Menimbang Gerakan Pemuda di Flores (1)

Spread the love

Naiknya Angelo Wake Kako dan Ansy Lema, dua pemuda dari Flores, ke panggung politik nasional sebagai wakil rakyat di Senayan pada Pemilu 2019 acapkali diklaim sebagai indikator keberhasilan gerakan pemuda di Flores.

Saat menyambut hasil pleno rekapitulasi suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) NTT, Angelo mengungkapkan, keberhasilannya melenggang masuk ke Senayan merupakan “hasil yang luar biasa dari perjuangan orang muda” di Flores (EKORA NTT, 2018).

Sudah berhasilkah gerakan pemuda di Flores?

Penulis berpendapat, gerakan pemuda di Flores belum berhasil. Hal ini ditandai oleh masih tingginya angka kemiskinan dan ketimpangan di Flores. Pada 2018, jumlah penduduk miskin di Flores mencapai angka 407.180 jiwa (12,78%) dengan rincian Kabupaten Lembata 36.950 (26.45%), Flores Timur 27.990 (11.05%), Sikka 44.020 (13.82%), Ende 66.010 (24.20%), Ngada 20.790 (12.94%), Manggarai 69.320 (20.83%), Manggarai Barat 48.530 (18.14%), Nagekeo 18.690 (12.98%), dan Manggarai Timur 74.880 (26.50%).

Persentase kemiskinan semua kabupaten di Flores lebih tinggi dari persentase kemiskinan nasional sebesar 9,66% atau 25,67 juta jiwa dengan Gini Ratio 0,389. Sementara itu, persentase kemiskinan tiga kabupaten di Flores, yaitu Manggarai Timur, Lembata, dan Ende, lebih tinggi dari persentase kemiskinan Provinsi NTT sebesar 21,35% dengan Gini Ratio 0,351 (BPS, 2018).

Dalam artikel ini, Penulis berargumentasi, gerakan pemuda di Flores belum berhasil berkontribusi mengentas persoalan kemiskinan dan ketimpangan di Flores karena pertama belum merumuskan musuh bersama dan kedua belum menjadi gerakan ekonomi politik berbasis perjuangan kelas.

Sebelum masuk ke kedua hal itu, Penulis terlebih dahulu meninjau peran sentral pemuda dalam revolusi di Indonesia.

 Peran Sentral Pemuda dalam Revolusi di Indonesia

Peran pemuda dalam revolusi di Indonesia sudah dijelaskan dalam literatur para sarjana. Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Bumi Manusia mengisahkan perjuangan seorang pemuda bernama Minke melawan kolonialisme Belanda dan feodalisme para raja pribumi di Jawa dengan cara mendirikan organisasi pribumi Sjarikat Prijaji dan koran Medan prijaji (Toer, 2011).

Selain itu, persentuhan dengan bacaan-bacaan asing semisal “Max Havelaar” Multatuli atau Eduard D. Dekker memantik Raden Ajeng Kartini menulis surat-surat “Habis Gelap, Terbitlah Terang” untuk melawan imperialisme dan kolonialisme Belanda di satu pihak dan kebobrokan sistem feodalisme para raja pribumi di pihak lain (Soeroto, 1984).

Dalam buku “Panggil Aku Kartini Saja”, Pram menulis, “Kartini adalah pemula dari sejarah modern Indonesia. Dialah yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan yang di Indonesia untuk pertama kali timbul di Demak-Kudus-Jepara sejak pertengahan kedua abad lalu.

Di tangannya kemajuan itu dirumuskan, diperincinya, diperjuangkannya, untuk kemudian menjadi milik seluruh nasion Indonesia. Dikatakan Indonesia, karena, sekalipun ia lebih sering bicara tentang Jawa, ia pun tak jarang mengemukakan keinginannya buat seluruh Hindia – Indonesia dewasa ini” (Toer, 2012: 14).

Sementara itu, dalam usia 26 tahun, Sukarno dalam tulisan matangnya yang pertama di koran Soeloeh Indonesia Moeda berjudul “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme” memproposalkan aliansi atau sinkretisasi paham dan gerakan nasionalisme, agama, dan marxisme untuk melawan kapitalisme dan kolonialisme (Sukarno, 1964: 1-22).

Pergulatan intelektual dan gerakan pemuda pada masa pergerakan perjuangan kemerdekaan mencapai puncaknya dalam apa yang dikenal sebagai Soempah Pemoeda pada 28 Oktober 1928.

Di sana, para pemuda mengikrarkan, “satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa”, walau kita tahu bahwa seperti awasan Benedict Anderson dalam Imagined Communities, persatuan “nusa, bangsa, dan bahasa” Indonesia itu mesti dibayangkan terus menerus oleh setiap warga Negara (Anderson, 1983: 6).

Pasca kemerdekaan, gerakan pemuda tetap main peran penting. Soe Hok Gie, misalnya, merekam perlawanannya terhadap praktik otoritarianisme pemerintahan Sukarno, terutama selama masa demokrasi terpimpin, melalui massa aksi dan aksi massa di jalanan dalam buku catatan harian berjudul “Catatan Seorang Demonstran” (Soe Hok Gie, 1983).

Setelah “Generasi yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima”, yang diidentifikasi Soe Hok Gie sebagai “manusia baru”, gerakan pemuda setelah 1965 mati suri. Memang pernah ada gerakan mahasiswa 1974–bahkan disebut demonstrasi terbesar pertama setelah Orde Baru berkuasa–menuntut Tritura Baru “Bubarkan lembaga asisten pribadi presiden, turunkan harga, dan ganyang korupsi” yang dikenal peristiwa “Malapteka 15 Januari 1974 atau Malari 1974” (Tirto, 2018).

Namun, setelah Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Daoed Joesoef Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), yang diikuti dengan SK Nomor 0230/U/J/1980 tentang Pedoman Umum Organisasi dan Keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) terbit, para mahasiswa berhasil “dikandangkan” di dalam kampus. Mahasiswa dihegemonisasi dengan narasi Orde Baru bahwa teori di kelas lebih penting dari pada aksi di jalanan.

Tanpa gerakan pemuda, korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) dan praktik ekonomi neo-liberalisme Negara Orde Baru memamahbiak. Tak lama setelah menjabat, Suharto mengundangkan UU tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang antara lain memberi karpet merah bagi Perusahaan Freeport untuk mengeruk emas di bumi Papua. Suharto pun lalu menjadi kepala Negara terkorup di dunia (CNN, 2018). Sampai muncul-lah generasi mahasiswa 1998 melawan otoritarianisme dan diktatorisme Suharto (Dhakidae, 2004).

Di jalanan, para mahasiswa meneriakkan tuntutan “adili Soeharto dan kroni-kroninya, laksanakan amandemen UUD 1945, hapuskan Dwi Fungsi ABRI, laksanakan otonomi daerah yang seluas-luasnya, tegakkan supremasi hukum, dan ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN.” Gerakan mahasiswa 1998 memang berhasil bikin Suharto “lengser keprabon” dan menandai babak baru sejarah Indonesia modern, era Reformasi.

Benedict Anderson sendiri merumuskan peran sentral pemuda dalam revolusi Indonesia di atas dalam disertasi bertajuk “Revoloesi Pemoeda:  Pendoedoekan Djepang dan Perlawanan di Djawa: 1944-1946)” (Anderson, 1972).

Dalam disertasi itu, berbeda dari pandangan gurunya George Kahin yang berpandangan bahwa revolusi Indonesia digerakkan oleh para elite seperti Sukarno, Hatta, dan Shjarir, dia berpendapat bahwa revolusi Indonesia terutama digerakkan oleh pemuda, tentu saja dengan bantuan golongan tua.

Akan tetapi, kita tahu, sesudah 21 tahun Reformasi, “Suharto dan para kroninya tak pernah benar-benar diadili, supremasi hukum tidak ditegakkan secara adil, dan pemerintahan yang bersih dari KKN tak pernah berhasil diwujudkan.”

Selain itu, praktik otonomi daerah turut meng-otonomi-daerah-kan korupsi ke daerah-daerah. Sebabnya adalah oligarki, yaitu orang-orang kaya yang mempertahankan kekayaannya dengan kuasa uang, telah mereproduksi ulang kekuasaannya dalam sistem ekonomi politik di Indonesia paska Reformasi.

Lalu, bagaimana nasib gerakan pemuda di Flores hari ini? Apakah–seperti pendapat Anderson– gerakan pemuda di Flores sanggup melakukan revolusi melawan kapitalisme di Flores hari-hari ini?

Gerakan Pemuda di Flores Belum Berhasil

Pada masa sebelum kolonialisme, masyarakat Flores hidup secara independen di kampung-kampung yang merupakan kelompok kekerabatan dan pusat dari suatu tanah persekutuan. Kehidupan sosial, politik, dan religius masyarakat dipimpin oleh seorang pemimpin kampung yang disebut dengan mosalaki (Arndt, 2002: 19).

Pada masa semi-feodalisme mosalaki di Flores, literatur para sarjana tidak menggambarkan gerakan pemuda di sana dengan jelas. Buku fiksi “Punu Nange: Kumpulan Cerita Rakyat So’a” karangan Pastor Katolik Adriaan Mommersteg, SVD, misalnya, lebih banyak mengisahkan kultur masyarakat Flores, khususnya So’a, dari pada gerakan politik kaum muda yang berapi-api melawan feodalisme.

Buku fiksi itu tak satu pun berkisah tentang konflik penguasaan alat-alat produksi, seperti tanah, yang terkonsentrasi pada pemilik tanah, tuan tanah, dan para mosalaki, misalnya (Mommersteg, 2000).

Denyut nadi gerakan pemuda di Flores baru mulai berdetak manakala Belanda melakukan pasifikasi Flores sepanjang tahun 1902-1917. Sepanjang kurang lebih 15 tahun, para pemuda di Flores seperti Motang Rua di Ruteng, Nipado di Ngada-Nagekeo, Marilonga di Ende, dan Teka Iku di Sikka memberontak dan melakukan protest action terhadap Belanda.

Dhakidae memberi alasan perlawanan rakyat di atas sebagai berikut, “suatu pengalaman yang sama sekali baru dan mengerikan bahwa para pekerja rodi itu diikat pinggangnya dan diturunkan dengan tali untuk memahat tebing-tebing dan jurang bagi masyarakat Toto untuk membangun jalan dari Nangapanda menuju Boawae dan Bajawa.

Bahwa ada mosalaki yang diperlakukan demikian hampir tidak dapat mereka pahami. Semua itu merangsang meletusnya apa yang dikenal sebagai pemberontakan paling sistematik, dan paling merepotkan Belanda dalam “Perang Watuapi”” (Kleden dan Madung, 2009: 111).

Akan tetapi, pada 1918, perlawanan pemuda di atas berhasil dipadamkan Belanda. Politik divide et impera Belanda dengan pertama-tama merangkul kelompok kelas atas, ata ga’e, di Flores untuk beraliansi dengannya demi melayani kepentingan ekonomi politik pemerintah kolonial, Gereja Katolik, dan para raja lokal melumpuhkan gerakan perlawanan pemuda di Flores yang dilakukan secara sporadis dan tidak terorganisasi itu (Sato, 2005).

Kerajaan Sikka di Maumere, Flores, pada belahan akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20, misalnya, merupakan “hasil intervensi pihak penjajah Belanda yang bekerja sama dengan para pastor. Sebagaimana Mangunwijaya menegaskan, Gereja Katolik pra-Konsili, yang berpola hirarkis-patriarkal kental, mudah berpadu dengan tatanan sosial feodal-kolonial, baik dalam strukturnya pun dalam kepentingan institusionalnya” (Prior, Tanpa Tahun: 5).

Peran para pemimpin lokal di atas mulai berkurang setelah Belanda memperkenalkan pengelompokan wilayah dan sistem pemerintahan politis kerajaan dan swapraja dengan policy zelfbestuur (Arndt, 2002: 19).

Masuknya misi Gereja Katolik pada sekitar tahun 1900-an bersamaan dengan kolonialisme Belanda di atas–terutama sejak Serikat Jesuit menyerahkan karya misi di Flores kepada Serikat Sabda Allah atau SVD pada tanggal 20 Juli 1914–juga turut memperlemah kekuasaan para pemimpin lokal (Satu, Tanpa Tahun: 5).

Di bawah dominasi kekuasaan kolonial Belanda, Gereja Katolik, dan kemudian Negara Orde Baru, rakyat Flores semakin terdepolitisasi sehingga sulit melahirkan gerakan pemuda yang progresif.

Munculnya Frans Seda, anak muda Flores yang dibesarkan dalam alam Flores yang katolik, yang berhasil menjadi Ketua Partai Katolik pada usia 34 tahun dan Menteri Ekonomi RI pada usia 38 tahun serta sukses sintas di panggung politik nasional selama dua orde, adalah anomali.

Kehadiran Hengky Tupanwael, pemuda Flores lainnya, preman/perampok kelahiran Ende 1932, yang dihukum mati pada usia 25 tahun karena merampok Bank Ekonomi Nasional di Bandung di mana dia diganjar penjara 4 tahun 6 bulan memperlihatkan, nasib para pemuda di Flores tak selalu seindah Frans Seda (Dhakidae, 2015: 308-328, 228-234).

Kalau toh muncul, gerakan pemuda di NTT cenderung melayani agenda oligarkis Negara Orde Baru dan Gereja Katolik. Dalam “Catatan Seputar Pembantaian Terencana di Maumere, Februari-April 1966”, John Prior mengidentifikasi “kaum elit muda yang dikaderkan dalam ormas yang punya identitas Katolik nan kental” sebagai salah satu pelaku sipil dalam tragedi berdarah pembunuhan massal 1966 di Maumere, Flores.

Sementara itu, dewasa ini, gerakan pemuda di Flores, yang mayoritas beragama Katolik, cenderung direduksi menjadi hanya sekadar gerakan moral religius dalam wadah Orang Muda Katolik (OMK).

Seperti ditulis Prior, berbeda dengan para pemuda Katolik sebelum 1965 yang melibatkan diri ke dalam aneka organisasi masyarakat (Ormas) seperti Pemuda Katolik, Pemuda Garuda, Wanita Katolik, Ikatan Petani Pancasila, Ikatan Buruh Pancasila, Ikatan Nelayan Pancasila, dan Persatuan Guru Katolik, para OMK zaman sekarang “nampaknya lebih menyibukkan diri dengan acara olahraga, paduan suara, misdinar dan piknik” (Prior, Tanpa Tahun: 9) (Bersambung)

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

Oleh: Silvano Keo Bhaghi

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari Silvano Keo Bhaghi

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai