Bahaya Laten Mendiagnosis Diri Sendiri

Spread the love

Belum lama ini saya bertemu dengan Kepala Desa Baumata Utara, Kab. Kupang, NTT—Bapak Pieter Aome. Kesempatan itu saya manfaatkan untuk bertanya seputar isu COVID-19 dan masalah kesehatan lain yang kerap terjadi di desanya.

Selain ramah, Bapak Pieter juga sangat antusias menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Dia bilang, secara umum COVID-19 sudah menurun, wilayahnya mendapat status PPKM level 2. Berbagai kegiatan umum seperti sekolah, ibadah, posyandu, dll., sudah mulai berjalan.

Meski secara umum sudah membaik, beliau tetap mengeluhkan beberapa hal. Pertama, warganya agak pikir-pikir kalau saat ini diarahkan ke puskesmas maupun rumah sakit untuk berobat. Katanya mereka takut “di-covid-kan” oleh petugas.

“Nanti sakit di laen tampa,” katanya menirukan omongan warga, “dong vonis itu Covid. Mati su ketong…”

Kedua, masih berkaitan dengan isu yang pertama, ada warga yang tidak mau mengikuti vaksinasi COVID-19. Sebagai kepada desa, dirinya mengaku perlu bekerja keras lagi untuk meyakinkan kalau vaksin itu aman.

“Ada yang bilang vaksin itu bikin mandul,” katanya sambil tertawa, “tau dong dengar dari mana…”

Ketiga, Bapak Pieter heran beberapa warganya pandai mendiagnosis diri sendiri. Hal itu dia sadari ketika mengajak seorang warga untuk ikut vaksin, tapi ditolak karena warga tersebut mengaku sedang darah tinggi.

Baca Juga: Spesialis Tulang Tradisional Vs Modern

“Bagaimana dia tahu sedang darah tinggi kalau dia saja tidak pernah datang untuk periksa?” tanyanya kemudian. Saya hanya bisa tersenyum sebelum mendengarkan lebih lanjut, “kalau memang dia nanti darah tinggi betul, tidak mungkin petugas paksa suntik to?”

 Variasi lain untuk jenis yang ketiga ini, ada pula warga yang mengeluh agak ngilu pada area lutut, langsung bilang kalau dirinya mengalami rematik. Sejak saat itu, warga yang mendiagnosis diri itu mulai menolak makan ini-itu, meski belum pernah ke fasilitas kesehatan.

Diagnosis Medis VS Diagnosis Mandiri

Pengalaman bertemu dengan Bapak Pieter di Desa Baumata Utara itu, membuat saya makin paham bagaimana cara kerja hoaks memengaruhi persepsi dan perilaku kesehatan masyarakat. Desas-desus yang sebelumnya kita temukan di berbagai media sosial, ternyata menjalar dan makin mengganas dalam percakapan masyarakat di desa.

Apa yang terjadi di Baumata Utara, saya kira juga sama di desa-desa yang lain. Saya tidak bisa bayangkan, bagaimana jadinya kalau tokoh masyarakat seperti Bapak Pieter ikut termakan kabar hoaks.

Hal itu pula yang membuat saya yakin, bahwa pendekatan dengan para tokoh masyarakat dalam upaya kesehatan masyarakat memang tidak bisa diabaikan. Kalau mau misi pelayanan kita diterima dengan baik, jalinlah hubungan baik dengan para tokoh kunci itu terlebih dahulu.

Setiap desa pasti memiliki tokoh kunci. Mereka ini sebutannya bisa macam-macam. Tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan mungkin masih ada sebutan lainnya. Intinya, mereka adalah influencer bagi warga desa. Selain meluruskan kabar hoaks, bersama influencer tersebut kita juga bisa mengatasi bahaya laten mendiagnosis diri.

Apa yang disebut dengan mendiagnosis diri? Itu adalah istilah yang menunjukkan seseorang yang bukan tenaga profesional bidang kesehatan, tapi bisa menentukan penyakit berdasarkan gejala yang dia rasakan sendiri, tanpa mendatangi fasilitas kesehatan atau mengonfirmasi pada dokter dan tenaga kesehatan lain.

Umumnya, selama ini kita mendengar istilah diagnosis medis. Istilah itu merujuk pada penetapan jenis penyakit yang dilakukan dokter, berdasarkan tanda dan gejala serta pemeriksaan penunjang lainnya. Profesi kesehatan lain juga memiliki metode asuhan yang spesifik dalam menetapkan masalah yang dihadapi kliennya, tapi kali ini kita fokus dulu pada diagnosis medis sebagai pembanding diagnosis mandiri.

Proses penetapan diagnosis medis bervariasi berdasarkan jenis penyakitnya, tapi pada umumnya melewati langkah-langkah yang panjang dan teliti. Ketika seorang pasien datang ke fasilitas kesehatan, hal pertama yang ditanyakan adalah keluhan apa yang membuat ia mencari pertolongan?

Baca Juga: Kanker Pilih Terapi Medis atau Alternatif

Setelah tahu keluhan utamanya, dilanjutkan dengan melacak bagaimana riwayat keluhan itu terjadi. Pertanyaan 5W+1H dipakai semua untuk mengetahuinya secara lengkap. Kemudian ditanya juga mengenai riwayat sakit masa lalu yang mungkin ada kaitannya dengan keluhan saat ini. Cek juga riwayat keluarga, siapa tahu keluhan saat ini memiliki hubungan dengan penyakit yang bisa diturunkan.

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu belum cukup untuk menegakkan diagnosis. Petugas kesehatan perlu melakukan pemeriksaan fisik yang disesuaikan dengan keluhan pasien.

Pemeriksaan fisik itu dilakukan dengan melihat area yang sakit atau kondisi di sekitar area yang dikeluhkan (inspeksi); kemudian meraba atau menekan di bagian yang memang diperlukan (palpasi); lalu mengetuk dengan jari pada area tertentu untuk dinilai bunyinya (perkusi); dan mendengarkan bagian tubuh tertentu dengan bantuan stetoskop atau alat yang lain (auskultasi).

Hasil anamnesa (wawancara mengenai keluhan pasien) dan pemeriksaan fisik itu sudah memberi petunjuk yang makin jelas, kira-kira apa sebenarnya masalah atau penyakit yang dialami pasien. Apakah cukup sampai di situ? Tentu saja itu belum cukup.

Dua jenis pemeriksaan awal di atas akan menentukan pemeriksaan penunjang apa yang perlu dilakukan untuk mengonfirmasi diagnosis yang sahih. Pemeriksaan penunjang itu sangat beragam jenisnya. Pilihan jenis pemeriksaan laboratorium, radiologi, atau yang lain sangat bergantung pada analisis dokter atau tenaga kesehatan.

Gabungan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan hasil pemeriksaan penunjang itulah yang bisa meyakinkan seorang dokter dalam menetapkan masalah atau diagnosis pasien. Masih ada juga kemungkinan diagnosis itu diragukan, sehingga perlu melakukan konsultasi lagi pada dokter ahli yang lain atau mungkin butuh pemeriksaan lain yang lebih spesifik.

Itu gambaran umum mengenai diagnosis medis. Prosesnya panjang dan sangat teliti dalam menetapkan jenis penyakit. Bagaimana dengan diagnosis mandiri atau perilaku mendiagnosis diri?

Diagnosis mandiri dilakukan dengan mencocokkan gejala yang kita rasakan dengan gejala penyakit yang dialami orang lain di sekitar kita. Kalau ciri-ciri sakitnya sama, maka dengan mudah kita katakan kalau kita juga mengalami sakit yang sama. Kesimpulan itu diambil tanpa melibatkan tenaga kesehatan.

Baca Juga: Jangan Ragukan Vaksin

Bahaya laten mendiagnosis diri ini makin merebak seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Bukan rahasia lagi, saat ini banyak orang menggunakan Google sebagai dokter untuk menanyakan sakit yang sedang dialaminya. Mereka memasukkan tanda dan gejala tertentu sebagai kata kunci, lalu mulai mencocokkan apa diagnosis penyakitnya.

Tindakan tersebut tentunya tidak dianjurkan, sebab sudah banyak bukti penelitian kalau menggunakan Google sebagai alat bantu diagnostik cenderung memberi kesimpulan yang salah. Informasi yang salah itu akan menjadi sumber kekhawatiran. Perilaku ini juga memicu terjadi pembelian obat tanpa resep yang bisa saja makin membahayakan kesehatan seseorang karena tidak tepat sasaran.

Tom Nichols memang bilang kalau saat ini merupakan era matinya kepakaran. Para dokter dan tenaga kesehatan lain mungkin kurang diyakini lagi dibanding para influencer di media sosial. Tapi, coba bandingkan lagi proses diagnosis medis dan diagnosis mandiri di atas. Anda lebih yakin yang mana?


Oleh: Saverinus Suhardin
 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari Saverinus Suhardin

 

 

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai