Kartini, Pram, dan Mimpi Indonesia yang Bebas dari Kapitalisme dan Feodalisme

Spread the love

Entah mengapa, tokoh-tokoh nasional di Indonesia mati muda. Komponis Wage Rudolf Supratman (1903-1938), Penyair Chairil Anwar (1922-1949), Sang Demonstran Soe Hok Gie (1942-1969), Sastrawan Widji Thukul  (1963-1998), dan Aktivis HAM Munir (1965-2004) mati  muda.

Mereka secara berturut-turut meninggal dalam usia 35, 27, 35, dan 39 tahun. Para tokoh itu seakan sepakat dengan kata-kata Soe Hok Gie, “nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang paling sial adalah umur tua… berbahagialah mereka yang mati muda.”

Raden Ajeng (R.A.) Kartini, yang lahir pada 21 April 1879 di Distrik Mayong, Kabupaten Jepara dan mangkat 25 tahun kemudian pada 17 September 1904 di Jembeng, adalah salah seorang tokoh nasional paling awal yang menggenapi sabda Gie di atas. Apakah Kartini bahagia mati muda? Kita tidak tahu pasti. 

Baca Juga: Perampasan Tanah dan Signifikansi Reforma Agraria di Flores

Demikian pun tak bisa dipastikan, Novelis dan Cerpenis Besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer yang lahir di Blora, Jawa Tengah pada 6 Februari 1925, 46 tahun kemudian setelah Kartini lahir, dan mangkat pada 30 April 2006 di Jakarta pada usia 81 tahun sungguh “paling sial” karena “umur tua.” Walau ziarah hidupnya penuh dengan penindasan dan ketidakadilan, ia menghasilkan karya sastra kelas dunia yang memberinya alasan untuk bahagia.

Akan tetapi, satu hal yang bisa kita pastikan adalah dua tokoh itu marah dengan kapitalisme, kolonialisme, dan feodalisme. Mimpi mereka yaitu Indonesia tanpa kapitalisme dan feodalisme: sebuah utopia yang akan segera ditertawakan oleh kaum Fukuyamaian yang menganggap demokrasi-kapitalistik sebagai pemenang sejarah, tetapi tetap dianggap penting oleh kaum Zizekian yang menganggap perlu ada ideologi tandingan melawan hegemoni kelas berkuasa semacam itu.

Di dalam nuansa utopis itu, artikel ini mau refleksikan secuil makna yang bisa kita petik dari perbandingan dua tokoh Kartini dan Pram di dalam upaya mengisi hari-hari kemerdekaan kita dewasa ini.

Kartini, Pram, dan Beberapa Pelajaran Menjadi Indonesia

Setiap usaha membandingkan dua tokoh yang berbeda akan selalu berhadapan dengan tugas mendefinisikan persamaan dan perbedaan kedua tokoh tersebut. Kartini dan Pram adalah dua sosok yang sangat berbeda, sebagaimana halnya masing-masing kita adalah pribadi yang unik dan berbeda.

Akan tetapi, Kartini dan Pram menjadi demikian menarik karena beberapa kesamaan yang hanya bisa dimungkinkan setelah sejarah berlalu. Sejarah Kartini dan Pram adalah sejarah penindasan dan ketidakadilan. 

Akan tetapi, benar pula jika disebut, sejarah keduanya adalah sejarah kebebasan, persamaan dan persaudaraan; sejarah reinkarnasi revolusi Prancis di bumi manusia Indonesia.

Berbicara tentang Kartini dan Pram adalah berbicara tentang perjuangan meniti panggung kebebasan dan keadilan di atas puing-puing keterpasungan akibat kolonialisme dan feodalisme. 

Pertama, kesamaan pengalaman dipasung. 

Kartini memang mati muda dan Pram hidup lumayan lama, tetapi usia kebebasan mereka sama kerdilnya. Pada usia 12,5 tahun, setelah menamatkan pendidikan Sekolah Rendah Belanda, Kartini dipingit sampai ia berusia 16 tahun.

Dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, menulislah ia, “si gadis cilik berumur 12,5 tahun sekarang, dan tibalah masa baginya untuk mengucapkan selamat jalan bagi kehidupan bocah yang ceria… dan harus kembali takluk pada adat kebiasaan negerinya, yang memerintahkan gadis-gadis muda tinggal di rumah, hidup dalam pengucilan yang keras dari dunia luar sedemikian lama.” Kartini hanya punya waktu 20 tahun menghirup udara bebas.

Sementara itu, Pram menghabiskan hamper sebagian besar masa hidupnya di penjara, tentu saja ia terpenjara tanpa proses pengadilan: 3 tahun pada masa kolonial, 1 tahun pada masa Orde Lama, dan 17 tahun pada masa Orde Baru. Total 18 tahun Pram memunggungi dan dipunggungi tembokpenjara yang bisu.

Sekalipun sudah menerima surat pembebasan pada tanggal 21 Desember 1979, ia masih dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, dan tahanan Negara sampai tahun 1999 dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama kurang lebih dua tahun. Jika dikalkulasi secara matematis, Pram hanya punya waktu 40 tahun hidup bebas.

Tak heran, menjawab “Surat Terbuka” Goenawan Mohamad, Pram dalam “Aku Bukan Nelson Mandela” menulis begini, “hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, dan penganiayaan.” 

Kedua, akan tetapi, pengalaman dipasung tidak mengamputasi kemampuan mereka mengartikulasikan realitas penderitaan dan ketidakadilan ke dalam aksara dan pola laku. 

Dari Pulau Buru, Pram mempersembahkan Kwaternarius “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah”, dan “Rumah Kaca.” Dari rumah pingitan, Kartini menulis “Door Duisternis tot Licht” yang diterbitkan Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon pada 1911 dan diterjemahkan Armijn Pane ke dalam bahasa Melayu menjadi “Habis Gelap, Terbitlah Terang”. 

Baca Juga: Kusut Nalar BIP dan Alsan Pembubarannya

Kebesaran tulisan Kartini dan Pram terletak pada keuletan mengangkat derajat pribumi di mata publik internasional: pribumi sama kedudukannya dengan Eropa totok. Tokoh Nyai Ontosoroh dalam tetralogi Pulau Buru, misalnya, hemat saya, merupakan cerminan dari tokoh Kartini yang tidak kalah cemerlangnya dari gadis-gadis Eropa.

Ketiga, kritis terhadap kekuasaan kapitalistik dan pemerintahan feodal yang koruptif. 

Persentuhan dengan bacaan-bacaan asing semisal “Max Havelaar” Multatuli atau Eduard D. Dekker memantik sikap kritis Kartini terhadap kejahatan kapitalisme-imperialisme dan kolonialisme Belanda di satu pihak dan kedunguan sistem feodalisme para raja pribumi di pihak lain. 

Sementara itu, membaca Pram adalah membaca Indonesia, bagaimana menjadi Indonesia, dan mengapa “terlampau pahit menjadi orang Indonesia” yang dengan sangat gamblang tergambar dalam tokoh fiktif seperti Minke dan Nyai Ontosoroh. 

Keempat, keberanian menanggalkan status bangsawan dan mau menjadi sama saudara bagi saudara sebangsa. 

Kartini lahir dari pasangan beda kasta Bapak Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, putra Pangeran Ario Tjondronegoro yang merupakan keturunan ke-24 dari salah seorang raja Jawa dan Ibu Ngasirah, putrid lugu dari mandor pabrik gula Mayong bernama Modirono.

Ayah Kartini adalah Asisten Wedana Onderdistrik Mayong yang kemudian menjadi Bupati Kabupaten Jepara, sedangkan ibu Kartini seorang gadis kampung dari kalangan rakyat jelata yang hanya berkat kemolekan tubuhnya bisa memperoleh gelar sebagai istri kesekian (selir) dari ayah Kartini.

Sebagai golongan ningrat, wajar jika Kartini mengambil jarak dari rakyat jelata. Akan tetapi, dalam pemandangan Kartini, “aku lihat begitu banyak keindahan pada Rakyat kami sendiri; ini adalah nikmat percobaan dari pada apa yang sesungguhnya bakal kunikmati kalau aku hidup di tengah-tengahnya.” Demikian pun Pram merasa perlu mengganti nama asli “Pramoedya Ananta Mastoer” menjadi “Pramoedya Ananta Toer” karena nama “Mastoer” mengandung title aristocrat dari garis keturunan ayah.

Kelima, mimpi yang besar membangun nasion Indonesia, menjadi Indonesia.  

Kartini memang menulis banyak untuk dan tentang Jawa. Akan tetapi, dalam“Panggil Aku Kartini Saja”, Pram menulis, “Kartini adalah pemula dari sejarah modern Indonesia. Dialah yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan yang di Indonesia untuk pertama kali timbul di Demak-Kudus-Jepara sejak pertengahan kedua abad lalu.

Baca Juga: Dekolonisasi Pikiran

Di tangannya kemajuan itu dirumuskan, diperincinya, diperjuangkannya, untuk kemudian menjadi milik seluruh nasion Indonesia. Dikatakan Indonesia, karena, sekalipun ia lebih sering bicara tentang Jawa, ia pun tak jarang mengemukakan keinginannya buat seluruh Hindia – Indonesia dewasa ini.”

Sepakat dengan Pram, “tanpa Kartini, penyusunan sejarah Indonesia modern tidak mungkin.” Tanpa Kartini, Indonesia akan sangat tertatih sebelum Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta. Jadi, mempelajari Kartini dan Pram adalah sebagian dari tuntutan menjadi Indonesia yang bebas dari cengkeraman kapitalisme dan pelukan feodalisme.

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

Oleh: Silvano Keo Bhaghi

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari Silvano Keo Bhaghi


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai