Tragedi Besipae dan Alarm Bahaya di Depan Mata (2)

Spread the love

[alert type=white ]Silahkan Baca Bagian 1 di sini[/alert]

Politik Negara Terlibat Aktif

Dalam banyak kasus perampasan tanah, aktor penting yang terlibat adalah Negara. Kehadiran Negara dalam proses perampasan tanah, bisa terjadi secara langsung—berhadap-hadapan dengan masyarakat (seperti yang terjadi di Basipae) atau melalui dukungan yang diberikan kepada pihak ketiga dari kelompok swasta atau investor.

Bergeser dari asumsi dasar di atas, kita dapat melihat bahwa mekanisme institusional yang difiasilitasi Negara dalam kasus perampasan tanah harus dipahami sebagai proses ekonomi politik. 

Sebagai sebuah persoalan ekonomi politik, perampasan tanah selalu melibatkan setidaknya dua aktor, yaitu, pertama, aktor bisnis yang memiliki keperluan atas lahan untuk akumulasi kapital dan kedua, pemerintah.

Bahkan, dalam kenyataannya, realisasi dari perampasan tanah, seperti yang tersebut di atas, selalu membutuhkan peran Negara yang nyaris mutlak.

Hal tersebut umumnya dilakukan melalui kebijakan pembangunan sehinga Negara memiliki peran yang signifikan dalam perampasan tanah.

Salah satu bentuk keterlibatan Negara dalam perampasan tanah itu dapat dilihat dari tawaran negara (state inducement) terhadap investor yang diaktualisasikan melalui program pembangunan khusus, seperti Zona Ekonomi Khusus atau Koridor Ekonomi, yang diyakini dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi dalam suatu Negara

Dengan demikian, kejahatan dan kekerasan—dalam kasus perampasan tanah—tidak bisa dianggap sebagai faktor asing, terpisah dari Negara, mereka malah harus dianalisis sebagai komponen konstitutif yang legitimatif, di mana, hukum dan praktek dapat melegalkan dan melembagakan perampasan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari aspek yuridis yang dicetuskan oleh Negara.

Dalam kasus perampasan tanah yang umum, Negara memainkan peran yang nyaris tak terbatas melalui sokongan regulasi sebagai pelumas bagi upaya pengalihan lahan dari masyarakat adat kepada pihak swasta.

Dalam laporan Colchester & Chao (2015), misalnya, tergambar dengan jelas bagaimana ekspansi perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara—termasuk Indonesia didalamnya—telah menimbulkan aksi perampasan tanah yang luas dan difasilitasi oleh negara bagi kepentingan korporasi swasta.

Saat berhadapan dengan masyarakat demi memuluskan perluasan lahan sawit, seringkali, hak dan lembaga masyarakat adat tidak diakui dan tidak memiliki kekuatan hukum yang memadai.

Dalam konteks ini, bahkan lembaga tingkat desa yang diakui Negara mungkin diperalat untuk memaksimalkan dan memperkuat kontrol Negara, serentak dihalang-halangi untuk digunakan sebagai alat mewakili kepentingan masyarakat (yang seharusnya berjalan) secara independen.

Dalam laporan yang berbeda, kita juga melihat melalui skema perkebunan inti,—skema  yang diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia di mana perkebunan rakyat merupakan bagian terintegrasi dari sebuah perusahaan perkebunan modern berukuran besar,—telah  secara signifikan merangsang bentuk ‘perampasan tanah dari atas ke bawah’ yang secara serius dan luas difasilitasi oleh Negara.

Bergeser dari tesis di atas, peran negara yang luas dapat juga mengerucut dan mengarah pada dinamika politik lokal yang dimainkan oleh pemerintah daerah dalam konteks pertarungan kekuatan sosial untuk perebutan sumber daya material.

Hal itu semakin dimungkinkan setelah adanya perubahan politik pasca Orde Baru yang menerapkan kebijakan desentralisasi dan penguatan otonomi daerah.

Melalui otonomi daerah, politik lokal memiliki kekuasaan untuk mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya material yang berada dalam kewenangannya.

Oleh karenanya, politik lokal kemudian menjadi arena kontestasi politik yang baru serentak menjadikan ruang politik lokal tidak pernah netral dari kepentingan berbagai kekuatan sosial di masyarakat.

Dalam konteks yang demikian, pertarungan untuk memperebutkan sumber daya material selalu terjadi di antara para aktor, baik dalam skala internasional, nasional, maupun lokal.

Dalam kasus Besipae, misalnya, upaya perampasan lahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah NTT beririsan langsung dengan kepentingan politik lokal gubernur Laiskodat untuk menjadikan NTT sebagai “provinsi kelor” di tengah desakan politik agraria berbasis pasar dan proyek pembangunan dengan skema koridor ekonomi yang sebetulnya juga tampak tidak jelas jika diuji.

Masyarakat Lokal Menjadi Korban

Di seluruh dunia, ada reaksi keras dari negara, perusahaan, dan kelompok masyarakat sipil. Beberapa melihat perampasan tanah sebagai ancaman utama bagi kehidupan dan mata pencaharian masyarakat miskin pedesaan, dan karenanya menentang kesepakatan lahan komersial tersebut. 

Dalam konteks masyarakat lokal, perampasan tanah dapat dipahami sebagai strategi untuk mengontrol dan mendapatkan akses atas tanah yang menyebabkan masyarakat lokal diusir dari tanah mereka, dan konversi pertanian keluarga menjadi pertanian industri.Perampasan-Lahan-BasipaePerluasan inisiatif pertanian skala besar, kehutanan perkebunan, dan konservasi alam telah menyebabkan banyak masalah terkait dengan penggunaan lahan, termasuk kekerasan pedesaan, ketidakamanan kepemilikan lahan bagi petani kecil, dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat.

Perampasan tanah telah menyebabkan masalah keamanan pangan bagi masyarakat lokal, degradasi lingkungan dan masalah kesehatan yang terkait dengan penggunaan bahan kimia pertanian serta kenaikan harga tanah.

Seperti yang ditunjukkan di atas, masalah sosial dan lingkungan yang terkait dengan perampasan tanah telah menimbulkan banyak konflik. 

Kekerasan ini terjadi dengan berbagai cara, seringkali dalam bentuk preman bersenjata (termasuk aparat) yang memaksa pemilik tanah informal untuk meninggalkan tanah adatnya.

Ada juga kriminalisasi pembela lingkungan oleh pemerintah (di berbagai tingkatan), dan kasus ini tampak mulai jelas terlihat di NTT dalam lima tahun terakhir.

Ada kecendrungan yang akhir-akhir ini terjadi bahwa pemerintah melihat investasi tanah sebagai cara untuk meningkatkan produktivitas pertanian dengan membawa inovasi teknologi dan infrastruktur baru yang pada prinsipnya dapat menciptakan lapangan kerja, pendapatan publik, dan pembangunan ekonomi

Tetapi, tentu saja ada hubungan kekuatan yang asimetris dalam kesepakatan tanah yang dinegosiasikan tanpa persetujuan dari masyarakat lokal yang terkena dampak.

Dalam banyak kasus, asumsi bahwa keuntungan akan ‘menetes’ ke masyarakat lokal, melalui pekerjaan di perkebunan, skema petani plasma, atau royalti akses lahan, adalah ilusi. Hampir dapat dipastikan bahwa dampak buruk justru dirasakan oleh masyarakat lokal.

Penelitian telah memperingatkan bahwa akuisisi tanah dalam skala besar tanpa persetujuan jika tidak dikelola dan dilaksanakan dengan benar, dapat mengancam mata pencaharian sosial dan ekonomi penduduk agraris pedesaan dan pengakuan hukum atas sistem penggunaan lahan adat. 

Lebih buruk dari itu, perampasan tanah dapat mengarah pada pengucilan, pengungsian, dan fragmentasi sosial pada kelompok masyarakat lokal.

Penutup

Perluasan kasus perampasan lahan yang masif terjadi baik secara global dan lokal serta menguatnya eskalasi aktor yang terlibat dan disokong oleh Negara secara aktif, adalah alarm bahaya yang begitu jelas di depan mata.

Boleh jadi kasus Besipae yang begitu memilukan bukanlah yang terakhir terjadi di NTT, mengingat, ada berbagai macam upaya pembangunan di sektor pertanian dan pariwisata besar-besaran beberapa tahun belakangan yang secara paralel membutuhkan sokongan lahan yang besar.

Berhadapan dengan kasus semacam ini pilihan kita cuma satu yaitu lawan (Habis) 

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

Oleh: Petrus Kanisius Siga Tage

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari  Petrus Kanisius Siga Tage


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai