Atasi Diare dengan Daun Jambu Biji, dari Nuca Lale untuk Flobamora

Spread the love

Salah satu penanda penting bagi peradaban kita adalah inovasi di bidang kesehatan. Tentu, hal ini merupakan buah dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dimulai sejak abad ke-17.

Tertolong oleh inovasi medis ini, kita dapat bertahan hidup dari berbagai serangan penyakit endemik, epidemik, dan pandemik yang pernah merenggut jutaan nyawa manusia di berbagai belahan dunia. Saat ini pun, kontribusi obat medis tidak diragukan lagi.

Di hadapan Covid-19 yang sudah mengguncang dunia selama lebih dari setahun, umat manusia hanya berharap pada bantuan obat medis, khususnya vaksin. Karena itu, tidak mengherankan jika permintaan obat medis terus meningkat.

Hal  ini ditanggapi pemerintah dan pihak medis melalui riset dan produksi obat-obat medis untuk kemudian didistribusikan ke setiap apotek, rumah sakit, dan puskemas.

Namun, di tengah realitas demikian, muncul kesadaran akan pentingnya konversi ke pengobatan herbal. Bentuk konkretnya adalah integrasi pengobatan herbal ke dalam sistem pelayanan kesehatan modern. Dalam hal ini, ‘kembali ke apotek alam’ bukan merupakan sebuah gejala anti-medis atau antimodernitas, melainkan tanda dari kesadaran yang seimbang tentang pola hidup sehat.

Sudah lama diakui bahwa obat herbal dan obat medis dapat digunakan secara bersamaan untuk pengobatan penyakit. Hal ini dibenarkan oleh temuan riset medis sendiri dan oleh tingginya preferensi masyarakat terhadap obat herbal.

Dilansir dari Alodokter.com, 45% dari 7.699 responden pengguna aplikasi Alodokter memilih menggunakan obat herbal, sedangkan sisanya, yaitu 55% memilih obat modern.

Data ini menunjukkan bahwa obat herbal tetap relevan sampai saat ini. Lagipula, semua suku di Indonesia memiliki tradisi pengobatan herbal.

Untuk menyajikan contoh konkret penggunaan obat herbal, penulis memilih suku Manggarai sebagai subjek analisis. Salah satu dari banyak obat herbal yang masif digunakan oleh masyarakat Manggarai, yaitu daun jambu biji (psidium guajava) yang dalam bahasa Manggarai disebut saung jembu wua.

Daun jambu biji sudah lama dikenal, digunakan, dan diakui oleh orang Manggarai sebagai obat herbal. Di tanah Nuca Lale, nama khas untuk daerah Manggarai, kita dapat menjumpai pohon jambu biji di setiap lembah, bukit, bahkan di sekitar pemukiman dan pekarangan warga.

Bagi orang Manggarai, daun jambu biji adalah obat mujarab untuk mengobati diare. Sulit ditentukan kapan dimulainya penggunaan daun jambu biji sebagai obat diare bagi masyarakat Manggarai.

Dalam pengamatan penulis, penggunaannya diterima begitu saja secara lisan dari orangtua atau tetua di kampung. Hal ini juga tidak terlepas dari kuatnya budaya tutur dalam kebudayaan Manggarai.

Karena itu, dalam artikel ini, penggunaan daun jambu biji oleh Suku Manggarai tidak dianalisis secara historis, tetapi berdasarkan penggunaannya dalam kehidupan harian.

Diare dan Daun Jambu Biji

Menurut pengertiannya, diare merupakan masalah pada sistem defekasi yang ditandai dengan feses yang lembek atau cair. Hal ini disebabkan terhambatnya tugas usus kecil dan usus besar dalam mengabsorpsi chymus, sehingga makanan tidak diserap oleh tubuh.

Diare yang mencapai keadaan dehidrasi sangat berbahaya, bahkan dapat berujung kematian. Hal ini sangat riskan bagi bayi sebab mereka memiliki cadangan cairan intrasel yang terbatas, sedangkan cairan ekstraselnya lebih mudah lepas. Hal ini dibuktikan dengan angka morbiditas dan mortalitas bayi dan balita yang cukup tinggi di NTT.

Pada tahun 2012 angka morbiditas dan mortalitas bayi disebabkan diare mencapai 31,45% pada bayi dan balita 25,2 %. Bahkan pada tahun 2012, diare termasuk dalam dua penyebab utama mortalitas bayi.

Informasi ini mengingatkan kita bahwa diare yang terlihat ringan justru sangat membahayakan penderita. Lantas, bagaimana daun jambu biji mampu mengobati diare?

Tentu, daya sembuh daun jambu biji terletak pada kandungan zatnya yang sudah teruji. Zat-zat itu di antaranya, flavonoid, minyak atsiri, alkaloid dan tanin. Flavonoid memiliki senyawa turunan, yaitu quercetin.

Senyawa quercetin akan menghambat pelepasan asetilkolin yang dapat meningkatkan kontraksi usus akibat adanya iritasi oleh bakteri penyebab diare. Sementara itu, alkaloid berperan sebagai antibakteri, dan minyak atsiri berperan menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhimurium.

Saat diare, pori-pori usus menjadi terbuka, di sinilah tanin berperan mengecilkan pori-pori pada usus sehingga proses absorpsi tidak terhambat. Akibatnya, materi defekasi tetap normal atau tidak encer.

Kandungan zat-zat aktif tersebut menjadikan daun jambu biji sebagai ‘oralit alamiah’. Bahkan daun jambu biji, karena kandungannya yang kaya vitamin dan zat antibakteri, lebih unggul daripada oralit buatan (medis).

Hal ini dikarenakan oralit buatan dikhususkan untuk membunuh bakteri penyebab diare, sementara itu daun jambu biji dapat sekaligus mengatasi diare serta kanker dan demam berdarah.

Selain itu, dari segi biaya dan ketersediaan, obat tradisional ini lebih mudah dijangkau oleh masyarakat miskin yang jauh dari fasilitas medis. Hal ini sudah familiar bagi masyarakat tanah Nuca Lale. 

Penggunaan Daun Jambu Biji

Dalam penelusuran terhadap sejumlah literatur medis, penulis tidak menemukan adanya pertentangan antara pengobatan diare melalui daun jambu biji dan oralit sebagai representasi obat medis.

Sejumlah penulis justru menegaskan manfaat penting daun jambu biji bagi kesehatan. Meskipun demikian, kita perlu menyeleksi daun jambu biji yang berkualitas, misalnya tidak mengonsumsi daun yang yang keriput atau berlubang karena dihuni ulat. 

Dari pengamatan sederhana yang dilakukan penulis, pengalaman orangtua adalah salah satu hal yang mendorong masifnya penggunaan daun jambu biji. Rerata orangtua di kampung penulis mengaku banyak menggunakan tanaman herbal untuk mengobati penyakit.

Menurut pengakuan mereka, konsistensi dalam menggunakan obat herbal menjadi faktor utama yang membuat mereka bertahan hidup lebih lama. Misalnya, ketika mengalami diare baik yang mereka sendiri alami atau oleh anak-anak mereka, daun jambu biji menjadi pilihan pertama. 

Untuk mendapatkan bukti empiris tentang intensitas penggunaan daun jambu biji oleh masyarakat Manggarai, penulis melakukan riset sederhana yang dilakukan selama dua hari (13-14/3/2021). Penulis mengambil data dari 25 responden yang berstatus mahasiswa dengan metode angket yang disebar melalui google form.

Responden yang dipilih berasal dari Manggarai dengan harapan dapat merepresentasikan penggunaan daun jambu biji pada masyarakat Manggarai.

Dari penelitian ini, sebanyak 72% mahasiswa mengaku sering menggunakan daun jambu biji untuk mengatasi diare, 24% jarang, dan 4% tidak pernah dengan alasan takut mengalami efek samping. Terhadap pertanyaan ‘apakah daun jambu biji efektif atasi diare?’, 84% responden menjawab efektif.

Mereka juga mengatakan bahwa obat herbal ini mudah didapat, bebas biaya, dan tidak mempunyai efek samping yang berbahaya. Sisanya, yaitu 16% responden mengaku daun jambu biji tidak efektif lantaran proses penyembuhan yang cukup lama dibandingkan dengan obat medis.

Selain informasi di atas, para responden mengaku bahwa masyarakat di kampung halamannya rajin mengonsumsi daun jambu biji untuk mengatasi diare. Uniknya selain atas saran orangtua, keluarga, dan teman, beberapa responden mengatakan bahwa tenaga medis yang memperkenalkan mereka dengan daun jambu biji.

Saya mendapatkan informasi [tentang daun jambu biji] dari perawat di desa kami, dan dari nenek saya. Menurut cerita nenek saya, daun jambu biji sangat tepat untuk mengobati diare” kata Ranti, mahasiswa Unwira asal Borong.

Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang muda yang sarat akan budaya modern tidak menganggap daun jambu biji sebagai metode pengobatan yang usang. Karena itu, sampai sekarang, penggunaan daun jambu biji tetap relevan dan aktual bukan hanya di kalangan orangtua, tetapi juga pada orang-orang muda.

Selain mengambil data dari mahasiswa asal Manggarai, penulis juga mewawancarai sejumlah mahasiswa yang berasal dari beberapa daerah di NTT. Dalam survei terhadap 14 responden yang dilakukan pada Minggu (14/3/2021), semua responden (100%) mengatakan bahwa daun jambu biji sering digunakan untuk mengatasi diare.

Namun, persepsi tentang tingkat efektivitas daun jambu biji mengatasi diare cukup beragam. Responden yang mengaku sangat efektif sebanyak 71,43% dengan alasan diare teratasi dalam waktu yang cepat, kemudian kurang efektif sebanyak 28,57% dengan alasan membutuhkan waktu yang lama dibandingkan dengan obat medis.

Baca Juga: Pemulihan Pasca Melahirkan dengan Pengobatan Tradisional

Sebenarnya, tingkat efektivitas daun jambu biji ini berhubungan dengan tingkat keparahan diare yang dialami penderita. Semakin parah diare yang dialami, semakin banyak waktu yang dibutuhkan untuk mengatasinya.

Konsistensi dan stabilitas dalam mengonsumsi daun jambu biji pun sangat menentukan proses penyembuhan. Semakin rutin, tentu semakin cepat diare teratasi. Lalu, bagaimana proses pengolahan daun jambu biji?

Langkah Pengobatan

Berbeda dengan obat tradisional lainnya yang diracik dari bervariasi bahan herbal, menurut tradisi masyarakat Manggarai, daun jambu biji tidak dicampurkan dengan bahan herbal lainnya. Yang diandalkan adalah khasiat daun jambu biji itu sendiri. Proses pengolahannya pun sangat praktis.

Daun jambu biji dapat dikonsumsi secara langsung. Namun, agar lebih higienis, kita perlu terlebih dahulu mencuci daun jambu agar bebas dari kotoran. Daun jambu yang kita gunakan adalah daun yang berada di sekitar pucuk atau di ujung ranting pohon jambu.

Dengan demikian, hanya daun jambu muda yang bisa dikonsumsi. Jumlah daun yang dikonsumsi tergantung pada tingkat keparahan diare. Namun, jika ingin cepat sembuh, penderita sebaiknya secara rutin mengonsumsi 5-10 lembar daun hingga diare benar-benar hilang. 

Selain cara tersebut, daun jambu muda dapat terlebih dahulu diolah sebelum dikonsumsi. Hal ini dikhususkan bagi penderita yang lebih memilih mengonsumsi (meminum) air rebusan daun jambu daripada memakan daunnya secara langsung. Agar hasilnya maksimal, disarankan mengonsumsi air rebusan daun jambu biji satu liter setiap hari sampai sembuh dari diare.

Lazimnya, masyarakat lebih banyak menggunakan cara pertama. Hal ini terjadi karena lingkungan masih relatif aman dari polusi udara yang berpotensi mengotori permukaan daun jambu muda.

Selain itu, cara pertama lebih cepat mendorong penyembuhan karena khasiatnya langsung terasa. Jika menggunakan cara kedua, proses penyembuhan membutuhkan waktu yang cukup lama karena seringkali air rebusan keluar bersamaan dengan feses yang cair.

Ikhtiar Bersama    

Daun jambu biji merupakan alternatif alamiah untuk pengobatan diare. Masyarakat Nuca Lale telah mengalami khasiatnya sejak bertahun-tahun. Tradisi ini dapat menjadi kekayaan bersama masyarakat Flobamora. Namun, sebagaimana nasib obat-obat herbal lainnya yang mulai kehilangan tempat di era modern, demikian pun daun jambu biji.

Pasar medis seringkali didominasi oleh obat-obat yang difabrikasi secara modern, sedangkan obat-obat tradisional tersingkir. Padahal, jutaan manusia masih hidup berdampingan dengan alam.

Oleh karena itu, kita perlu membangun paradigma yang seimbang tentang sistem pengobatan agar baik obat medis maupun obat tradisional tetap bekerja secara simultan demi kebaikan umat manusia.

Untuk konteks NTT, riset dan konservasi obat herbal adalah sebuah upaya konkret untuk mempertahankan dan mengangkat unsur lokalitas agar tidak punah di tengah dunia modern.

Keluarga, lingkungan sekolah, tenaga medis, pemerintah, dan media merupakan unsur penting dalam merealisasikan wacana ini. Hal ini sangat mendesak untuk dilakukan sebab kita telah kehilangan aneka warisan budaya lokal. Kepeduliaan kita saat ini akan menjadi warisan berharga bagi generasi selanjutnya.

Oleh: Abel Harapan

 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari Abel Harapan


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai