Piala Dunia Qatar: Diantara Kemunafikan dan Emosi Yang Membebaskan

Spread the love

Saat dimulainya turnamen Piala Dunia FIFA yang sedang berlangsung di Qatar dalam 3 pekan berselang ini, ada banyak pernyataan pesimis bahwa perhelatan sepak bola di Qatar itu, akan menjadi turnamen yang paling membosankan dalam sejarah Piala Dunia.

Namun, seakan membantah semua prediksi yang ada, piala dunia kali ini mungkin bisa menjadi salah satu yang terbaik.

Kualitas permainan sangat tinggi, berbagai tim memiliki motivasi yang luar biasa di setiap babak, para penggemar sangat antusias di dalam dan luar stadion dan seiring berjalannya turnamen, semuanya menjadi semakin menarik serentak dengan berbagai drama yang terjadi di dalam dan luar lapangan. 

Hampir setiap malam saya terpaku di depan layar laptop untuk mengikuti peristiwa bersejarah ini. Namun, jauh sebelum perhelatan piala dunia dimulai, tekanan politik hampir membayangi acara ini, saat itu, FIFA bahkan harus menulis surat kepada semua 32 tim yang memainkan total 64 pertandingan dalam edisi tahun ini untuk fokus pada sepak bola, dan bukan pada protes yang telah direncanakan seputar masalah catatan hak asasi manusia, pemerintahan konservativ Qatar, hak LGBTQ, dan penyalahgunaan 30.000 pekerja migran yang disewa untuk membangun infrastruktur Piala Dunia seperti tujuh stadion baru, bandara, 100 hotel, dan taman bagi pendukung tim sepak bola. 

Gairah yang ditimbulkan oleh sepak bola selama beberapa dekade, bagaimanapun, tampaknya tidak menghadirkan kesadaran bahwa sebetulnya sejarah sepak bola adalah sebagai olahraga yang selalu beririsan dengan kolonialisme, kejahatan rasial, fasisme, dan kapitalisme. Dan setiap irisan politik yang ada, boleh jadi, beberapa bagiannya mencerminkan kepentingan negara-negara imperialis AS dan Eropa.

Kemunafikan liberal

Jika kita mundur ke belakang, saat Inggris menjadi tuan rumah Piala Dunia pada tahun 1966, homoseksualitas masih ilegal, hal yang sama terjadi di Skotlandia hingga tahun 1980 dan di Irlandia Utara hingga tahun 1982. Adapun diskriminasi terus-menerus terhadap pekerja non-kulit putih merajalela, termasuk di dalam serikat pekerja Inggris

Inggris mempertahankan kepemilikan kolonialnya di seluruh dunia, mulai dari koloni pemukim kulit putih di Rhodesia, Hong Kong, hingga Kepulauan Malvinas (Falkland).

Baru-baru ini terungkap juga kejahatan terhadap orang-orang Kenya yang baru saja memperoleh kemerdekaan pada tahun 1963.

Dan sialnya semua kekejaman ini hampir selalu luput dari aktivis hak asasi tak terkecuali sebuah anomali besar bahwa Qatar sendiri pernah berada di bawah kekuasaan kolonial Inggris.

Orang juga sepertinya lupa bahwa Inggris saat 1966 begitu konservatif ketika masih memiliki undang- undang anti penghujatan pada agama dan Gereja Inggris tetap menjadi agama resminya. Dan sialnya saat itu mereka tetap menjadi tuan rumah Piala Dunia tanpa keluhan dari libertarian sipil Eropa, apalagi dari Amnesti Internasional.

Pada tahun 1974, ketika Jerman Barat menjadi tuan rumah Piala Dunia, penduduk di negara itu mengalami gelombang terakhir dari represi pemerintah yang dikendalikan Amerika. 

Pada tahun 1972 pemerintah Jerman Barat mulai membersihkan kelompok yang dicap “radikal” dalam tubuh pegawai pemerintahan (yang kemudian mencakup 20 persen tenaga kerja Jerman Barat). 

Selain itu, serikat buruh Jerman Barat secara rutin mengusir para aktivis buruh dari dalam organisasi, sedangkan kantor federal untuk perlindungan konstitusi menyelidiki 2,5 juta warga yang dianggap radikal. Saat itu juga 800.000 pelamar pegawai negeri diselidiki terkait “kesetiaan” mereka terhadap konstitusi. 

Kebijakan daftar hitam , atau “Berufs Verbot” ditetapkan agar mereka tidak terlibat dalam demonstrasi dan kritik terhadap pemerintah. 

Tindakan keras terhadap universitas, pemecatan dosen, dan penarikan buku-buku yang dianggap menyimpang dilakukan diseluruh Jerman Barat. Sementara undang-undang anti-homoseksual Nazi, meski telah dicabut pada tahun 1969, tetap saja diskriminasi anti-homoseksual resmi berlanjut di negara tersebut hingga tahun 2000.

Berpindah tempat, ketika Piala Dunia diadakan di Amerika Serikat pada tahun 1994, separuh  negara bagian AS memiliki undang-undang anti-sodomi dan anti-homoseksual, dan klaim yang disebarluaskan bahwa AIDS adalah “penyakit gay” belum mereda. Negara itu juga pada saat yang sama sedang menjalankan sanksi terhadap Irak, yang menyebabkan kematian setengah juta anak-anak di Irak . 

Pembunuhan dan pemukulan oleh polisi terhadap pria kulit hitam di jalanan kota AS menjadi skandal publik pada tahun 1991, ketika video kekerasan polisi terhadap Rodney King di Los Angeles menjadi viral. 

Kondisi ini tentu saja  masih terlepas dari sistem New Jim Crow yang sedang memenjarakan orang kulit hitam di penjara AS, di mana pemerintahan Bill Clinton berkontribusi secara signifikan dalam penggunaan tahanan sebagai pekerja budak sebagaimana diizinkan oleh amandemen ke-13 konstitusi AS, dan pelanggaran hak penduduk asli Amerika yang terus berlangsung .

Tetapi ditengah masalah itu, AS menjadi tuan rumah Piala Dunia tanpa keluhan dari libertarian sipil Eropa dan AS, apalagi Amnesty International (yang laporannya tahun itu mengkritik hukuman mati, dan kebrutalan polisi, dan pemulangan paksa pengungsi Haiti, tetapi bukan undang-undang anti-homoseksual, apalagi penganiayaan terhadap tenaga kerja, dll).  

Ketika AS menjadi tuan rumah Olimpiade pada tahun 1996 di Georgia, laporan tahunan Amnesty bahkan tidak menyebutkan Olimpiade dan mengulangi kritiknya yang biasa terhadap hukuman mati, kekerasan polisi, dan pemulangan paksa pengungsi Haiti yang telah dilakukannya pada tahun-tahun sebelumnya. Namun mereka hanya merilis pernyataan singkat yang mengutuk eksekusi Ellis Wayne Felker di negara bagian Georgia.

Sebaliknya, Human Rights Watch (HRW) merilis sebuah laporan pada tahun 1996 tentang hukuman mati di negara bagian Georgia, undang-undang anti-sodomi, rasisme, dan kebijakan anti-miskin, mengkritik fakta bahwa kota tersebut menjadi tuan rumah Olimpiade meskipun memiliki catatan buruk soal hak asasi (dalam laporan tahun 1994 tentang AS, anehnya HRW tidak menyebutkan undang-undang anti-sodomi).

Namun, tidak ada kelompok yang menjadi bagian dari kampanye internasional yang berupaya melawan AS sebagai tuan rumah Olimpiade. Memang, karena AS, Kanada, dan Meksiko akan menjadi tuan rumah Piala Dunia berikutnya, belum ada kampanye yang diangkat tentang pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung di ketiga negara tersebut. Perlu dicatat bahwa AS memenangkan tawaran untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2026.

Akar kolonial

Serangan kelompok Eropa dan Amerika liberal yang sedang berlangsung terhadap catatan hak asasi manusia Qatar harus dilihat dalam konteks sejarah di mana Eropa dan AS yang diperintah kulit putih dibebaskan dari sebagian besar kritik, tetapi tidak demikian halnya dengan negara-negara non-kulit putih. 

Kampanye ini begitu intens sehingga Israel, salah satu pelanggar hak asasi manusia terbesar di dunia, termasuk hak-hak pekerja migran non-kulit putih, mulai menguliti moral Qatar.

Presiden FIFA, Gianni Infantino, menanggapi kritik ini pada pembukaan pertandingan dua minggu yang lalu: “Apa yang telah dilakukan oleh kami orang Eropa selama 3.000 tahun terakhir, kami harus meminta maaf selama 3.000 tahun ke depan sebelum mulai memberikan pesan moral”  

Menanggapi pernyataan Infantino, pers barat marah dan CNN menyebut kata-katanya “Bachot!”.

Sejarah sepakbola tengah berupaya mengangkangi sejarah kolonialisme Eropa, khususnya Inggris. Sebuah permainan yang diciptakan oleh Inggris—Final Piala Asosiasi Sepak Bola pertama dimainkan pada tahun 1872—dengan liga sepak bola diselenggarakan segera setelah itu. 

Antara tahun 1863 dan 1877, aturan sepak bola dibakukan, melarang segala bentuk sentuhan tangan pada bola kecuali kiper. Pada waktu ini juga bertepatan dengan munculnya gagasan Protestan tentang “Kekristenan Berotot yang menggabungkan keyakinan misi keagamaan dan olahraga kepada orang-orang kafir. 

Penyebaran sepak bola di Eropa menyebabkan pembentukan FIFA pada tahun 1904 oleh asosiasi sepak bola Perancis, Jerman, Belgia, Swedia, Spanyol, Denmark, Swiss dan Belanda, yang mereka sebut Federation Internationale de Football Association (FIFA). 

FIFA menyelenggarakan Piala Dunia pada tahun 1930. Hingga kini, orang Eropa terus mengontrol badan sepak bola dunia: semua presiden FIFA adalah orang kulit putih Eropa, kecuali presiden kulit putih Brasil yang merupakan putra imigran Belgia, dan satu penjabat sementara dari asosiasi sepak bola Kamerun, Issa Hayatou  yang menjabat kurang dari lima bulan pada rentang tahun 2015-2016. 

Inggris memperkenalkan sepak bola kepada koloni mereka sebagai cara untuk mengajarkan disiplin, kerja sama tim dan menanamkan nilai-nilai Kristen. Ketika mereka membawa sepak bola ke Kalkuta pada tahun 1880-an, hanya wasit Inggris yang diizinkan memimpin pertandingan. 

Pada tahun 1911, tim India, Mohun Bagan, mengalahkan Resimen British East Yorks 2-1. Di Mesir , tim-tim pribumi mulai bermain melawan tim Inggris sejak tahun 1916, dan berkompetisi di Olimpiade dari tahun 1924 dan seterusnya. 

Tak mau kalah, Prancis juga membawa sepak bola ke negara jajahannya di Afrika Utara. Tim-tim dari Aljazair, Maroko, dan Tunisia berkompetisi di kejuaraan Afrika Utara , yang didirikan pada tahun 1919, dan bersaing memperebutkan Piala Afrika Utara, yang didirikan pada tahun 1930. 

Mirip dengan penjajah Eropa lainnya, gerakan Zionis, sejak didirikan, paling banyak berinvestasi dalam olahraga dan atlet. Salah satu pendirinya, Max Nordau, meniru Protestan dengan menyerukan “Yudaisme Berotot”. Nordau mendirikan gimnasium untuk pemuda Yahudi Zionis di seluruh Eropa. 

Karena pengaruh Inggris dan sekolah misionaris, Palestina sudah memiliki beberapa tim sepak bola pada awal abad ke-20. Setelah Inggris menaklukkan Palestina pada tahun 1917, mereka menggunakan olahraga mereka untuk menormalkan dan mengintegrasikan populasi pemukim kolonial Yahudi yang mereka perkenalkan ke negara itu melalui klub olahraga, di mana mereka mengundang penjajah dan penduduk asli untuk bergabung, dalam upaya mencegah perlawanan penduduk asli. 

Tetapi, rencana itu tidak berhasil, dan sebagian besar tim tetap terpisah dan tidak bergantung pada Inggris. Sehingga, penjajah Zionis dengan cepat mendirikan Asosiasi Sepak Bola Palestina, yang tetap eksklusif Yahudi (kecuali satu orang Palestina yang hanya bergabung dengan salah satu pertemuan direktoratnya), meskipun ia memperkenalkan dirinya ke FIFA sebagai perwakilan Mandat Palestina. 

Komodifikasi 

Noam Chomsky pernah menyatakan bahwa “Salah satu fungsi dari hal-hal seperti permainan olahraga profesional, dalam masyarakat kita dan lainnya, adalah menawarkan area untuk mengalihkan perhatian orang dari hal-hal yang penting, sehingga orang yang berkuasa dapat melakukan apa yang penting tanpa ada gangguan publik” 

Memang, pertandingan sepak bola, permainan kolonial Inggris paling populer yang diwariskan kepada dunia, telah menjadi penghalang utama perhatian orang-orang dari pergulatan politik dan ekonomi langsung yang menghadang mereka. Tapi bukan olahraga atau sepak bola yang membelokkan, melainkan nasionalisme sempit yang merujuk pada fasisme, serta FIFA itu sendiri. 

Pertandingan sepak bola telah menjadi penyekat utama perhatian orang-orang dari perjuangan politik dan ekonomi langsung yang menghadang mereka

Seperti yang dikatakan oleh penulis anti-imperialis Uruguay Eduardo Galeano , FIFA dan “monarkinya”, termasuk industri kapitalis yang memproduksi perlengkapan olahraga, adalah pihak yang “bersalah mengubah mengubah setiap pemain menjadi iklan yang bergerak, sambil melarang mereka mengenakan pesan apa pun dari solidaritas politik”. Merekalah, tambahnya, “yang bernafsu pada komodifikasi hasrat dan identitas”.

Sebagai contoh, ditengah larangan konsumsi bir dalam stadion selama piala dunia Qatar berlangsung, justru Budweiser, sebuah perusahaan pembuat bir, dengan kesepakatan senilai $75 juta dengan FIFA, adalah sponsor utama turnamen tersebut dan telah menjadi sponsor FIFA selama sekitar dua dekade.

Bahwa FIFA dan Piala Dunia telah menjadi perusahaan kapitalis besar yang menguntungkan tidaklah mengherankan. Mereka yang menjalankan olahraga internasional memahami dengan baik peran politik dan keuangan sepak bola internasional. 

Bagi mereka, bahwa negara-negara tuan rumah Piala Dunia harus menghabiskan puluhan miliar dolar untuk menggelar pertandingan, dan bahwa Qatar telah membelanjakan hingga lebih dari $200 miliar, adalah uang yang dibelanjakan dengan baik. 

Pengaduan hak asasi manusia kaum liberal kulit putih, belum lagi Amnesti Internasional, akan lebih persuasif kepada khalayak global jika kaum liberal telah menjadikan AS dan Eropa sebagai standar yang sama dengan yang sekarang mereka tunjukkan pada Qatar, dan Rusia sebelumnya.

Saat mereka berdiri, kaum liberal barat hanya meyakinkan khalayak liberal kulit putih, banyak di antaranya menyelubungi bias rasis anti-Arab mereka dengan perisai hak asasi manusia.

Memiliki sikap moral itu penting, tetapi hanya dapat membantu jika itu dilakukan dengan konsisten dan dikombinasikan dengan upaya tulus untuk memahami yang lain dalam segala kerumitannya.

Apa yang telah saya tonton, sejak Piala Dunia dimulai pada 20 November lalu, bagi saya terlihat seperti interaksi seni, sains, dan bakat individu. Ini adalah bukti mulia tentang kemampuan pikiran dan tubuh manusia, dan bagaimana dunia terus-menerus mengubah dirinya sendiri dalam tekanan ruang dan waktu.

Piala dunia kali ini juga memberi kita kesempatan untuk tertawa dan terhibur di luar bahaya COVID-19 yang masih mengintai, tekanan inflasi, krisis biaya hidup, tekanan perang dan prediksi hari kiamat ekonomi oleh para ekonom.

Piala Dunia melayani tujuan besar yang kita inginkan pada waktu yang tepat. Ia hadir bagi seluruh dunia agar kita bisa  menangis, sedih, kecewa dan bahagia dalam spektrum yang luas. Piala Dunia membebaskan emosi kita. 

Terlepas dari semua drama tentang Piala Dunia 2022 di Qatar ini, saya menduga bahwa apa yang akan diingat selanjutnya bukanlah politik yang menyertainya, tetapi sepak bola itu sendiri, sebagai sebuah permainan. 

Turnamen ini masih di tingkat 16 besar saat ini, tetapi kita telah melihat banyak hal yang memungkinkan bahwa Piala Dunia edisi Qatar ini akan menjadi acara yang luar biasa. Semoga tim terbaik dapat menang! 

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian dari tanggungjawab redaksi

Oleh: Petrus Kanisius Siga Tage

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari  Petrus Kanisius Siga Tage

 

 

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai