Media Sosial dan Krisis Eksistensi

Spread the love

Pada awal Tahun lalu, Netflix menyalurkan film dokumenter The Social Dilemma, sebuah film yang merekam pandangan dari sejumlah mantan karyawan raksasa teknologi media sosial dan pakar yang meneliti bidang media sosial.

Film ini berupaya menggambarkan tentang bagaimana platform perusahan media sosial berfungsi dan mengumpulkan modal ekonomi yang sangat besar bagi pemiliknya dari satu sumber yang oleh aktivis teknologi dan ahli etika Tristan Harris, disebut sebagai “ekonomi perhatian”.

Bagaimana platform media sosial dapat menghasilkan uang?

Pada dasarnya, uang itu datang dari perhatian yang kita berikan kepada media sosial kita masing-masing. Dalam bisnis media sosial, kita adalah bagian dari rantai ekonomi yang utuh baik sebagai produsen, produk, konsumen, dan distributor.

Akun yang kita bikin serta memuat status konspirasi, kegaduhan, gelembung ideologis, bencana, masalah emosional, hoax, jatuh cinta, galau, tekanan batin, tensi, promosi bisnis ponzi, dan apapun itu yang terus-menerus kita bagikan di profil media sosial kita adalah tambang uang yang sangat menguntungkan.

Perusahaan media sosial menganalisis setiap data yang ada di profil akun kita kemudian mempersonalisasikannya. Selanjutnya melalui perangkat lunak, pelacakan data dan kecerdasan buatan mereka akhirnya mampu memahami perilaku kita.

Baca Juga: Akun Palsu

Ketika media sosial mampu memahami prilaku kita, ia akan menampilkan iklan yang sesuai dengan karakteristik pribadi kita.

Misalnya, ada Rakat yang terobsesi dengan rambut lurus, ia akan mengiklankan alat catok yang hemat listrik, atau ada rakat yang ingin glowing in the dark ia akan menampilkan lulur yang sesuai dengan kondisi kulit.

Dengan model iklan yang spesifik semacam itu, kemasannya lebih masuk akal dari segi target pasar, sehingga, mereka bisa menarik banyak sumber pengiklan dan dengan cepat dapat mengumpulkan begitu banyak keuntungan, padahal modalnya hanya bersumber dari perhatian yang kita curahkan pada layar telpon genggam.

Dalam proses itu, platform media sosial menghasilkan uang dari kuantitas perhatian kita, bukan kualitasnya. Berapa view adalah modal yang dibutuhkan medis sosial. Ketika masuk ke dalam kondisi ini, masalah baru terjadi.

Dalam sebuah wawancara dengan David Fuller, Harris mengutip ekonom Herbert Simon, mengatakan “ketika informasi menjadi berlimpah, perhatian menjadi terbatas.”

Keterbatasan perhatian inilah yang dimanfaatkan oleh media sosial untuk menjadikan kita sebagai pasar potensial, sebab, ketika perhatian terbatas, kita akan mudah fokus pada satu spektrum pandang. Dan jelas di titik ini media sosial akan menjadi pusat perhatian.

Semakin sering kita menggunakan medsos, maka akan semakin banyak volume data yang dikumpulkan.

Dalam posisi ini ketegangan terjadi. Masalah privasi, persoalan budaya dan psikologis, serta ketidaksetaraan pengaruh yang sangat besar tumbuh di antara antara mereka yang mengembangkan platform ini dan mereka yang menggunakannya, semuanya membentuk situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Penggunaan media sosial yang berlebihan bukanlah trade off yang diperlukan untuk menegakkan standar kehidupan modern, sebab, hal ini justru dapat menghancurkan standar tersebut.

Apakah kemajuan teknologi membuat dunia menjadi lebih baik dan kita gagal menyadarinya karena dunia daring begitu mengancam?

Ataukah dunia sebenarnya semakin buruk dan kita semakin sadar akan hal ini?

Atau sebenarnya kehidupan daring itu sendiri membuat dunia lebih buruk?

Film ini agaknya bertumpu pada kemungkinan ketiga.

Ketika Tristan Harris berbicara tentang penyempitan pengalaman manusia dan hilangnya realitas bersama sebagai akibat tarikan media sosial, sulit bagi kita untuk tidak sepakat dengan argumen ini.

Dalam film tersebut, Harris berbicara tentang minat masa kecilnya untuk menjadi seorang pesulap, dan bagaimana hal ini akhirnya membawanya ke dunia teknologi, sebuah industri yang—seperti sulap— dibangun di atas seni persuasi.

Harris tentu saja sedang prihatin tentang ancaman eksistensial yang menipiskan kesadaran manusia. Dia menggambarkan media sosial sebagai monster yang diciptakan oleh Frankenstein dari dapur raksasa teknologi.

Tapi keprihatinan Harris yang bertumpu pada realitas kehidupan bersama dan tujuan bersama sebetulnya agak melenceng.

Masalahnya bukan karena kita kekurangan realitas bersama, tetapi kita memilikinya dan itu semakin tak masuk akal. Realitas kehidupan kita pada akhirnya bertumpu pada media sosial dengan scroll tanpa akhir, tombol like, kolom komentar, dan histrionik digital. Kita adalah monsternya.

Di media sosial, kita semua memang menjadi “agak” terkenal—munculnya istilah selebtweet—namun, justru tepat di situ kita juga semakin tidak mengenal satu sama lain daripada sebelumnya.

Ini adalah salah satu dari banyak paradoks dari apa yang dulu disebut Marshall McLuhan sebagai “desa global” yang ditimbulkan oleh internet.

Kita lebih terhubung, tetapi dengan cara yang benar-benar dangkal. Kita juga memiliki lebih banyak akses ke informasi, tetapi sebagian besar sama sekali tidak berguna atau hanya omong kosong belaka.

Kita lebih sering melihat satu sama lain, tetapi yang kita lihat adalah fatamorgana. Seperti yang dikatakan Neil Postman: kita secara efektif menghibur diri sendiri sampai mati di dalam dunia media sosial.

Dalam buku profetiknya tahun 1985, Postman memetakan perkembangan berbagai media komunikasi—dari tipografi hingga televisi—dan menguraikan bagaimana masing-masing media telah membentuk pengertian yang menyeluruh tentang realitas pada zaman tertentu.

Postaman berpendapat bahwa ada dua kemungkinan distopia besar bagi masyarakat ketika berhadapan dengan pertumbuhan media komunikasi—satu Orwellian dan yang lainnya Huxleyan:

Yang ditakuti Orwell adalah mereka yang melarang buku. Yang ditakuti Huxley adalah tidak ada alasan untuk melarang sebuah buku, karena tidak akan ada orang yang ingin membacanya. Orwell takut pada mereka yang akan merampas informasi dari kita.

Huxley takut pada mereka yang akan memberi kita begitu banyak sehingga kita akan direduksi menjadi manusia pasif dan egoisme.

Orwell takut kebenaran akan disembunyikan dari kita. Huxley khawatir kebenaran akan tenggelam di lautan informasi yang tidak relevan.

Orwell takut kita akan menjadi tawanan budaya. Huxley takut kita akan menciptakan hal yang sepele, yang disibukkan dengan beberapa perasaan yang dangkal, pesta-pesta dan bumblepuppy sentrifugal.

Meskipun buku ini berfokus pada bisnis pertunjukan dan televisi, itu sama relevannya dengan media sosial. Postman salah mengutip ucapan terkenal McLuhan bahwa “media adalah pesan sekaligus metafora”

Mode komunikasi kita perlahan mengatur ulang persepsi kita tentang hidup dalam istilah simbolis, mengubah metafora yang kita gunakan untuk memahami dunia

Misalnya, dunia maya bukanlah tempat yang nyata. Itu hanya metafora untuk ruang di mana kita berkomunikasi, sama seperti timeline media sosial adalah metafora.

Setiap media komunikasi memiliki metaforanya sendiri dan mempromosikan gaya berpikir tertentu.

Baca Juga: Siapa yang Mesti Bertanggung Jawab dengan Berita Palsu?

Presentasi lisan pernah menjadi sarana utama wacana publik, yang mendorong suatu bentuk pemikiran yang menghargai intonasi, ingatan, dan kemampuan mendongeng.

Koloni Amerika awal, atau pendiri bangsa kita semacam Soekarno dan kawan-kawan bergantung pada budaya tipografi.

Budaya membaca membutuhkan pemikiran metodis, linier, dan rentang perhatian yang panjang. Banyaknya pembaca mungkin menjelaskan keberhasilan terbentuknya Amerika awal, atau berdirinya Republik Indonesia yang berdaulat.

Postman berpendapat: pada abad ke-18 dan 19, media cetak mengedepankan definisi kecerdasan yang mengutamakan penggunaan pikiran yang objektif dan rasional dan pada saat yang sama mendorong bentuk wacana publik dengan konten yang serius dan berorientasi logis.

Bukan kebetulan bahwa Age Of Reason hidup berdampingan dengan pertumbuhan budaya cetak, pertama di Eropa kemudian di Amerika.

Penyebaran tipografi mengobarkan harapan bahwa dunia dan berbagai misterinya setidaknya dapat dipahami, diramalkan, dan dikendalikan.

Munculnya telegrafi dan fotografi memisahkan ruang dari waktu sehingga sesuatu dapat dilihat atau dibaca dengan cara yang benar-benar baru, meletakkan dasar bagi ruang media di mana informasi yang diterima ada untuk kepentingannya sendiri, benar-benar terlepas dari kebutuhan pengalaman sehari-hari atau utilitas eksistensial. Penemuan televisi menciptakan dunia yang tidak relevan, tidak koheren, dan impotensi.

Telegrafi dan fotografi menciptakan sesuatu hal yang baru, setiap peristiwa dapat dilaporkan dan muncul sejenak, lalu menghilang lagi.

Segala sesuatu yang ada di media berjalan sangat cepat, seolah-olah tidak mengizinkan kita melakukan apa pun berhadapan dengan kecepatan itu, selain berdiam diri. Dunia yang seperti permainan ciluk baa anak-anak.

Gagasan Postman mendefenisikan ulang hubungan kita dengan perangkat media sosial dan menanamkan sikap yang lebih sehat terhadapnya.

Asumsi ini mirip dengan solusi yang ada dalam pikiran Tristan Harris. Tetapi satu perbedaan utama adalah Postman melihat ironi tragis saat mencoba mengatasi masalah melalui caranya sendiri, atau dengan kata lain, dia melihat kontradiksi dalam menggunakan teknologi ini untuk membebaskan diri dari mereka.

Tetapi jika masalahnya sama seriusnya dengan yang dikemukakan Harris dan Postman, maka kita tidak dapat mengatasi masalah ini melalui prisma metaforanya sendiri.

Baca Juga: Saya, Facebook dan Saya

Saat kita membahas masalah media sosial, serentak kondisi ini menjadi kaleidoskopik, aula cermin, dan langkah ke segala arah dapat memicu jebakan. Jika persepsi kita sendiri dibentuk oleh media, dibutuhkan sesuatu gagasan yang lebih baik dan lebih dalam untuk mengendurkan cengkeramannya pada jiwa kita.

Tidak mengherankan, lebih sedikit waktu pada platform ini berkorelasi dengan hasil hidup yang lebih sehat. Seperti yang ditulis oleh Jean M. Twenge:

Survei Monitoring the Future, yang didanai oleh National Institute on Drug Abuse dan dirancang untuk menjadi perwakilan nasional Amerika, telah mengajukan lebih dari 1.000 pertanyaan kepada siswa  SMA setiap tahun sejak tahun 1975 dan menanyakan siswa SMP sejak tahun 1991.

Hasilnya menunjukkan: Remaja yang menghabiskan lebih banyak waktu daripada rata-rata pada aktivitas layar lebih cenderung menjadi tidak bahagia, dan mereka yang menghabiskan lebih banyak waktu daripada rata-rata pada aktivitas non-layar lebih cenderung bahagia.

Gaya berpikir yang dipromosikan media sosial adalah skizoid. Kisah-kisah berita yang tampaknya penting untuk hidup atau mati dalam satu minggu akan dilupakan pada minggu berikutnya.

Setiap peristiwa, pengalaman, atau pemikiran secara kompulsif diubah menjadi Instagram story, utas tweet atau status Facebook, seolah-olah kita perlu memposting setiap gerak pengalaman hidup kita.

Perhatian kita dipadatkan dalam kegembiraan singkat yang dengan cepat diikuti oleh kelesuan, seolah-olah kita sedang menikmati ekstasi.

Video viral berubah menjadi gerakan sosial tanpa konteks atau latar belakang apa pun.

Menstigmatisasi orang secara daring dan menghapus kemanusiaan orang asing adalah hal yang normal.

Kita semua adalah raja dan ratu yang haus sekarang, sangat menginginkan perhatian. Kesadaran kita terpecah di antara pengalaman kita sehari-hari dan teater media daring ini,—yang  mendorong solipsisme dan membuat eksistensi orang lain menjadi nyata.

Lalu ada faktor buruk lain terjadi, lapisan tambahan kesadaran diri yang datang terus-menerus mengkurasi hidup kita menjadi bahan konsumsi publik dan menimbulkan perasaan cemas 

Berhadapan dengan media sosial, sulit bagi kita untuk bersaing dengan sistem kecerdasan buatan yang tahu lebih banyak tentang psikologi kita sendiri daripada yang pikirkan,— suatu hal yang dikemukakan Harris berulang kali.

Ada kondisi asimetri antara kemampuan kita untuk menavigasi media sosial dan kemampuannya untuk menavigasi diri kita sendiri.

Pola pikir patologis yang mendasari penggunaan media sosial telah digambarkan sebagai FOMO (takut ketinggalan). Tapi lebih dari itu, yang jauh lebih buruk, sebagian besar dari kita pernah mengalami momen ini dikejutkan oleh perasaan takut yang luar biasa pada kehampaan spiritual dan eksistensial saat berinterkasi dengan profil akun media sosial kita.

Selain menghadirkan gangguan psikologis, media sosial memengaruhi hubungan kita dengan waktu dengan mendorong kita  salalu mengisi setiap momen dengan konten atau substansi yang seolah-olah dengan itu semua, kita sedang memvalidasi keberadaan kita sendiri.

Mania yang dihasilkan ditandai dengan perasaan berkewajiban: untuk terus memposting agar tetap relevan dan “tubuh digital” dalam bentuk akun  kita tidak menghilang.

Film The Social Dilemma menampilkan baik masalah maupun solusi untuk ini sebagai masalah yang sepenuhnya top-down— masalah struktural.

Jenis analisis ini sangat populer akhir-akhir ini— idenya adalah bahwa, karena tidak ada satu orang pun yang dapat mengubah sistem, tanggung jawab pribadi adalah mitos yang diuraikan oleh pihak yang berkuasa untuk membela diri.

Meskipun Tristan Harris menekankan peran individu di situs webnya Humanetech.com, yang menganjurkan “mengambil kendali” dengan mematikan pemberitahuan tertentu dan mengikuti aturan keterlibatan lainnya, penekanan yang lebih besar adalah pada tanggung jawab perusahaan teknologi dan pemerintah untuk mengatur platform ini.

Tetapi apakah membatasi penggunaan Instagram atau mematikan email kita sesekali terlalu berlebihan?

Apakah benar-benar sulit untuk mematikan ponsel Anda saat Anda berinteraksi dengan orang lain?

Dunia digital akan tetap ada, dan terserah kita untuk mengembangkan hubungan yang lebih sehat dengannya. Tidak ada gunanya menunggu hati nurani siapapun untuk menyelamatkan kita. 

Harris berbicara tentang bagaimana kita kehilangan begitu banyak hal dengan mengalah pada tekanan adiktif dari platform media sosial, tetapi ini adalah kasus kecanduan dan tidak selalu mudah membuat pemulihan.

Pandemi telah menjadi studi kasus utama tentang ekses konsumsi media sosial. Dengan begitu banyak dari kita di rumah dan bosan, waktu berinteraksi dengan media sosial semakin tinggi begitu juga semua efek buruknya.

Sulit untuk tidak membayangkan bahwa periode dalam sejarah manusia ini akan berubah suatu saat, di mana orang-orang tindak mampu membedakan antaran sesuatu yang ada di media sosial dan dunia nyata. Kita semakin jauh mengalami krisis eksistensi.

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian dari tanggungjawab redaksi

Oleh: Petrus Kanisius Siga Tage

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari  Petrus Kanisius Siga Tage


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai