Menimbang Gerakan Pemuda di Flores (2)

Spread the love

[alert type=white ]Silahkan Baca Bagian 1 Di Sini[/alert]

Gerakan Ekonomi Politik Berbasis Perjuangan Kelas Melawan Kapitalisme dan Oligarki

Menurut Penulis, sebab gagalnya gerakan pemuda di Flores adalah karena pertama gerakan pemuda belum merumuskan musuh bersama secara jelas dan kedua, gerakan pemuda belum menjadi gerakan ekonomi politik berbasis perjuangan kelas.

Oleh karena itu, Penulis berpendapat, pertama, gerakan pemuda di Flores perlu terlebih dahulu merumuskan musuh bersama. Siapakah musuh bersama gerakan pemuda di Flores?

 Studi-studi para sarjana seperti Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, Jeffrey Winters, Edward Aspinall, dan Marcus Mietzner menunjukkan, musuh bersama gerakan rakyat di Indonesia sekarang adalah oligarki.

Winters mendefinisikan oligark sebagai orang kaya yang bisa pakai kekayaannya untuk mempertahankan kekayaannya. Watak politik oligark di Indonesia adalah mempertahankan kekayaannya berdasarkan ideologi bagi-bagi kekuasaan di antara segelintir elite (Winters, 2011).

Baja Juga: Menimbang Gerakan Pemuda di Flores (1)

Sementara itu, Richard Robison dan Vedi R. Hadiz dalam buku “Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets” meneliti kemunculan kembali oligarki politik dan bisnis dari dalam sistem pemerintahan otoriter Orde Baru. Para oligark atur ulang kembali kekuatannya melalui krisis berturut-turut dan ambil alih lembaga-lembaga politik dan pasar.

Usai krisis moneter pada 1997 dan kejatuhan rezim otoritarianisme Suharto pada 1998, terjadi perebutan kekuasaan dan kekayaan yang luar biasa dalam sistem parlementer dan partai. Sementara itu, Negara dan bisnis tetap menjaga hubungan harmonis agar kerajaan perusahaan tetap utuh.

Menurut mereka, hal paling menonjol dalam politik di Indonesia paska Suharto adalah oligarki dan para pendukungnya sebagai produk Suharto telah mereorganisasi atau menyusun kembali kekuasaan sosial dan politik mereka dalam era demokrasi baru. Hal ini ditandai dengan munculnya partai dan parlemen untuk memperkuat aliansi predatoris mereka.

Hal ini juga menunjukkan bahwa relasi kekuasaan yang lama dapat bertahan dalam institusi kekuasaan yang baru (Robinson dan Hadiz, 2004). Karena gerakan pemuda harus menjadi gerakan rakyat, maka oligarki adalah juga musuh bersama gerakan pemuda di Flores.

Selain itu, gerakan pemuda di Flores perlu mewaspadai ekspansi kapitalisme di Flores. Kapitalisme memang belum berkembang secara masif di Flores karena industrialisasi di sini juga belum berkembang pesat. Akan tetapi, kondisi objektif rakyat Flores hari-hari ini menunjukkan adanya fenomena ketimpangan penguasaan dan kepemilikan alat-alat produksi.

Mayoritas rakyat Flores adalah petani. Alat produksi utama petani atau masyarakat agraris adalah tanah. Tak jarang, tanah rakyat di Flores dirampas oleh Negara, pasar, dan institusi agama. Akumulasi melalui perampasan tanah pada akhirnya turut mereproduksi kemiskinan di Flores hingga hari ini (Tolo, 2014). Dengan demikian, musuh bersama gerakan pemuda di Flores adalah para kapitalis, baik dari institusi Negara, pasar, maupun agama, yang merampas tanah-tanah rakyat di Flores. 

Selanjutnya, kedua, gerakan pemuda di Flores mesti menjadi gerakan ekonomi politik berbasis perjuangan kelas untuk melawan musuh bersama di atas. Sebagai gerakan ekonomi, para pemuda menginisiasi pendirian koperasi kelas pekerja yang pertama peka terhadap diferensiasi kelas anggota dan kedua menjadi wadah gerakan politik. Sebagai gerakan politik, para pemuda mengorganisasi kelas pekerja untuk memperjuangkan hak-hak sipil politik.

Gerakan pemuda di NTT misalnya bisa mengadvokasi dan mengorganisasi buruh tani, buruh nelayan, dan buruh toko, yang dirampas alat-alat produksinya oleh Negara, pasar, dan/atau institusi agama. Juga mengadvokasi kelas pekerja yang dipekerjakan dengan upah di bawah UMP NTT. Sebagai gerakan ekonomi politik, gerakan pemuda terjadi melalui dialektika aksi–refleksi– aksi. Gerakan dialektis aksi–refleksi–aksi membantu para pemuda sadar diri tentang posisi kelas sosial mereka: Kelas kapitalis? Kelas pekerja?

Gerakan pemuda di Flores yang berbasis pada perjuangan kelas juga menggunakan kuasa media digital untuk menghegemonisasi wacana kontra-oligarki di ruang publik. Ross Tapsell mengatakan, warga berdaya yang punya akses kepada internet dapat menggunakan teknologi digital untuk melawan dominasi dan hegemonisasi oligarki.

Ia berpendapat, “teknologi digital yang baru membawa Indonesia ke dua arah. Di satu sisi, digitalisasi membuat kaum oligark mengontrol ranah media arus-utama dan mendorong struktur kekuasaan elite terpusat di sektor politik dan media. Pada saat yang sama, berbagai platform media digital juga digunakan oleh warga untuk tujuan-tujuan aktivisme dan pembebasan, dan warga biasa dapat menantang struktur kekuasaan elite melalui penggunaan media digital yang efektif” (Tapsell, 2018). (Habis)

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

Oleh: Silvano Keo Bhaghi

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari Silvano Keo Bhaghi

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai