Siapa yang Mesti Bertanggung Jawab dengan Berita Palsu?

Spread the love

Hari-hari ini, dengan laju perkembangan internet, informasi terus saja mengalir dalam jumlah besar dan nyaris tak terbendung.

Setiap kali menerima sebuah informasi, kita selalu membuat penilaian pribadi untuk menentukan apakah informasi itu benar atau salah.

Kita akan menggunakan pengalaman sebelumnya, mencari tahu kredibilitas sumber, dan mempertimbangkan kembali apa yang kita dengar dan lihat.

Namun, pada kenyataannya, ketika terlalu sibuk menerima informasi, kita justru sering mengabaikan prinsip kehati-hatian.

Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, ketika menerima sebuah informasi, kita cenderung berasumsi bahwa apa pun yang kita dengar adalah benar.

Kebohongan Berulang Dapat Menjadi Kebenaran

Psikolog Daniel Gilbert dan rekannya dalam laporan Unbelieving the unbelievable: Some problems in the rejection of false information  mendokumentasikan fenomena ini pada awal tahun 1990-an.

Ia meminta mahasiswa University of Texas di Austin untuk mengevaluasi pernyataan faktual dalam sebuah kasus hukum. Beberapa diantaranya merupakan informasi yang benar dan yang lainnya adalah salah.

Dengan waktu dan fokus yang cukup, para siswa pandai dapat mengingat perbedaan informasi yang salah dan yang benar.

Namun, ketika perhatian dialihkan, mereka lebih gampang untuk mengingat kebenaran yang palsu— tetapi hal ini tidak berlaku sebaliknya.

Kecenderungan untuk menganggap suatu informasi adalah benar di awal penerimaan, lalu mengajukan pertanyaan di waktu yang lain, telah menjadi masalah serius di era kita yang terjebak dalam kelimpahan informasi dari berbagai sumber,—yang kadang tidak dapat dipercaya atau bahkan menyesatkan.

Untungnya, ada cara untuk memerangi bias semacam itu ketika kita dapat memahami dasar-dasar evolusionernya.

Sebelum nenek moyang manusia mengembangkan bahasa, mereka membangun rasa percaya terutama tentang hal-hal yang mereka alami dengan indera mereka sendiri.

Jika leluhur Anda melihat pohon, tidak ada banyak alasan bagi mereka untuk mempertanyakan keberadaan pohon. Di titik itu, kita, sebetulnya tengah memperlakukan bahasa sebagai perpanjangan dari indera kita. Tetapi, masalah lain timbul, sebab, tepat di situ, serentak kita membuka pintu bagi terjadinya proses manipulasi.

Tindakan sederhana seperti mengulangi kebohongan dapat membuatnya tampak seperti kebenaran. Hal ini telah dijabarkan oleh psikolog Lynn Hasher dan rekannya dalam studi Frequency and the conference of referential validity

Hasher dan rekannya meminta 40 responden untuk menilai kebenaran dari berbagai pernyataan. Ada pernyataan yang benar juga ada yang salah. Sejumlah pernyataan coba diulangi dalam beberapa putaran. Pada akhirnya terlihat bahwa responden lebih cenderung mempercayai hal-hal yang diulang, terlepas dari apakah pernyataan itu benar atau salah.

Ketiga kalinya mereka mendengar pernyataan palsu, mereka cenderung mempercayainya sebagai pernyataan yang benar yang pernah mereka dengar.

Kebohongan dan Visualisasi

Dalam kasus yang lain, kita bahkan lebih mudah tertipu saat gambar diikutsertakan. Sebuah studi pada tahun 2012 yang diterbitkan dalam Psychonomic Bulletin & Review berhasil menunjukkan itu secara gamblang.

Ketika gambar-gambar dilampirkan bersama sebuah pernyataan, orang-orang cenderung mempercayai pernyataan itu,—termasuk yang palsu.

Jika Anda menunjukkan kepada orang-orang gambar jerapah dengan pernyataan bahwa itu adalah satu-satunya mamalia yang tidak bisa melompat, mereka lebih cenderung melupakan binatang lain yang tidak bisa melompat, seperti gajah dan kuda nil, misalnya.

Penelitian terkait menunjukkan bahwa menambahkan detail yang tidak penting ke dalam pernyataan dapat memiliki efek yang sama. Jika Anda menambahkan bahasa yang jelas, kebohongan dapat menyebar lebih cepat.

Kasus-kasus sejenis ini tengah membanjiri media sosial kita hari-hari ini dan nyaris tanpa henti.

Kebohongan dan Emosional

Sebuah studi pada tahun 2017 yang lalu dalam proceeding National Academy of Sciences, oleh Jay Van Bavel dan rekan-rekannya yang mengidentifikasi setengah juta pesan media sosial, berhasil menemukan bahwa kehadiran kata-kata moral dan emosional seperti “benci”, “menghancurkan” atau “menyalahkan” bertindak seperti katalisator yang mampu meningkatkan kemungkinan bahwa berita palsu akan menyebar sekitar 20%.

Studi ini juga menemukan bahwa sebagian besar penyebaran kasus semakin meluas jika berkaitan dengan urusan politik. Lagi-lagi ini adalah persoalan kita hari-hari ini.

Berita palsu cenderung menghindari nuansa atau bahasa netral dan amat dekat dengan lapisan emosi dan moralitas yang dapat membuat berita itu dapat menyebar jauh lebih cepat.

Semantara itu, sebuah studi yang dilakukan oleh Vosoughi, Deb Roy, Sinan Aral pada 2018 yang lalu dengan melihat 126.000 tweet dari berita selama 11 tahun terakhir, berhasil menemukan bahwa berita palsu lebih mungkin 70% untuk di-retweet daripada kisah nyata.

Berita nyata membutuhkan waktu sekitar enam kali lebih lama untuk mencapai target retweet sebanyak 1.500 orang. Sungguh mencengangkan.

Para propagandis yang cerdas telah lama mengeksploitasi kecenderungan otak manusia untuk mengambil jalan pintas. Dan, media sosial membuatnya jauh lebih mudah, karena mereka memberi makan pada kerentanan manusia akan kebutuhan persetujuan, kasih sayang, dan umpan balik positif.

Kombinasi antara kelemahan kognitif manusia dengan jejaring sosial, adalah jenis kombinasi  par excellence untuk menghasilkan kekacauan.

Berpikir Kritis

Dalam kondisi-kondisi semacam ini, keterampilan berpikir kritis sangat dibutuhkan. Kita harus bergerak untuk menjadi lebih bijaksana dan semakin reflektif.

Baca Juga: Mengasah Sikap Skeptis Pasca-Pelantikan DPRD

Setiap dari kita memikul tanggung jawab untuk terus menyebarkan literasi informasi. Mendorong orang ke dalam refleksi kritis menjadi semakin penting, karena aktor jahat selalu bekerja dalam bentuk yang amat klandestin dan terus berusaha menemukan cara yang lebih kuat melalui penggunaan teknologi dan media sosial dalam memanipulasi kelemahan pikiran manusia.

Pada akhirnya, meskipun ada upaya sophisticated untuk melawan berita palsu, tetap saja masing-masing dari kita yang mestinya harus memiliki upaya sadar paling awal untuk melawan berita palsu. Tanggung jawab semacam itu ada di tangan kita masing-masing.

Kita bisa mulai dengan cara yang sederhana, yaitu mengenali kelemahan kognitif kita sendiri dan mengambil langkah untuk mengatasinya.

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

 

Oleh: Veronika W. Lena

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari Veronika W. Lena

 

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

Satu tanggapan untuk “Siapa yang Mesti Bertanggung Jawab dengan Berita Palsu?

  1. Tulisan yang Menarik..
    Perlu IQ,EQ, dan SQ yg bagus untuk manyaring sebuah berita.. Supaya tidak terjebak dalam “kesalahan universal” yang kemudian dibakukan menjadi kebenaran??

Komentar ditutup.