Menerjemahkan Pancasila Sebagai Konsensus Lintas Batas di Hadapan Tantangan Bangsa

Spread the love

Tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Latar belakang historis dari momentum annual ini adalah pidato Soekarno dalam sidang pertama BPUPKI hari yang keempat, pada tanggal 1 Juni 1945.

Pada saat itu, Soekarno membawakan pidato tentang dasar Negara Indonesia yang dikenal dengan pidato “Lahirnya Pancasila.” Ia memperkenalkan Pancasila sebagai dasar Negara (Philosophische Grondslag atau Weltanshauung) Indonesia.

Ada lima sila yang diusulkan oleh Soekarno, yakni: Nasionalisme (kebangsaan Indonesia), internasionalisme (peri kemanusiaan), mufakat (demokrasi), kesejahteraan sosial dan Ketuhanan yang berkebudayaan.

Lima prinsip sebagai dasar Negara tersebut kemudian oleh Soekarano diusulkan agar diberi nama “Pancasila” atas saran salah seorang temannya yang adalah seorang ahli bahasa.

Selanjutnya, menurut Soekarno, kelima sila tersebut dapat diperas menjadi “Tri Sila” yang meliputi: (1) Sosio-nasionalisme yang merupakan sintesis dari Kebangsaan (nasionalisme) dan Peri kemanusiaan (internasionalisme), (2) Sosio-demokrasi yang merupakan sintesis dari Mufakat (demokrasi), dengan Kesejahteraan sosial, serta (3) Ketuhanan.

Berikutnya, ia juga mengusulkan bahwa “Tri Sila” tersebut juga dapat diperas menjadi “Eka Sila” yang intinya adalah gotong-royong (Kaelan, 2013)

Pancasila Sebagai Konsensus Filosofis dan Politik Indonesia

Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia bagi Soekarno sendiri sebenarnya lahir dari penggalian nilai-nilai luhur yang telah hidup dalam diri bangsa Indonesia sebagai Weltenshauung (pandangan hidup).

Dengan demikian, dalam pengertian Notonagoro, nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan causa materialis dari Pancasila. Soekarno menempatkan Pancasila sebagai fondasi NKRI.

Ia berujar: “Philosophische Grondslag itulah fundamen (fondasi), filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal abadi.” Frasa “sedalam-dalamnya menunjukkan bahwa Pancasila memiliki kekayaan makna dan nilai yang perlu digali secara terus-menerus.” (Kono, 2019)

Dalam perjalanan perumusan Pancasila sebagai dasar Negara, terjadi perdebatan dan adu argumen dari beberapa kelompok yang mewakili kaum nasionalis dan kaum agamis.

Mulai dari Sidang BPUPK I di mana Soekarno menyampaikan perihal Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia, penetapan rumusan pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 hingga akhirnya pada sidang PPKI 18 Agustus dilakukan kembali suatu kesepakatan baru, sehingga menjadi rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam peristiwa penggantian rumusan Sila I dalam Piagam Jakarta dari rumusan “Ketuhanan dengan menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya” menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”, terjadi apa yang dinamakan filosof John Rawls dengan overlapping consensus (konsensus lintas batas).

Penggantian itu mencerminkan bahwa baik golongan Islam (agamis) maupun golongan nasionalis memilih untuk melepaskan diri dari doktrin komprehensifnya demi menjaga kesatuan bangsa.

Berdasarkan dinamika sejarah perumusan ini, maka Pancasila ditetapkan sebagai dasar Negara merupakan suatu hasil philosophical consensus (konsensus filosofis) dan political consensus (konsensus politik).(Kaelan, 2013)

Redefinisi Pancasila sebagai “Ideologi Terbuka”

Ungkapan Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah ungkapan yang perlu dijelaskan dengan teliti dan hati-hati. Istilah “ideologi” itu sendiri dalam konteks filsafat politik merupakan term yang cukup bermasalah.

Dalam perjalanan sejarah, ideologi yang menyembunyikan klaim absolutisme kebenaran telah membawa jejak luka yang mencederai kemanusiaan, seperti Nazisme dan Komunisme.

Orang yang terjebak dalam ideologi akan jatuh dalam tafsir monologal terhadap kebenaran dan menolak adanya refleksi kritis. Oleh karena itu, ideologi sering menggunakan kendaraan berupa kekerasan.

Dalam sejarah kelam bangsa Indonesia sendiri, Pancasila pernah “ditunggangi” kepentingan politik totalitarian sehingga menjadikan Pancasila sebagai ideologi tertutup. Dalam kondisi ini, demokrasi diingkari dan kekerasan serta pelanggaran HAM meningkat.

Masyarakat dijebak atau bahkan dipaksa untuk masuk dalam “pseudo-kesadaran” (kesadaran palsu). Dengan demikian, ideologi yang tertutup membekukan klaim kebenaran sepihak yang lebih sering menjadi “kuda tunggangan” kepentingan egoistik penguasa.

Pancasila sebagai ideologi terbuka perlu didekonstruksi pemaknaanya. Penulis secara pribadi, kurang setuju dengan term yang rentan ini. Namun, term ini diangkat karena telah menjadi term konvensional dalam diskursus Pancasila. Ideologi sendiri cenderung bermakna tertutup.

Sehingga, term “ideologi terbuka” nampaknya mengandung contradictio in terminis (kontradiksi dalam term itu sendiri). Perlu ada upaya redefinisi terminologis yang telanjur populer ini dengan suatu pendekatan dekonstruktif yang mampu memberikan pecerahan makna yang adekuat terhadap Pancasila, sehingga mampu diterjemahkan secara aktual dan relevan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Pancasila sebagai ideologi terbuka mungkin dapat dimaknai sebagai overlapping consensus dalam peta pemikiran filsafat politik John Rawls. Pentingnya konsensus lintas batas ini diakui sendiri oleh Soekarno dalam pidatonya pada hari lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945 dengan menekankan apa yang disebutnya sebagai upaya mencari “persetujuan paham”.

Dalam konteks filsafat politik Rawls, pasca konsensus lintas batas ini lahirlah ideologi rasional. Pancasila dapat dimaknai sebagai ideologi rasional yang dilahirkan dari diskursus komunikatif bangsa Indonesia (Kono, 2019)

Jika Pancasila dimaknai sebagai ideologi rasional, maka diskursus rasional yang terbuka dalam ruang publik harus menjadi locus pemaknaan Pancasila.

Keterbukaan Pancasila sebagai ideologi rasional justru diuji dan dimurnikan dalam “tanur api” diskurus rasional publik.

Nilai-nilai Pancasila, seperti: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan adalah nilai-nilai umum yang perlu diterjemahkan dalam dinamika kehidupan aktual masyarakat Indonesia.

Penerjemahan atau aktualisasi nilai-nilai ini, perlu didukung dalam suasana demokrasi yang rasional atau demokrasi deliberatif dalam pandangan Jürgen Habermas.

Dengan cara ini pula, Pancasila dapat benar-benar menjadi “milik bangsa Indonesia” dan dihindari dari upaya intervensi kepentingan.

Pancasila di Hadapan Tantangan

Beberapa bulan terakhir, timbul polemik tentang BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila). Mulai dari polemik tentang gaji anggota BPIP yang tertuang dalam Perpres No. 42 Tahun 2018 hingga penggalan pernyataan kontroversial Kepala BPIP Yudian Wahyudi pada bulan Februari lalu, yang menyatakan bahwa agama adalah musuh terbesar Pancasila yang kemudian menimbulkan reaksi dari pelbagai pihak.

Keberadaan BPIP itu sendiri masih dicurigai oleh beberapa pihak sebagai wajah baru dari Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) yang pernah didirikan pada era Orde Baru yang kerap dinilai sebagai alat represif untuk melawan gerakan kontra pemerintah.

Keberadaan lembaga pemerintah yang dibentuk untuk memperjuangkan nilai-nilai Pancasila ini de facto dapat menimbulkan polemik, jika ada pihak yang mencurigai intervensi pemerintah untuk melanggengkan kepentingan tertentu.

Namun, di pihak lain, kecurigaan ini sendiri dapat dimanfaatkan atau malah di-blow up oleh pihak-pihak yang memang kontra terhadap Pancasila.

Untuk menguji jebakan kepentingan ini, seluruh elemen masyarakat perlu membangun kesadaran kritis politik.

Diskursus Pancasila harus menjadi diskursus publik. Penguatan lembaga-lembaga Pemerintah dan kontrol publik melalui peran aktif civil society dapat menjadi jalan efektif untuk memperjuangkan nilai-nilai Pancasila.

Gejala elitisme ideologi Pancasila di satu sisi dan gerakan populisme anti Pancasila di sisi lain, perlu diwaspadai dalam diskrusus Pancasila di negara kita ini.

Pada titik ini, posisi akademisi memainkan peran yang sentral sebagai penjaga kesadaran sosial melalui kritik dan diskursus akademik.

Lembaga akademik perlu menjunjung asas netralitas (dalam pengertian politik praktis) agar benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, yang kerapkali menjadi korban pembekuan ideologi Pancasila maupun gerakan populisme anti Pancasila.

Preferential option for the people (pilihan preferensial untuk rakyat) harus menjadi kesadaran semua pihak, jika ingin memperjuangkan hakikat nilai-nilai Pancasila yang bertujuan demi kesejahteraan umum (bonum commune) sesuai dengan amanat Konstitusi Negara Indonesia.

Di tengah pandemi COVID-19 ini, perjuangan untuk menerjemahkan nilai-nilai Pancasila dalam hidup masyarakat Indonesia mungkin tidak berlangsung dalam tataran teoritis. Namun, kebijakan yang berpihak pada rakyat perlu menjadi locus penerjemahan nilai-nilai Pancasila.

Pada masa rentan ini, ada pihak yang “mengail di air keruh” untuk meloloskan kepentingan diri. Proyek kontroversial UU Minerba, gugatan ke Mahkamah Konstitusi oleh stasiun TV tertentu terhadap Youtube dan Netflix dengan mengangkat isu nilai Pancasila, kecurigaan korupsi dana bantuan untuk Pandemi Covid-19, hingga masalah dalam ranah lokal NTT seperti indikasi terpaparnya Kota Kupang dengan kehadiran HTI yang bertentangan dengan nilai Pancasila menjadi medan untuk memperjuangkan nilai-nilai Pancasila dalam konteks aktual.

Pancasila sebagai identitas bangsa selalu hidup dalam dinamika bangsa Indonesia. Ia menjadi hidup, karena bersentuhan dengan kehidupan aktual masyarakat Indonesia itu sendiri.

Awasan kritis Chantal Mouffe yang mengatakan “Niemals Identität, immer Identifizierungen; Tak pernah ada identitas, tapi proses identifikasi,” dapat membantu kita untuk memahami bahwa tak pernah ada identitas yang sudah selesai. Yang ada adalah proses konstruksi identitas yang tak pernah berakhir (Madung, 2014).

Untuk menghidupkan nilai-nilai Pancasila ini, semua pihak perlu berperan aktif. Mungkin, yang menjadi musuh Pancasila tidak datang dari luar negara kita, melainkan timbul dari unfinished problems (masalah-masalah yang belum terselesaikan) dalam diri masyarakat Indonesia itu sendiri.

Pada hari ini, kita memperingati hari lahirnya Pancasila. Namun, jika kita masih membekukan Pancasila dalam kesadaran palsu (pseudo-kesadaran), maka Pancasila belum benar-benar hidup dan menghidupkan kita, atau dalam rumusan yang lebih rasional, kita belum mampu menghidupkan nilai-nilai Pancasila sebagai konsensus bangsa Indonesia.

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

 

Oleh: Giovanni A. L Arum

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari Giovanni A. L Arum


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai