AKI Masih Tinggi, Kenapa?

Spread the love

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana hal ini bisa terjadi. Seorang ibu muda yang tinggal bersama orang tuanya, nekat melahirkan sendiri di rumah tanpa pertolongan siapa pun. Alih-alih orang berpengalaman atau tenaga profesional kesehatan, tetangga terdekat saja tidak ada yang tahu.

Ketika ibu muda itu mengalami perdarahan yang banyak sebelum berhasil melahirkan, barulah ada anggota keluarga yang mencari pertolongan ke puskesmas. Saat itu kondisinya sangat lemah, terlihat pucat, dan napas tersengal-sengal.

Ketika bidan dari puskesmas tiba di rumah mereka, sudah terlambat. Ibu muda itu tidak bernyawa lagi. Tidak banyak yang bisa dilakukan bidan selain mencatat beberapa informasi penting dari keluarga terkait kronologi kejadian. Datanya kemudian dilaporkan, menambah jumlah angka kematian ibu dan anak.

***

Gambaran singkat kejadian di atas, diceritakan langsung seorang bidan koordinator dari salah satu puskesmas di wilayah Kabupaten Kupang, pada kegiatan “Pertemuan Kajian Kasus: Audit Maternal Perinatal Surveilans & Respons” yang berlangsung 22-23 September 2021 lalu.

Kegiatan itu pada intinya menyatukan semua bidan koordinator dari setiap puskesmas yang ada di wilayah Kab. Kupang, untuk berbagi cerita atau pengalaman seputar masalah kematian ibu dan anak di tempat kerja masing-masing.

Baca Juga: Sayang Anak Bukan dengan Jajan

Mereka mempresentasikan setiap kasus sangat detail di hadapan para penilai, mulai dari dokter spesialis anak dan kandungan, pejabat dinas kesehatan, organisasi profesi, dan  pemangku kepentingan lainnya. Saya hadir saat itu mewakili organisasi profesi perawat, DPD PPNI Kab. Kupang.

Setelah mendengar kasus tadi, kami yang duduk melingkari meja paling belakang di salah satu aula Hotel Aston, Kupang lantas kasuk-kusuk bertanya, kenapa ada orang yang tega melahirkan sendiri tanpa bantuan yang memadai?

Iya, secara teoretis, banyak ahli yang menjelaskan kalau bersalin merupakan proses alamiah. Artinya, seseorang akan melahirkan dengan normal ketika waktunya sudah tiba. Sebagaimana contoh yang kita lihat pada sapi, babi, anjing, dan hewan lainnya—semua bisa melahirkan tanpa bantuan dari pihak lain.

Tapi, kisah tadi terjadi pada “hewan berakal” yang disebut manusia. Lazimnya manusia melakukan sesuatu bersama, apalagi ketika ada yang hendak melahirkan, pasti akan ditunggui oleh keluarga dan rekan-rekan terdekatnya. Sehingga ketika terjadi apa-apa selama proses melahirkan, maka semua akan berusaha mencari pertolongan.

Itu gambaran yang terjadi zaman dulu. Kini, praktik seperti itu pun masih ada, tapi ditambah dengan adanya fasilitas kesehatan. Kehadiran perawatan kesehatan modern ini penting karena ada beberapa kasus tertentu yang tidak bisa ditangani secara tradisional.

Kita dulu punya program Revolusi KIA yang cukup populer di NTT, di mana setiap ibu hamil diupayakan untuk melahirkan di fasilitas kesehatan yang memadai, dan ditolong oleh tenaga kesehatan yang profesional. Bahkan bidan menjalin kerja sama dengan dukun bersalin untuk menolong ibu bersalin.

Secara umum, berbagai hambatan yang membuat orang enggan atau tidak bisa ke fasilitas kesehatan sudah diatasi secara maksimal. Harusnya saat ini orang sudah memiliki kesadaran sendiri. Kalau bukan ke fasilitas kesehatan, ya, mungkin ke dukun bersalin yang sudah berkolaborasi dengan tenaga kesehatan.

Kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Seperti yang kami dengar saat itu, kok ada orang yang tidak mencari pertolongan saat hendak melahirkan?  Kita masih memaklumi kalau tidak memilih ke puskesmas atau RS. Tapi ternyata dukun bersalin juga tidak. Bahkan tetangga terdekat pun tahu setelah kabar meninggal dunia menyebar.

Dua dokter ahli yang hadir sebagai pengkaji utama kasus-kasus yang dipresentasikan para bidan koordinator itu sampai mengeluh, karena tidak ada yang bisa mereka nilai berdasarkan keilmuan dan keahlian yang mereka miliki.

Peran mereka bedua sebenarnya memberi penilaian dari setiap kasus, kira-kira bagian mana dari cara penanganan kesehatan yang perlu diperbaiki selanjutnya. Program ini sebenarnya menjadi media pembelajaran bagi semua pihak agar ke depan tidak lagi jatuh pada lobang yang sama.

Baca Juga: Pemulihan Pasca Melahirkan dengan Obat Tradisional

Kegiatan evaluasi itu tentunya sangat baik, tapi kalau kasus di lapangan tidak kooperatif seperti itu, maka harapan bisa mengurangi angka kematian ibu dan anak bisa-bisa hanya isapan jempol semata.

Setelah kami cari tahu lebih jauh, ternyata keluarga ibu muda yang tidak mau mencari pertolongan saat persalinan itu memiliki masalah sosial yang, mungkin jamak terjadi namun tabu untuk dibicarakan, yaitu kehamilan yang tidak diharapkan.

Determinan Kesehatan yang Jarang Dibicarakan

Kehamilan di luar nikah, kehamilan yang tidak diinginakan, atau apa pun istilah atau frasa yang menggambarkan fenomena tersebut, pada dasarnya memberi pengaruh yang besar pada masalah kesehatan kita. Barangkali Anda berpikir, itu kan hanya satu kasus saja, tidak memenuhi syarat sebagai kebenaran umum.

Sabar! Mari kita lihat kejadian lain yang erat hubungannya dengan masalah utama tersebut, yakni kasus pembuangan bayi. Saya memilih masalah ini sebagai indikatornya karena pernah mengidentifikasi kasus-kasus pembuangan bayi di NTT di media massa daring antara tahun 2017 hingga 2019.

Anda mungkin pernah juga membacanya. Dulu tahun 2017, ada kasus pembuangan bayi yang sudah meninggal di Carep, Manggarai; lalu di TDM, Kota Kupang ditemukan juga bayi yang sudah meninggal dalam kondisi tertindih batu.

Tahun 2018 lumayan banyak. Terjadi di Kelurahan Manulai II, Kota Kupang; di Desa Kurulimbu, Ende; di Niki-Niki, TTS; di Oinlasi, TTS; di Arus, Manggarai Timur; dan seterusnya. Total yang saya data hingga 2019 dari pos-kupang.com ada 15 kasus.

Itu baru satu media, dan bisa saja banyak kasus lain yang luput perhatian wartawan. Pendek kata, masalah kehamilan yang tidak diinginkan itu nyata, dan sangat meresahkan masyarakat secara umum.

Apa penyebabnya? Kalau kita tekun merunut ke belakang, akan banyak lagi faktornya. Tapi, salah satu penelitian yang pernah dilakukan di Ruteng—tempat terjadinya beberapa kasus pembuangan bayi—menunjukkan kalau perilaku pacaran remaja yang tinggal di kos-kosan, sebagiannya sudah mengarah pada  hubungan seksual.

Terlepas apapun penyebab yang lain, masalah kehamilan yang tidak diharapkan pada akhirnya membuat si calon ibu merasa minder dengan lingkungan sosial. Karena itu, sangat wajar bila ia tidak mau memeriksakan kehamilannya di pustu atau faskes yang lain.

Bahkan lebih parah, ia menyembunyi kehamilan itu dengan cara mengikat perut yang tentunya bisa membahayakan kesehatan janin. Karena ia tidak melakukan perawatan kehamilan, maka tidak mungkin mendapatkan vitamin tambah darah; tidak ada pengecekan status gizi, dan seterusnya.

Baca Juga: Selama Pandemi COVID-19, Amankah untuk Hamil?

Kondisi itu membuat si calon ibu sangat berisiko mengalami gangguan tertentu, hingga berakibat fatal seperti kematian. Atau kalau misalnya bisa lahir dan hidup, bisa saja pertumbuhan dan perkembangan bayi terlambat. Ingat, kita juga menjadi penyumbang masalah stunting terbanyak secara nasional.

Di kampus atau pertemuan ilmiah, kita selalu menyebut penyebab angka kematian ibu dan anak itu karena “3 terlambat” (terlambat mengambil keputusan, terlambat mencapai tempat rujukan, terlambat mendapatkan pertolongan di fasilitas kesehatan), dan “4 terlalu” (terlalu tua, terlalu muda, terlalu banyak, dan terlalu rapat jarak kelahiran).

Kenyataannya bukan hanya terlambat dan terlalu, tapi juga keterlaluan karena tidak bertanggungjawab dengan kehamilan yang  terjadi. Ini determinan kesehatan yang jarang dibicarakan. Sampai kapan?


Oleh: Saverinus Suhardin
 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari Saverinus Suhardin

 

 

 

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai