Belajar dari “Tilik”, Begini Sebaiknya Menilik Pasien di Fasilitas Kesehatan

Spread the love

Belum lama ini, film pendek “Tilik” lumayan menyedot perhatian warganet di Indonesia, khususnya lagi di Jawa, atau lebih tepatnya di Jogja –mungkin karena menggunakan bahasa daerah setempat, di mana film itu dibuat.

Meski begitu, film yang dibuat atas kerja sama Ravacana Films dengan Dinas Kebudayaan DIY itu tetap bisa dinikmati orang luar Jawa, karena ditolong dengan adanya terjemahan.

Secara umum, orang sangat tertarik dengan karakter Bu Tejo sebagai tokoh utamanya yang ceplas-ceplos kalau bicara. Tidak heran bila kemudian muncul beragam meme yang menggunakan foto atau ungkapan menarik yang dia utarakan dalam film.

Selain itu, film yang berdurasi kurang lebih setengah jam ini menjadi bahan perbincangan banyak orang di berbagai media –khusunya media sosial. Mereka membahas mengenai pesan moral, sinematografi, karakter tokoh, dan beragam sudut pandang lain yang sangat kental dengan kontroversi.

Tapi, ada satu hal penting yang sepertinya kurang –bahkan bisa dianggap alpa dari berbagai ulasan tersebut.  Topik itulah yang akan menjadi bahan kajian utama dalam tulisan kali ini, yaitu tentang masalah seputar menilik atau menjenguk pasien di rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya.

Khusus bagi pembaca yang belum menonton film tersebut, sekadar gambaran singkat, film itu menceritakan tentang perjuangan ibu-ibu dari sebuah kampung di pendalaman Jogja yang ingin menjenguk (Tilik) Bu Lurah yang dirawat di sebuah rumah sakit –terletak di pusat Kota Jogja.

Barangkali kegiatan pergi menjenguk keluarga atau kerabat yang lagi sakit itu sudah lumrah, tapi mereka jumlahnya terbilang sangat banyak. Mungkinkah belasan atau bahkan duapuluhan orang itu bisa diterima bersamaan oleh petugas rumah sakit untuk tunjuan menjenguk salah seorang pasien?

Pertayaan itu terus bergelayut dalam benak penulis, ketika tahu ibu-ibu yang memadati satu bak truk itu hendak membesuk salah seorang tetangga mereka. Adegan itu membuat kita makin penasaran, seperti apa reaksi satpam, perawat dan petugas lain di rumah sakit nantinya.

Ketika tiba di halaman RS, mereka langsung diadang oleh gadis yang mereka gunjingkan selama dalam perjalan, Dian namanya. Kemudian disusul oleh putra Bu Lurah yang bernama Rifki. Keduanya sama-sama menjelaskan pada rombongan tersebut, supaya tidak perlu masuk ke RS karena Bu Lurah sedang dirawat di ICU –belum bisa dijenguk.

Budaya Menilik Orang Sakit di Indonesia

Film memang cerita rekaan, tapi tetap saja menggambarkan sebuah realitas yang ada di sekitar kita. Seperti cerita pergi menjenguk (Tilik) di atas, hal semacam itu –datang beramai-ramai ke RS untuk menjenguk atau menemani kerabat yang sakit- merupakan hal yang jamak terjadi dan sering kita saksikan.

Kebiasaan itu tidak terlepas dari budaya kita di Indonesia yang secara umum memiliki hubungan kekerabatan yang cukup rapat dengan sanak saudara dan tetangga –meski saat ini mungkin hanya penduduk di desa seperti juga dalam “Tilik” yang terus melestarikannya.

Tidak hanya terjadi di Jawa yang menjadi latar ruang film tersebut, hal yang serupa juga sering dialamai oleh sebagian besar fasilitas kesehatan yang tersebar di seluruh Indonesia. Tapi, nait baik itu tidak selamanya berjalan mulus karena berbenturan dengan berbagai kendala.

Ada penelitian yang coba mengkritisi desain ruangan rawat inap –kecuali ruang kelas I dan VIP yang biasaya lebih jembar- di RS Indonesia yang dinilai tidak kompatibel dengan budaya “Tilik” tersebut. Peneliti menilai RS yang ada di negara kita cenderung mengikuti bentuk RS dari negara Barat yang karakter budayanya berbeda jauh, khususnya yang berkaitan dengan besuk orang sakit.

Karena itu, mereka mengajurkan agar dalam proses desain ruang rawat inap selanjutnya, perlu mempertimbangkan faktor budaya juga. Bahkan ada tambahan lagi dari peneliti Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, supaya area interior ruang rawat inap perlu ditata kembali dengan memperhatikan lay out, warna, furnitur, aksesoris ruang dan benda seni lainnya untuk memberi kenyamanan bagi pengunjung.

Apakah keinginan seperti itu bisa terwujud? Sementara di lapangan (RS) kita acap menyaksikan benturan kecil antara pegunjung dan petugas keamanan gara-gara tidak mengindahkan peraturan.

Bahkan perawat kadang dicap cerewet, judes, tidak manusiawi, dan stigma lainnya –hanya karena sering memberi teguran kepada pengujung atau penunggu yang tidak patuh dengan kesepakatan.

Setiap kali ada pasien baru yang masuk ke ruang rawat inap, terdapat prosedur penerimaan yang wajib dilakukan perawat. Secara umum, pasien dan kelurganya akan diorientasi mengenai kondisi ruangan, dijelaskan mengenai peraturan dan hal penting lainnya –termasuk ketentuan tentang besuk.Film TilikMakanya tidak heran bila dalam perjalanannya, satpam –bahkan kadang-kadang perawat atau pertugas kesehatan lain- sedikit meradang ketika melihat ada rombongan besar datang yang menimbulkan suasana berisik; ada yang duduk atau membentangkan tikar di lorong tempat orang berjalan; menyimpan banyak barang di bawah kolong tempat tidur; dan hal yang tidak sesuai ketentuan lainnya.

Tilik yang Dilematik

Tidak dapat dimungkiri, kunjungan untuk menjenguk orang sakit memiliki banyak manfaat. Sebuah kajian sistematis yang dilakukan Bélanger, dkk., dari sekian banyak studi yang mereka kaji, dapat disimpulkan bahwa, kebijakan kunjungan yang tidak terlalu ketat, memberi kepuasan dan berdampak positif pada pasien dan keluarganya.

Dukungan sosial seperti itu membuat pasien makin tenang sehingga tidak mengalami gangguan tidur, bersemangat menjalani terapi yang dianjurkan tenaga kesehatan, dan hal positif lainnya. Bahkan untuk Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), dukungan penuh dari keluarga dan lingkungan sosialnya sangat menentukan kesembuhan dan kekambuhannya.

Tapi pada sisi lain, banyak juga pasien dan keluarganya yang menginginkan suasana RS yang tenang supaya dapat beristirahat dengan nyaman. Kelompok ini tentunya tidak setuju bila kebijakan kunjungan di RS dibiarkan bebas.

Batasan jam dan jumlah orang yang menjenguk (Tilik) juga dibatasi untuk mengurangi risiko terjadinya paparan dengan agen infeksi yang ada di RS–meski beberapa penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan.

Apalagi selama pandemi Covid-19 melanda dunia, aturan kunjungan ke RS makin ketat. Bahkan orang sakit atau wanita hamil yang hendak melahirkan, harus mengikuti serangkaian proses skrining terlebih dahulu, sebelum diijinkan masuk di ruang perawatan. Apalagi kalau hanya sekadang datang menjenguk, tentunya sangat tidak dianjurkan.

Tilik (menjenguk) memang sangat dilematik. Satu sisi sangat berfaedah, tapi di sisi lain malah mendatangkan masalah. Secara etis, dalam perawatan pasien tidak hanya mengedepankan unsur kepuasan semata, tapi juga memastikan kualitasnya.

Berbagai aturan yang berlaku di RS, barangkali memang tidak bisa memberi kepuasan yang paripurna. Tetapi hal itu setidaknya mampu mempertahankan kualitas layanan yang seimbang bagi semua klien.

Karena itu, sebelum memutus untuk tilik, ada baiknya untuk menilik terlebih dahulu aturan fasilitas kesehatan yang akan dikunjugi. Jika sudah mengetahui seluk-beluknya, datanglah selayaknya tamu yang selalu menjunjung tata krama.


Oleh: Saverinus Suhardin
 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari  Saverinus Suhardin


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

4 tanggapan untuk “Belajar dari “Tilik”, Begini Sebaiknya Menilik Pasien di Fasilitas Kesehatan

Komentar ditutup.