomi dan politik dari konflik.

Menurut pendekatan ini, pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator atau penengah saja. Pemerintah mesti lebih banyak buka kuping untuk mendengarkan suara rakyat dari pada buka mulut untuk berbicara. Alasannya adalah rakyat lebih tahu mengenai konflik yang sedang terjadi.

Kami berpendapat, gagal total penuntasan sengketa tanah perbatasan Ngada–Matim terjadi karena pemerintah lebih melihat persoalan administratif-legal-formal sebagai sebab konflik agraria dari pada persoalan ekonomi politik para pihak yang bertikai.

Akibatnya, solusi atas masalah pun menggunakan pendekatan administratif-legal-formal.

Misalnya, menurut argumen legal-formal, konflik agraria terjadi karena pemerintah tidak tegas menerapkan aturan UU tentang Otonomi Daerah yang mewajibkan bahwa minimal lima (5) tahun setelah Otda terbentuk, batas-batas wilayah otonomi baru harus dibikin jelas.

Pertanyaannya adalah apakah penerapan UU tentang Otda akan sanggup menyelesaikan konflik agraria?

Walaupun tidak terbukti, pemerintah terus-menerus menggunakan pendekatan up–bottom atau atas–bawah untuk menyelesaikan konflik.

Pemerintah merasa lebih tahu segala-galanya tentang asal muasal konflik.

Pemerintah kemudian lebih banyak buka mulut untuk berbicara dari pada buka telinga dan hati untuk mendengarkan suara rakyat.

Oleh karena itu, sesuai dengan perspektif ekonomi politik, kami berpendapat, pemerintah perlu turun ke lapangan mendengarkan suara rakyat di sana untuk mencari tahu alasan ekonomi politik di balik konflik.

Pemerintah juga perlu mendengarkan pendapat intelektual, terutama para peneliti masalah agraria di Flores, dan kelompok masyarakat adat.

Penelitian para sarjana menunjukkan potensi penerapan alternatif penyelesaian sengketa atau alternative dispute resolution (ADR) di bidang pertanahan melalui mediasi sengketa tanah (Sumardjono, Ismail, dan Isharyanto, 2008).

Dalam penelitian terhadap penerapan alternatif penyelesaian sengketa di bidang pertanahan di berbagai daerah sampai dengan tahun 1999 dan setelah tahun 1999, para sarjana menemukan, penyelesaian sengketa tanah di luar jalur pengadilan sangat relevan.

Hal tersebut disebabkan karena dua hal, yaitu pertama, penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui cara-cara perundingan, mediasi, arbitrase, dan lain-lain relevan dan bermanfaat pada saat kepercayaan publik kepada lembaga pengadilan semakin merosot. Kedua, sengketa di bidang pertanahan merupakan jenis sengketa yang menempati urutan paling atas dari volume pengaduan yang diterima oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)  

Sebelumnya, memang perlu dilakukan identifikasi terlebih dahulu mengenai tipologi kasus sengketa tanah di atas.

Paling kurang, ada lima (5) kelompok tipologi kasus di bidang pertanahan, yaitu pertama, kasus-kasus berkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanah-tanah perkebunan, kehutanan, dan lain-lain, kedua, kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform, ketiga, kasus-kasus berkenaan dengan ekses-ekses penyediaan tanah untuk pembangunan, keempat, sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah, dan kelima, sengketa berkenaan dengan tanah ulayat.

Selanjutnya, pertanyaan yang perlu dijawab adalah apa saja sumber daya ekonomi yang diperebutkan di sana?

Siapa saja elite ekonomi dan politik yang memiliki kepentingan ekonomi politik dengan konstituen di sana?

Mengapa sengketa tanah perbatasan ini berlangsung sangat lama?

Memang pendekatan ini memakan waktu dan biaya yang besar. Namun, nyawa seorang anak manusia yang melayang akibat konflik agraria jauh-jauh lebih berharga dari pada emas atau perak.

Stop sudah bikin pencitraan politik dengan duduk di balik meja, mengundang elite politik dan elite masyarakat di daerah, lalu bikin statement di media, “hanya dalam tempo beberapa jam saja, saya sudah selesaikan sengketa perbatasan yang sudah berusia 46 tahun.

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

Oleh: Silvano Keo Bhaghi

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari Silvano Keo Bhaghi


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai