Normal Baru dan Pembangunan Berprespektif Lingkungan

Spread the love

Pasar saham global seperti Footsie, Dow Jones Industrial Average dan Nikkei semuanya telah mengalami penurunan besar sejak Pandemi Covid-19 muncul di awal 2020.

Dow Jones jatuh ke jurang terdalam, minus 35%, pada April 2020 (Bloomberg, 27/4/2020). Di Indonesia, 6,4 juta pekerja dirumahkan dan terkena PHK (CNN Indonesia, 9/6/2020).

Meskipun akhir-akhir ini tren kematian kasus Covid-19 telah mulai menurun, kekhawatiran masih ada.

Akankah muncul gelombang kedua? Maka dibutuhkanlah suatu tatanan normal baru, agar penyebaran pandemi tidak kian meluas sementara ekonomi dapat berjalan kembali.

Paling tidak ada dua skenario potensial pemulihan krisis ekonomi yang terpuruk dampak Covid-19.

Skenario pertama, produk domestik bruto akan dipompa sedemikian mungkin agar ekonomi tumbuh lebih cepat.

Dengan menstimulasi konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor komoditas. Bersamaan dengan itu, industrialisasi akan bergerak dengan daya yang lebih kuat dari kondisi pra Covid-19.

Kondisi lingkungan hidup yang sempat membaik di masa kemunculan Covid-19, mungkin akan kembali dipadati polusi.

Emisi karbon dipredikasi akan naik ke udara, ke tingkat pra Covid-19, dan bahkan akan melonjak lebih tinggi dari sebelumnya. 

Inilah yang disebut fenomena “revenge pollution“. Seperti resesi dan krisis finansial global tahun 2008, yang merupakan goncangan sebanding dengan skala krisis dampak Pandemi Covid-19, meskipun sifatnya sangat berbeda.

Hampir semua pemerintahan di dunia merespons kondisi di atas dengan paket penyelamatan ekonomi dan stimulus bernilai milliaran USD. Namun pada dekade terakhir, emisi gas rumah kaca kian meningkat.

Tiongkok punya preseden yang nyata. Menanggapi krisis finansial global pada 2008, pemerintah Tiongkok meluncurkan paket stimulus 586 miliar USD yang berfokus pada proyek infrastruktur skala besar. 

Kondisi inilah yang menyebabkan bertahun-tahun industri Tiongkok berlari kencang. Namun dampak lingkunganya, tingkat emisi mereka melonjak.

Memuncak dalam kabut asap yang terkenal dengan airpocalypse, pada pusat-pusat kota, seperti Beijing pada musim dingin 2012 dan 2013.

Selain itu, dunia juga menghasilkan tingkat ketimpangan yang jauh lebih besar daripada yang terlihat sejak sebelum perang dunia kedua.

Dunia menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok antara kelompok super kaya dan sangat miskin dalam segi kesehatan, keamanan pekerjaan, pendidikan dan hal-hal lain.

Disebutkan oleh Oxfam (2017), kekayaan 1% kaum kaya setara dengan gabungan kekayaan 99% penduduk dunia.

Kemudian, skenario kedua, adalah di mana kita bertolak dari preseden revenge pollution paska 2008.

Pandemi memberi peluang, ketika ekonomi dimulai kembali dengan normal dan aturan baru, di situ terdapat kesempatan membuat hal yang mustahil menjadi mungkin–atau hal-hal yang terlalaikan sebelumnya bisa diterapkan.

Inilah saat terbaik bagi agenda hijau dimasukkan ke dalam tatanan yang ingin kita perbaharui. 

Baca Juga: Bumi Sebagai Common Home

Oxford University baru-baru ini menerbitkan sebuah hasil studi menarik terkait rencana pemulihan krisis global, yang berjudul Building back better: Green COVID-19 recovery packages will boost economic growth and stop climate change.

Fokus penelitiannya adalah membandingkan proyek-proyek stimulus hijau dengan stimulus tradisional, seperti langkah-langkah yang diambil setelah krisis keuangan global 2008.

Para peneliti menemukan bahwa, proyek-proyek hijau menciptakan lebih banyak pekerjaan, memberi pengembalian jangka pendek yang lebih tinggi, dan mengarah pada penghematan biaya peningkatan jangka panjang.

Dalam pembangunan ekonomi, untuk lebih cepat bangkit dari kirisis, Pemerintah membutuhkan proyek, yang disebut oleh para pakar dengan istilah “siap sekop”.

Upaya ini, melebihi sistim proyek padat karya, proyek itu juga tidak perlu keterampilan tingkat tinggi atau pelatihan ekstensif, dan menyediakan infrastruktur yang menguntungkan ekonomi.

Konstruksi infrastruktur energi bersih adalah salah satu contohnya, yang mana menghasilkan pekerjaan dua kali lebih banyak dari dibandingkan proyek bahan bakar fosil.

Menuju Kenormalan Baru Bagaimana Pembanguan Lebih Adil
Oleh: Alek Karci Kurniwan

Kita bisa melihat kebutuhan infrastruktur ramah pengendara sepeda dan pejalan kaki di kota-kota. Kemudian membangun infastruktur koneksi jaringan internet broadband, karena sistem sekolah dan kerja daring akan semakin marak dilakukan. Serta jaringan untuk pengisian kendaraan listrik.

Dengan itu, kedepan, kita pasti akan membutuhkan lebih banyak listrik. Dibutuhkan juga proyek masal pembangkit listrik tenaga surya, angin, dan biogas.

Menurut WRI (2017), sumber utama emisi gas rumah kaca global adalah listrik (31%), pertanian (11%), transportasi (15%), kehutanan (6%) dan manufaktur (12%). Produksi energi dari semua jenis menyumbang 72% dari semua emisi.

Sektor energi menjadi faktor paling dominan penyebab emisi gas rumah kaca. Begitulah laku hidup kita yang masih bergantung pada energi fosil pada “normal lama”. “Normal baru” harusnya dapat menggantikan sumber energi lama ke energi terbarukan.

Bulan April 2020, Para Menteri lingkungan hidup Uni Eropa telah meluncurkan “The European Green Deal” sebagai inti dari proses pemulihan pasca Covid-19.

Setidaknya 100 miliar Euro dimobilisasi selama periode 2021-2027 di wilayah yang paling terkena dampak untuk investasi dalam teknologi ramah lingkungan, mendekarbonisasi sektor energi, dan normal hijau baru lainnya.

CEO dari perusahaan besar seperti Ikea, H&M dan Danone telah menandatangani komitmen mewakili sektor swasta dalam aliansi ini.

Contracting parties memahami bahwa perang melawan perubahan iklim adalah inti dari kebijakan ekonomi baru Eropa, dengan penekanan pada energi terbarukan, emisi nol dan teknologi baru.

Harusnya langkah ini menjadi contoh bagi dunia dalam pemulihan krisis dampak pandemi coronavirus. Adalah kesempatan untuk mendesain ulang ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.

Dalam Paris Agreement 2015, negara-negara di dunia telah bersepakat untuk sama-sama bertanggungjawab dalam meredam dampak perubahan iklim, dengan porsi dan kemampuan yang berbeda.

Targetnya cukup tinggi, yaitu dunia harus mengurangi emisi lebih dari 45% jika pemanasan global ingin dibatasi hingga 1,5°C.

Tanpa perubahan yang besar, tujuan itu akan sulit dicapai.

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

Alek Karci Kurniwan

 

Oleh: Alek Karci Kurniwan

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari Alek Karci Kurniwan


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai