Kapitalisme, Keluarga, Rumah & Kekerasan Terhadap Perempuan

Spread the love

Siang hari, satu dekade yang lalu, pada 14 Mei, 2011 di koridor hotel mahal, Sofitel New York, Midtown Manhattan, jantung kota New York City, terletak sekitar 200 meter dari bagian utara Bryant Park dan Perpustakaan Umum New York dan di sebelah New York Yacht Club, seorang pria kulit putih telanjang, mengejar petugas kebersihan hotel, pencari suaka wanita kulit hitam bergaji rendah di koridor hotel dan memaksa berhubungan seks dengannya. 

Pria itu, tentu saja, adalah direktur International Monetary Fund (IMF) saat itu, Dominique Strauss-Kahn, dan wanita itu, Nafissatou Diallo, tiga puluh tiga tahun, seorang pekerja yang juga sedang  mencari suaka di Amerika Serikat dari negara asalnya Guinea, bekas jajahan Prancis. 

Kisah berlatarbelakang kekerasan seksual di atas dianggap sebagai ikon untuk zaman kita. Ikonik dalam arti bahwa adegan itu menangkap momen ketika perbedaan antara kelas menjadi dasar dari kekerasan (seksual) terhadap perempuan—akibat kerja kapitalisme yang jarang sekali dimunculkan sebagai akar penyebab kekerasan terhadap perempuan.

Perwakilan dari citra Strauss-Kahn yang menyerang Diallo terletak pada kekuatan aktual kapitalis yang dimiliki lembaga keuangan internasional kapitalis seperti IMF atas negara-negara Selatan (miskin) seperti Guinea.

Prevalensi Kasus

Secara global, laporan yang diterbitkan oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 3 (30%) wanita di seluruh dunia telah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual pasangan intim atau kekerasan seksual non-pasangan dalam hidup mereka.

Sebagian besar kekerasan ini adalah kekerasan pasangan intim. Di seluruh dunia, hampir sepertiga (27%) wanita berusia 15-49 tahun yang pernah menjalin hubungan dengan pasangan mereka melaporkan bahwa mereka telah mengalami beberapa bentuk kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan intim mereka.

Di Indonesia, catatan Komnas Perempuan, Jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus. 

Secara berbeda, di Nusa Tenggara Timur, kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak-anak dan perempuan mengalami peningkatan selama masa pandemi COVID-19. Tercatat kekerasan menembus angka 564 kasus pada 2020.

Jumlah kasus ini tentu saja akan bertambah jika kita melihat kasus yang muncul ke publik dalam beberapa pekan belakangan seperti: pemerkosaan di Aceh, kasus Sulawesi, kasus  Novia Widyasari, kasus pesantren Bandung, dan kasus Penkase Kupang.

Kapitalisme Beroperasi dalam Keluarga

Berhadapan dengan beragam kasus di atas, kita seringkali  kebingungan dengan beragam penyebab yang kompleks, namun, seringkali konteks tentang penyebab kapitalisme terhadap isu kekerasan terhadap perempuan seringkali luput dari diskursus publik.

Perubahan mendasar dalam kehidupan perempuan dimungkinkan oleh perkembangan kapitalis. Revolusi industri dan kebangkitan produksi kapitalis mengacaukan keluarga feodal lama. 

Industri baru, menarik orang-orang dari pedesaan ke kota, di mana, laki-laki, perempuan dan anak-anak dieksploitasi di tambang, pabrik, dan area kerja lainnya.

Hal ini menyebabkan, terjadinya pemisahan pekerjaan dan kehidupan keluarga. Bagi pekerja di kawasan kumuh industri, keluarga tidak lagi ada sebagai unit ekonomi (meskipun sebagian ada sebagai unit sosial). 

Baca Juga: Kekerasan Seksual, Akar Masalah dan Kebijakan Penuntasan

Tetapi bagi kelas penguasa, keluarga tetap menjadi institusi penting untuk mengatur kekuasaan dan kekayaan kelas mereka. Ketika mereka mencari cara untuk mengurangi angka kematian di antara para pekerja, mereka secara alami beralih ke keluarga sebagai upaya agar setiap generasi dirawat dan dibesarkan dan siap untuk dieksploitasi.

Pada tingkat yang lebih ekstrim kapitalisme dapat menyusun ulang reproduksi sosial, sebagaimana dibuktikan dalam upaya untuk menyusun kembali identitas gender dan mengedarkan kembali ideologi tertentu mengenai keluarga kelas pekerja. 

Marx dan Engels mengira, keluarga akan mati ketika menjadi kelas pekerja, tetapi, prognosis mereka ternyata salah. Dihadapkan dengan kondisi yang amat sibuk dan sedikit jeda dari jam kerja yang melelahkan, para pekerja beralih ke janji surga kedamaian dan kasih sayang dalam keluarga.

Keluarga kelas pekerja baru, tidak seperti keluarga petani lama, didasarkan pada ketertarikan timbal balik dan kontrak yang dibuat secara bebas.

Kapitalisme adalah mode produksi yang meliputi dan menyusun semua jenis hubungan sosial. Kapitalisme tidak segan-segan menggunakan tenaga kerja murah perempuan dan anak-anak di abad ke-19 untuk meningkatkan produksi dan keuntungan. Ia bermain dengan wanita dengan cara yang sepenuhnya oportunistik untuk beradaptasi dengan fluktuasi ekonomi. 

Pada masa makmur/sejahtera, perempuan dituntut secara besar-besaran, seperti yang terjadi hingga tahun 70-an di bidang manufaktur elektronik atau sektor tersier. Namun, mereka masih secara sistematis dianggap sebagai tenaga kerja cadangan atau sekunder. 

Di masa resesi, seperti yang telah kita alami selama hampir 30 tahun dan terutama sejak 2008, pengusaha serta negara terus memberikan insentif bagi mundurnya sebagian perempuan dari pasar tenaga kerja, sehingga mereka dapat fokus pada tugas ibu rumah tangga mereka. 

Singkatnya, ketika negara kapitalis membutuhkan pekerja, perempuan dicari, dan dibayar lebih rendah daripada laki-laki, dengan menurunkan semua gaji. 

Di masa makmur, negara berinvestasi dalam layanan sosial sebagai cara untuk meningkatkan fleksibilitas pekerja yang semakin dituntut, terutama, bagi perempuan yang terwakili dalam pekerjaan paruh waktu dan lebih fleksibel.

Kecenderungan untuk melakukan reorganisasi dalam keluarga ini, memiliki konsekuensi langsung pada relasi gender: di satu sisi, kapitalisme memberi makan pada sistem penindasan (patriarki) yang sudah ada sebelumnya, dan di sisi lain, ia menghiburnya. Memang, penindasan historis terhadap perempuan membenarkan keputusan politik ketika situasi lebih menguntungkan untuk mengirim perempuan kembali ke tempat “asli” mereka di rumah. 

Berapapun proporsi lapangan kerja yang disediakan oleh negara, perempuan selalu melakukan pekerjaan yang tidak dibayar lebih banyak daripada laki-laki. Oleh karena itu, sistem kapitalis mengkristalkan perempuan dalam ketidakstabilan yang konstan, dan menegaskan mereka sebagai pekerja sekali pakai, sama seperti banyak kelompok lain saat ini. Dinamika ini, sekarang beroperasi dalam skala global, menyusup hingga ke konteks lokal.

Keluarga juga memainkan peran sentral dalam dominasi laki-laki dengan tiga fungsi utama: reproduksi dan transmisi nilai, penyangga emosional, dan regulasi pasar tenaga kerja. 

Keluarga menjadi tempat pekerja tambahan dapat ditemukan ketika dibutuhkan, atau, di mana mereka dapat dikirim kembali ketika berlebihan: kapitalisme membutuhkan sesuatu di luar dirinya untuk menciptakan nilai tambah. Ia melakukan hal yang sama dengan perempuan atau pekerja tidak tetap seperti halnya ketika mereka mengeksploitasi alam dan lingkungan hidup.

Proses dominasi laki-laki yang diciptakan oleh kapitalisme dalam keluarga, menyebabkan kapitalisme tidak hanya mengubah patriarki tetapi membutuhkan sistem patriarki, menggunakannya, dan terus mereproduksi kondisinya untuk mendapatkan keuntungan dari pekerjaan perempuan yang tidak dibayar dan/atau disusutkan. 

Bagi Aruzza, kapitalisme tanpa penindasan gender tidak pernah ada: hilangnya hak dan properti yang sebelumnya dimiliki oleh perempuan (seperti tanah, otoritas atas keluarga atau keahlian) merupakan salah satu bentuk akumulasi pertamanya.

Seperti yang kita lihat, kapitalisme mengubah keluarga patriarki tradisional dan menciptakan citra ibu rumah tangga. Tetapi patriarki, melalui pembagian tugas, kepercayaan pada inferioritas perempuan, serta pemisahan pekerjaan mereka di rumah dari nilai pasar apa pun, melayani kapitalisme dengan membebaskan sebagian besar jenis pekerjaannya. 

Kapitalisme bergantung pada depresiasi pekerjaan rumah tangga ini, yang memungkinkannya melakukan penghematan besar-besaran. Tanpa dominasi gender ini, dikombinasikan dengan kelas, ras, dan dominasi terhadap alam, sistem itu akan runtuh begitu saja.

Dalam banyak kasus, perempuan melakukan sebagian besar pekerjaan bebas. Banyak penelitian menunjukkan bahwa meskipun perempuan adalah sekitar 50% pekerja, mereka berkontribusi kurang dari 50% dari PDB karena devaluasi pekerjaan mereka. 

Bahkan, ketika perempuan bekerja lebih lama, dan menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga, kerja perempuan di ruang publik terus membawa cap pekerjaan informal tanpa upah yang ia lakukan di ruang pribadi.

Selain itu, pekerjaan rumah tangga gratis bagi perempuan bervariasi di berbagai negara dengan kesetaraan 10 hingga 50% dari PDB. Di AS, pengasuhan anak saja menghasilkan hingga 20% dari PDB. Berdasarkan gagasan Jean Gadrey, bahwa cara PDB dihitung berdasarkan gender.

Peran gender yang diasosiasikan dengan keluarga kapitalis–laki-laki dan pengasuh yang kuat, agresif, pasif–meresap ke seluruh masyarakat melalui sistem pendidikan, media massa, hiburan dan sebagainya. Tidak ada individu perempuan yang dapat melarikan diri dari kondisi ini, bahkan jika mereka tidak hidup dalam apa yang disebut keluarga inti, apakah mereka menikah dan memiliki anak atau tidak. 

Ini adalah ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, kontradiksi antara kehidupan ideal kebahagiaan keluarga dan realitas jam kerja yang panjang, perjuangan untuk memenuhi kebutuhan, dan kendala pada kehidupan sosial karena kemiskinan.

Keluarga menjadi tempat bertumpuknya perasaan frustasi dan penindasan. Penggunaan tubuh perempuan sebagai objek seks memperkuat gagasan lama tentang tanggung jawab perempuan untuk memenuhi kebutuhan laki-laki. Dan bukan hanya pria yang memandang wanita seperti ini. 

Semua studi tentang sikap menunjukkan bagaimana perempuan menginternalisasi pandangan tentang peran mereka, menyebabkan perasaan bersalah dan tidak mampu jika mereka tidak memenuhi tuntutan suami mereka.

Sepanjang sejarah masyarakat kelas, perempuan telah mengalami kekerasan di tangan laki-laki. Kapitalisme sepenuhnya mengatur ulang kehidupan perempuan dan laki-laki, serentak, ia mempertahankan penindasan perempuan dan juga penindasan kelas. Meskipun keluarga terpisah dari produksi, ia bukannya tidak terpengaruh oleh perubahan di tempat kerja. 

Itulah sebabnya, perubahan abad ini telah melahirkan kontradiksi yang memengaruhi kehidupan perempuan dalam keluarga. Kebangkitan gerakan pembebasan perempuan di tahun enam puluhan ditopang oleh meningkatnya jumlah perempuan dalam pekerjaan berupa, sehingga menimbulkan tuntutan untuk kontrol atas seksualitas kita, peningkatan kontrasepsi dan hak aborsi. 

Baca Juga: Kaka, Perempuan Bukan Kucing

Hal ini memungkinkan aktivitas seksual dipisahkan dari pernikahan dan prokreasi. Terlepas dari ideologi kehidupan keluarga, di sebagian besar negara industri saat ini, Sikap menjadi ibu telah berubah secara dramatis pada tingkat yang mungkin sulit kita bayangkan di waktu mendatang. 

Pada tahun delapan puluhan, kurang dari setengah wanita yang disurvei di Australia berpikir menjadi ibu adalah karier. Jumlah anak yang lahir di luar nikah mencapai 18 persen pada tahun 1987. Jumlah orang yang hidup sendiri pada tahun 1986-87 adalah 20 persen rumah tangga.

Kontradiksi yang terus berlanjut antara janji perkembangan ini dan realitas kehidupan di bawah kapitalisme dan penindasan perempuan yang berkelanjutanlah telah memunculkan kekhawatiran pertama tentang kekerasan terhadap perempuan secara umum dan kemudian tentang kekerasan dalam rumah tangga dan pemerkosaan dalam pernikahan atau di ruang yang lain.

Kekerasan Terhadap Perempuan Beroperasi di Rumah

Untuk memahami kekerasan terhadap perempuan, agaknya kita mesti sedikit mundur untuk melihat pandangan Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex, di mana ia berpendapat bahwa perjumpaan seksual pertama seorang perempuan adalah “suatu tindakan kekerasan yang mengubah seorang gadis menjadi seorang perempuan”. Dia menggunakan semua bahasa hubungan yang tidak setara: wanita itu “diambil”, dia “diserang”,  dan akhirnya dia “mengalah” pada kemajuan seksual pria.

Susan Brownmiller berpengaruh dalam mempromosikan analisis semacam di atas dengan bukunya Against Our Will , diterbitkan pada tahun 1975. Bagi de Beauvoir “ini selalu menjadi dunia pria”. Dan “betina … adalah mangsa spesies”.

Brownmiller berpendapat bahwa pemerkosaan “tidak lebih atau kurang dari proses intimidasi yang disadari oleh semua pria yang membuat semua wanita dalam keadaan ketakutan”.

Tema ini menjadi menonjol, terkadang mengaburkan semua seksisme ke dalam kategori kekerasan. Kasus seksisme sehari-hari seperti catcalling, lelucon anti-perempuan, ejekan, dll. menciptakan lingkungan di mana, kekerasan dari yang kecil hingga pemerkosaan dan pemukulan secara paksa dapat terjadi. 

Tetapi mengaburkan semua situasi ini menjadi satu sama dengan mengabaikan kekhususan masing-masing dan mengurangi pemahaman kita tentang hubungan sosial antara jenis kelamin yang mengarah pada kekerasan terhadap perempuan.

Dalam kelanjutannya, kekerasan terhadap perempuan dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu kekerasan fisik misalnya kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, mutilasi, atau bahkan pembunuhan. 

Kekerasan moral atau psikologis terdiri dari penghinaan, penghinaan, ancaman. 

Kekerasan struktural dipupuk oleh institusi masyarakat tertentu, yang mencegah beberapa individu memenuhi diri mereka sendiri. Kekerasan struktural dilaksanakan melalui lembaga-lembaga seperti sekolah, peradilan atau sistem politik dan pemilihan, dan pada akhirnya meminggirkan sebagian penduduk. 

Adapun kekerasan simbolik, ia hadir dalam mitos dan wacana, dan sangat sedikit yang dibuat untuk menghentikannya dibandingkan dengan kekerasan fisik yang ketat. Situasi ini sangat berkaitan erat dengan pengaruh kapitalisme seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Kekerasan simbolik perlu menjadi sorotan penting, mengingat ada pengaruh kapitalisme didalamnya dan beroperasi dari dalam keluarga. Dari dalam rumah.

Di bawah kapitalisme, rumah beroperasi pada dua register yang berlawanan. Di satu sisi, rumah tampak sebagai tempat yang lebih aman bagi kebanyakan dari kita dibandingkan dengan kekerasan dan ketidakpastian dunia publik. 

Baca Juga:Queer Politics, Demokrasi dan Penerimaan Warga Negara Non-Heteroseksual

Hubungan cinta dan kerja sama manusia yang nyata dapat berkembang dalam empat dinding rumah yang ditangkap dengan cepat dalam tawa anak-anak atau ciuman yang dibagikan di antara pasangan. 

Tapi rumah, terlindung dari pengawasan publik, juga bisa menjadi teater kekerasan pribadi dan rahasia memalukan. Siapa pun yang telah menyaksikan seorang wanita mencoba menyembunyikan memar yang berubah warna dengan syal atau melihat seorang anak yang bungkam karena diskusi tentang paman yang “mesum” tahu sejauh mana kengerian semacam itu. 

Bagaimanapun dinamika psikis keluarga sebagai institusi dimainkan, rumah tetap berfungsi sebagai tempat berteduh dalam arti yang lebih kasar dan material. 

Dalam sebuah wawancara dengan Bank Dunia, seorang pria Mesir dari Borg Meghezel, sebuah desa nelayan kecil di lembah Nil, memiliki penjelasan materialis tentang kekerasan terhadap perempuan berbasis dari rumah:

“Ketidakcukupan pendapatanlah yang mempengaruhi hubungan pria-wanita. Kadang-kadang dia membangunkan saya di pagi hari untuk meminta lima pound, dan jika saya tidak memilikinya, saya menjadi depresi dan saya meninggalkan rumah. Dan ketika saya kembali, kami mulai bertengkar.” 

Tak perlu dikatakan, bagian tertentu dari Lembah Nil ini telah berjuang melawan krisis air yang akut sejak keterlibatan Bank Dunia (Kapitalis) di wilayah ini. Seorang pria Ghana memiliki penilaian yang lebih tajam tentang masalah ini:

“Karena pengangguran dan kemiskinan, kebanyakan pria di komunitas ini memukuli istri mereka. Kami tidak punya uang untuk merawat mereka.”

Dalam kisah yang gamblang dan langsung ini, kita menghadapi momen kekerasan yang tepat dan menemukan bahwa kita masih memiliki berbagai pertanyaan. 

Sejauh ini kita telah berbicara tentang konteks kekerasan seperti itu, bagaimana rumah tangga dan komunitas berbasis subsisten secara sistematis dibuat tanpa sumber daya hidup oleh tekanan kapitalisme. 

Penutup

Dominasi maskulin sudah sangat tua dan dalam evolusi konstan, direproduksi melalui mekanisme budaya dan ekonomi. Dominasi ini mengartikulasikan dalam hubungan erat dengan hubungan kekuasaan lainnya, seperti antara utara dan selatan, kelas atau ras. 

Patriarki adalah cara berpikir yang tertanam kuat dalam perilaku dan cara kita melihat dunia. Ia mengambil pembenarannya dalam mitos dan stereotip, dan memperluas jangkauannya dengan kekerasan struktural dan simbolis, yang membuat ketidaksetaraan tampak sebagai hal yang wajar dan bahkan tidak dapat dihindari.

Kita melihat bahwa kapitalisme dan patriarki sebagai pencetus kekerasan pada perempuan, tidak mungkin dianggap independen satu sama lain.

Kapitalisme menembus dan mengubah masyarakat, dengan demikian memperkuat norma-norma patriarki dengan keuntungannya sendiri. Sejak industrialisasi, perempuan telah menjadi alat untuk diinvestasikan atau diberhentikan tergantung pada konjungtur ekonomi.

Wanita terus bekerja lebih dari pria. Meski begitu, mereka berpenghasilan lebih kecil dan masih dianggap inferior: ini adalah hasil dari alat ekonomi seperti PDB atau tren seperti tenaga tambahan atau paruh waktu/kerja. 

Di era globalisasi, kecenderungan-kecenderungan ini berubah secara kontradiktif, di satu sisi meningkatkan partisipasi perempuan, namun dalam kondisi yang semakin keras. Mereka menghadapi kekerasan, migrasi paksa, hingga upah lebih rendah yang tidak memungkinkan keseimbangan pekerjaan-keluarga yang wajar. 

Banyak perempuan menjadi bagian dari proletariat global dalam hubungan dominasi utara-selatan. Karena masih berlandaskan nilai-nilai patriarki, pembangunan apapun akan selalu merugikan perempuan. Mari kita berupaya mengakhirinya.

Kita tidak boleh lupa bahwa laki-laki adalah aktor utama dalam melestarikan hak-hak istimewa mereka sendiri, meskipun secara tidak sadar. Jangan lupa juga bahwa para bos, ekonom, dan politisi terbesar kebanyakan adalah laki-laki, yang tentunya tertarik untuk menjaga inferioritas perempuan demi keuntungan mereka sendiri. 

Oleh karena itu, perjuangan anti-kapitalis harus menjadi perjuangan dan menolak segala bentuk dominasi dan penindasan.

Mari selamatkan perempuan kita. Menyelamatkan perempuan, menyelamatkan peradaban.

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian dari tanggungjawab redaksi

Oleh: Petrus Kanisius Siga Tage

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari  Petrus Kanisius Siga Tage


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai