Menyalakan Lilin Harapan di Tengah Kepungan Kegelapan (Catatan Reflektif Perayaan Kemerdekaan Indonesia di Tengah Situasi Pandemi)

Spread the love

Perayaan kemerdekaan Indonesia pada tahun 2020 ini akan menjadi perayaan yang unik.

Jika pada tahun-tahun sebelumnya, bulan Agustus selalu diidentikkan dengan pelbagai bentuk kegiatan kolosal yang melibatkan banyak masyarakat untuk menyongsong Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia, maka pada tahun ini, kemeriahan itu seakan meredup dari ruang publik.

Di tengah kepungan pandemi Covid-19 yang melanda dunia dan juga negara kita, segala bentuk aktivitas yang melibatkan banyak orang akhirnya harus dihindari.

Namun, jika kita masuk dalam ruang batin yang tenang, kita akan belajar bahwa di balik peristiwa yang nampaknya gelap sekalipun, selalu ada makna yang dapat dipelajari.

Pepatah Tionghoa klasik, “It’s better to light a candle than to curse the darkness” kiranya menjadi nyala api harapan yang dapat kita gunakan sebagai “senjata cahaya” untuk merayakan kemerdekaan Indonesia dengan perubahan sikap hidup kita.

Situasi pandemi ini dapat menjadi momen “metanoia” (jalan berbalik) bagi segenap warga Indonesia untuk merayakan kemerdekaan secara “personal-transformatif”, yakni upaya untuk memerdekakan hidup kita dari cara hidup lama yang ternyata mengancam hidup dan lingkungan hidup kita sendiri.

Pada akhirnya, kita akan menyadari bahwa yang paling esensial dalam momen perayaan ulang tahun kemerdekaan negara kita tidak terletak pada kemeriahan seremonial belaka, melainkan pada perjuangan untuk menjaga dan memperjuangkan kesejahteraan dan perdamaian bersama yang menjadi tujuan kemerdekaan yang paling mulia.

Ancaman Kolonialisme Tersembunyi 

De facto, negara kita telah merdeka dari kolonialisme Belanda dan Jepang yang telah terjadi selama hampir tiga setengah abad.

Secara de jure, pernyataan kemerdekaan Indonesia disahkan melalui pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Ir. Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945.

Kolonialisme bersenjata di negara kita tentu telah usai. Namun, jika kita meletakkan pengertian “kolonialisme” dalam konstruk pemaknaan yang lebih luas, kita dapat menemukan bahwa ada banyak bentuk “ancaman kolonialisme” yang masih mengancam tegaknya kemerdekaan Indonesia dalam arti yang paling luas.

Misalnya saja, problematika tentang intoleransi dan fenomena populisme yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Pelbagai bentuk “kekuatan desktruktif”, entah dari dari luar diri (eksternal) maupun dari dalam diri (internal), yang mampu “menjajah kesadaran diri” masyarakat manusia dan berdampak pada kesejahteraan umum dapat kita pandang sebagai bentuk “kolonialisme tak kasat mata” (invisible colonialism), yang dapat dibedakan dari bentuk kolonialisme bersenjata yang kasat mata (visible colonialism).

Di tengah pandemi yang melukai seluruh dimensi kehidupan manusia ini, ternyata ada pula “kekuatan-kekuatan destruktif” yang dapat menjadi “kolonialisme tak kasat mata” bagi kebersamaan kita.

Salah satu kekuatan destruktif yang membahayakan adalah “virus egoisme”.

Di tengah tensi sosial yang meningkat akibat kepanikan massal terhadap pandemi Covid-19 ini, sikap mementingkan diri sendiri (egoisme) dapat menjadi ancaman bagi keselamatan banyak orang.

Di tengah krisis kesehatan yang akut ini, kesadaran untuk membangun solidaritas bersama sangat penting.

Melalui situasi batas ini, kesadaran moral kita diangkat untuk menyadari bahwa setiap aktivitas personal kita dapat mempengaruhi orang-orang yang berada di sekitar kita.

Mengusahakan pola hidup bersih dan sehat tidak hanya berguna bagi keselamatan kita, melainkan keselamatan banyak orang yang berada di sekitar kita.

Demikian pula, kelalaian kita akan berrisiko pula bagi keselamatan orang lain. Kita memikul tanggung jawab sosial dalam tubuh kita.

Kongregasi Kepausan untuk Kehidupan Vatikan, pada tanggal 22 Juli 2020 lalu menerbitkan surat Kepausan, “Hummana Communitas In the Age of Pandemic: Untimely Meditations on Life’s Rebirth” untuk merespon pandemi Covid-19 sebagai luka seluruh umat manusia.

Paus Fransiskus memberikan terang kesadaran bahwa di tengah ancaman pandemi yang mengglobal ini, semangat solidaritas perlu ditumbuhkan.

“Pada akhirnya, makna solidaritas moral, dan bukan hanya strategis, adalah masalah nyata dalam kesulitan saat ini yang dihadapi oleh keluarga manusia. Solidaritas memikul tanggung jawab bagi orang lain yang membutuhkan. Solidaritas itu sendiri bertolak dari pengakuan bahwa, sebagai subjek manusia yang dianugerahi dengan martabat, setiap pribadi merupakan suatu tujuan dalam dirinya sendiri, bukan sebuah sarana.” (Kongregasi Kepausan untuk Kehidupan, Humana Communitas, p. 21).

“Kemerdekaan Ekologis”

Pelbagai studi ilmiah menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 ini, dan juga aneka pandemi yang mengancam kehidupan manusia sepanjang sejarah kehidupannya terkait erat dengan lingkungan hidup.

“Pandemi Covid-19 banyak terkait dengan perusakan bumi kita dan penghancuran nilai intrinsiknya. Ini adalah gejala sakitnya bumi kita dan kegagalan kita untuk peduli; lebih dari itu, suatu tanda kelesuan rohani kita sendiri.” (Hummana Communitas, p. 8).

Dalam 30 tahun terakhir, seiring dengan semakin rusaknya alam, bertambahnya populasi manusia, kontaminasi makanan dan air, serta berbagai faktor lain, dunia telah mengalami wabah-wabah baru bermunculan.

Lembaga United Nations Environment Programme (UNEP) dalam laporan Preventing the Next Pandemic (2020) menyatakan, 75% dari penyakit infeksi baru muncul (new emerging infectious diseases) berasal dari binatang. (Monika Nirmala, Kompas, 6/7/2020).

Para ilmuwan menemukan bahwa genome virus SARS-CoV-2 sebagai virus penyebab Covid-19 ini mirip dengan genome virus yang hidup dalam tubuh kelelawar.

Kelelawar dan virus Corona sebenarnya sudah hidup bersama (co-exist) selama jutaan tahun.

Virus ini tidak berbahaya bagi kelelawar, tetapi menjadi fatal ketika ia berhasil melompat ke makhluk hidup lain (Monika Nirmala, Kompas, 6/7/2020).

Ketika habitat mereka terganggu karena perusakan hutan dan penebangan liar, juga aktivitas perburuan hewan liar yang merajalela, tentu saja dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan memperluas peluang jarak penularan virus mematikan itu bagi manusia.

Hal senada juga dinasihatkan oleh Paus Franisiskus, demikian: “Meningkatnya deforestasi mendorong hewan-hewan liar mendekati habitat manusia.

Virus yang berinang pada hewan-hewan, kemudian, ditularkan kepada manusia, sehingga memperburuk realitas zoonosis (penyakit atau infeksi yang ditularkan kepada manusia oleh hewan), sebuah fenomena yang dikenal oleh pada ilmuan sebagai wahana banyak penyakit.” (Hummana Communitas, p. 8).  DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIAPada momen perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-75 ini, kita juga meninjau kembali relasi kita dengan lingkungan hidup kita (ekologis).

Selama ini, kita selalu menjangkarkan pemaknaan kemerdekaan hanya melulu berkiblat antropologis-sosialis. Bahkan, ada yang mereduksi arti kemerdekaan sebagai kebebasan egoistik diri.

Padahal, jika kita memperluas horizon daya refleksi, kita akan menyadari bahwa eksistensi ekologi sangat menunjang status kemerdekaan kita sebagai manusia yang sejahtera.

Kondisi ekologi sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan lainnya, seperti: ekonomi, politik, kesehatan dan lain-lain.

Tidak ada kemerdekaan yang sejati jika lingkungan hidup kita rusak.

Krisis pandemi Covid-19 perlu menyadarkan kita untuk melakukan apa yang disebut dengan “pertobatan ekologis”.

Perilaku eksploitatif kita terhadap alam serta tingginya tingkat konsumerisme yang digelembungkan oleh kapitalisme sesat dan egoisme laten adalah bentuk “kolonialisme” kita terhadap alam Indonesia.

Momen konsientisasi ini harus menjadi momen transformatif yang mampu memahkotai “kenormalan baru” (the new normal) yang juga menyentuh ranah ekologis. Seruan bagi “kemerdekaan ekologis” adalah seruan evokatif bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk memperbaiki relasi kita yang telah rusak dengan alam sekitar.

Sebuah Agenda Bersama

Kita memang tetap patut bergembira dan bersyukur pada momen hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-75 ini. Meski kita menghadapi pandemi Covid-19 sebagai peristiwa luka bersama, kita tidak boleh kehilangan harapan.

Keputusasaan adalah patologi kemerdekaan. Ketakutan yang tak berdasar hanya akan memperburuk suasana batin kita.

Kewaspadaan dan pembenahan diri menjadi “senjata cahaya” kita untuk bertahan di tengah kepungan situasi kelam ini.

Upaya untuk memerangi krisis pandemi ini adalah agenda kita bersama. Untuk itu, spirit solidaritas communitas hummana (komunitas kemanusiaan) harus menjadi nyala api harapan kita.

Meski kita tidak memeriahkan perayaan HUT RI ke-75 ini dengan gegap gempita seperti kebiasaan pada tahun-tahun sebelumnya, kita dapat mengisi momen refleksi kemerdekaan ini dengan membangun kesadaran baru di era kenormalan baru (the new normal) yang berdimensi sosiologis dan ekologis. Salam merdeka!

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

 

Oleh: Giovanni A. L Arum

 

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari Giovanni A. L Arum


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

Satu tanggapan untuk “Menyalakan Lilin Harapan di Tengah Kepungan Kegelapan (Catatan Reflektif Perayaan Kemerdekaan Indonesia di Tengah Situasi Pandemi)

Komentar ditutup.