Pariwisata Kerakyatan: Tanding atau Naik Banding? (2)

Spread the love

Ini adalah artikel dari pemenang I lomba menulis ulang tahun ke 75 Republik Indonesia dan ArnoldusWea.com ke 1

***

[alert type=white ]Baca Bagian 1 di Sini[/alert]

Melampaui Komunitas, Menuju Relasionalitas

Salah satu anggapan yang sering disematkan kepada desa atau kelompok masyarakat yang ruang tinggalnya jauh dari kota (pusat) ialah orang-orangnya terbelakang, bodoh, dan miskin, tetapi memiliki sisi romantis-nostalgis (bdk. Li, 2002).

Konstruksi sosial ini berimplikasi pada dua hal rumit: pembangunan desa/komunitas membuat warga tampak pasif di atas segala praktik kepengaturan, dan berikutnya, warga dibiarkan mengurus atau menyesuaikan dirinya sendiri guna bertahan hidup -untuk tidak mengatakan bersaing- di tengah lalu-lintas penetrasi ekonomi pasar maupun ekonomi subsidi.

Tidak jarang, di beberapa tempat wisata lokal dalam suatu daerah (entah hasil inisiatif warga ataupun intervensi pemerintah juga kerja lembaga-lembaga swadaya), masing-masing kelompok membuat peraturan sendiri-sendiri alias berbeda-beda, terkhusus berkaitan dengan sewa/tarif masuk dan penggunaan fasilitas/jasa tertentu. Pembandingan-pembandingan oleh para wisatawan pun jamak terdengar.

Hal ini belum lagi, misalnya, orang-orang yang mengelola (baca: menjaga) memiliki posisi sosial-ekonomi dan politik tertentu, semisal kelas-kelas penguasa sumber daya.

Contoh kasus yang terjadi di Pantai Koka-Maumere sebagaimana dipaparkan pada awal tulisan ini menunjukkan bagaimana bekerjanya praktik ekonomi rasional tersebut, meskipun warga yang beroperasi mungkin bukanlah subyek-subyek pemilik banyak lahan.

Kondisi ini sedikit berlainan dengan wisata-wisata tempatan yang di dalamnya tidak berlangsung kompleksitas dinamika kepemilikan sumber daya, di samping pengelolaan ruang yang merupakan kerja terencana, muncul dari kesadaran organik, dan bukannya proses tawar-menawar yang kadang membuat sebagian warga hanya jadi makhluk penurut.

Pada titik ini, orang mungkin akan mengapresiasi model wisata a la BUMDes sebagaimana cerita di Rote tadi ataupun fenomena munculnya desa-desa wisata di Bali dan Yogyakarta sebagai bentuk resistensi atas industri pariwisata massal.

Namun, mesti diingat, tanpa adanya pemahaman ihwal perencanaan, strategi pengembangan, juga motif dari usaha semacam itu, termasuk membentuk keterhubungan-keterhubungan (aspek relasionalitas) antara satu tempat dan tempat lainnya, usaha-usaha itu bisa saja hanya bergerak mengikuti logika kapitalisme yang ada.

Warga hanya sekadar melihat uangnya saja dan tidak peduli dengan nilai apa yang ditawarkan, termasuk jalinan hubungan sosial di antara mereka. Dalam kacamata sebaliknya, orang beranggapan, yang penting turis kunjung dan foto-foto, beri uang atau tidak bukanlah urusan.

Tsing (2005) dalam studinya perkara introduksi kapital-(isme) di Kalimantan menyebut hal-hal semacam itu sebagai friksi, yakni ketegangan warga lokal merespons gejala global.

Dengan demikian, model pariwisata kerakyatan/tempatan mestinya merupakan suatu kerja serius, memperhatikan kelindan relasi sosial-ekonomi dalam masyarakat, melibatkan banyak aktor perencana dari berbagai sudut pandang, dan dalam eksekusinya, mengoptimalkan jejaring-jejaring, termasuk pelaku pariwisata dan komunitas, yang (telah) ada.

Di dalamnya juga berlangsung centang perenang gagasan soal promosi, keterlibatan badan pemerintah yang bertanggung jawab, ataupun lembaga-lembaga non-pemerintah yang memang berfokus menggarap isu termaktub.

Inilah yang dimaksud dengan aspek relasionalitas. Jika masing-masing elemen tersebutkan di atas berjalan sendiri-sendiri, tentu sangat sulit mengharapkan pariwisata ceruk kecil bertumbuh kembang; malah bisa saja warga menjadi korban akibat pertarungan banyak kepentingan, ataupun sebelum berkembang, mereka mungkin sudah duluan “dibajak” oleh investor besar.

Tentang ini, dalam percakapan-percakapan seputar pengembangan pariwisata (lokal), model pendekatan yang dikenal dengan advocacy, baik diterapkan oleh kaum akademisi maupun praktisi, sudah tidaklah lagi relevan. Model ini dianggap hanya memperkeruh problem-problem ketimpangan yang sebelumnya sudah ada di masyarakat (bdk. Pujaastawa, 2017).

Pendekatan advocacy bergerak pada tataran permukaan, tidak masuk lebih jauh dalam memahami relasi sosial kewargaan. Pada level diskursus, pendekatan ini sempat dilawan oleh pendekatan cautinary yang memandang pariwisata dari segi buruknya saja, meskipun pendekatan ini tidak mempertimbangkan usaha-usaha spontan masyarakat arus bawah.

Pendekatan lain yang kemudian muncul ialah adaptancy yang menyadari bahwa pariwisata mempunyai dampak positif dan negatif sehingga pemahaman terhadap suatu masyarakat itu bersifat holistik. Pengembangan dari pendekatan itu yang setidaknya diadopsi hingga saat ini ialah knowledge-based.

Baca Juga: Pelisiran Lewat Wisata Virtual

Pendekatan ini melihat pariwisata sebagai fenomena multi-dimensi: ekonomi, politik, sosial-budaya, ekologi, dan lain sebagainya (Spillane dan James, 1994).Oleh karenanya, pengembangan pariwisata mesti dilakukan melalui cara terpadu yang melibatkan berbagai bidang keilmuan dan peran stakeholder.

Sudah barang tentu, sebagai problem teoretis pendekatan-pendekatan tersebut tidak serta merta dapat terpacakkan pada setiap wilayah/komunitas. Di kampung halaman saya, Desa Lepo Lima, Maumere-Flores, ide agar desa (BUMDes) menata gua bekas hunian tentara Jepang menjadi suatu arena wisata tampak agak sukar terlaksana karena tempatnya berada di sekitaran kebun sejumlah warga.

Ketimbang merelakan lahan untuk tempat wisata yang belum diketahui apa manfaatnya, penduduk setempat memilih untuk kerja kebun saja demi penuhi kebutuhan subsistensi. Risiko lain yang juga bisa muncul ialah klaim-klaim pemanfaatan sisa lahan.

Akan tetapi, di beberapa wilayah lain, pariwisata ini malah dijadikan alat oleh warga untuk menyatakan identitas dirinya terhadap dunia modern.

Misalnya, Suku Ainu di Jepang yang mengembangkan bentuk desa tradisional dengan segala macam pengetahuan dan kearifan lokal sembari membuka diri terhadap wisatawan asing (dari kota). Tujuan mereka sangat sederhana; memperoleh pengakuan sebagai bagian dari suatu entitas etnis tersendiri (Trijono, 2016).

Ataupun juga, beberapa kampung tradisional di Indonesia yang memang sudah punya landasan modal sosial-kultural yang khas sehingga pengembangannya tidak terlalu menimbulkan kerumitan, tergantung kesepakatan-kesepakatan sosial.

Justru yang membikin rumit malah Negara; muncul dengan watak serba tahu dan seolah-olah hendak mengkonstruksi ulang pranata sosial tempatan, seperti baru-baru ini dikeluhkan masyarakat adat Baduy, Desa Kanekes, Banten (Bdk. Tempo.co, 23/7/2020).

Pariwisata Kerakyatan: Tanding atau Naik Banding?

Pariwisata kerakyatan meski kurang lebih mengikuti konsep ekonomi kerakyatan tidaklah pertama-tama dimaksudkan sebagai ladang baru, apalagi tunggal, untuk membentuk suatu masyarakat/komunitas yang sejahtera (wealth) dan makmur.

Model ini -dengan segala macam dinamika yang telah diuraikan dari atas- sejatinya lebih menekankan pada aspek “nilai” yang berlaku dalam jaring kekerabatan antaranggota masyarakat.

Artinya, orang mesti paham dulu apa makna yang terkandung dari suatu produk wisata sehingga tidak sekadar “berpura-pura” membuat wisatawan atau orang lain tertarik, juga tidak sekadar “menjual” sesuatu yang terlepas dari jati dirinya.

Untuk konteks sekarang, dalam kaitannya dengan nilai, proses revitalisasi atau pengembangannya sudah barang tentu membutuhkan basis kecakapan sumber daya manusia, karena pariwisata memang bukan hasil kerja “alami”, melainkan kerja “kebudayaan” dalam jejak peradaban yang panjang.

Baca Juga: Keliru Malam

Aktor-aktor penjaga basis itulah yang bakal terlibat dalam perancangan konsep, pemahaman atas kondisi material kewargaan, merancang promosi, dan bergerak membentuk jejaring dengan komunitas lain, termasuk para pelaku pariwisata, dan tentu saja pemerintah itu sendiri.

Hal ini juga berkaitan dengan bagaimana pemanfaatan atas berkembang pesatnya era new media (digital) yang mana setiap orang bisa membuat narasi sesuai selera mereka.

Tanpa adanya manajemen kelola media oleh subyek sosial dari bawah (dari dalam kelompok masyarakat itu sendiri), nilai suatu tempat wisata dapat saja menjadi kabur atau dikaburkan. 

Benar bahwa semakin sering suatu komunitas pariwisata dibicarakan di ruang-ruang digital, semakin besar pula pantikan yang memungkinkan orang lain untuk datang berkunjung.

Pariwisata kerakyatan Arnoldus WeaNamun, apalah artinya jika aktor penggerak, bahkan masyarakat itu sendiri, tidak punya basis data (pengetahuan) yang bisa menjadi rujukan atau bekal bagi para pelancong. Dalam sudut pandang nilai, esensi pariwisata tempatan adalah ruang perjumpaan, arena orang datang belajar, menemukan diri mereka dari apa yang ada di tengah masyarakat lewat laku ritual bernama “perjalanan”. Soal “keindahan”, “kebagusan”, “negeri di atas awan”, “salju di tengah padang gurun”, atau citraan-citraan jatmika lainnya itu menjadi urusan kedua.

Dengan begitu, pariwisata kerakyatan bukan merupakan suatu kultur tandingan terhadap pariwisata massal yang menghantui bangsa ini sejak era Orde Baru, dan kalau mau ditarik lebih jauh saat berlakunya proyek “swastanisasi” Belanda pada awal dekade 1900-an.

Saya kira, model pendekatan ini merupakan suatu medium saling mendidik antara komunitas yang satu dan komunitas lainnya dan tentu saja antara warga yang satu dan warga lainnya untuk mengidentifikasikan kembali nilai-nilai yang menjalin hubungan sosial mereka.

Model ini juga bukan bertujuan untuk naik banding karena hanya akan menempatkan pariwisata sebagai dimensi ekonomi semata, yang sesekali waktu akan menimbulkan konflik sosial menimbang diferensiasi kelas yang terbentuk baik secara kultural maupun struktural di tengah masyarakat.

Keberhasilan Suku Ainu dan komunitas-komunitas wisata lainnya di Jepang, dalam contoh tadi, salah satunya karena sejarah kewargaan yang tidak alami gejolak rumit perkara perebutan sumber daya alami sehingga pembentukan lapis-lapis kelas sosial tampak tidak terlalu kentara. Mereka mudah sekali berorganisasi, memanfaatkan pariwisata, untuk menunjukkan identitas dirinya kepada dunia luar, terkhusus Negara sendiri.

Untuk konteks Indonesia yang paradigma pariwisatanya terlanjur diintervensi oleh kapitalisme Orde Baru ditambah struktur penguasaan sumber daya warisan mode produksi kolonial, bentuk wisata ataupun pariwisata kerakyatan tentu membutuhkan kerja yang memang holistik untuk memahami kompleksitas relasi sosial dan ekonomi-politik dalam masyarakat.

Sehingga apa yang dikenal sebagai ekonomi “bottom-up” tidaklah malang melintang hanya sebagai bahasa keresahan kita kala menggerutui jangkar ganas kapitalisme sektor ini, tetapi merupakan aktivitas terencana yang dikerjakan secara kolektif-relasional dengan penuh kesadaran dan bertanggung jawab (Habis)

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai