Corona Belum Selesai, Kini Ada Flu Babi

Spread the love

Ketika masalah virus Corona belum jelas kapan berakhir, kita kembali dihebohkan dengan isu virus baru yang menyebabkan flu babi dan diperkirakan bisa ditularkan pada manusia.

Isu kedua yang baru ini makin seksi karena berasal dari negara yang sama tempat awal munculnya Covid-19. Sampai-sampai beberapa orang yang baru membaca judul beritanya saja langsung berkomentar, “Hmmm…, virus dari China lagi?”

Reaksi semacam itu bisa menimbulkan tafsiran yang menyimpang. Apalagi bila malas melakukan pengecekan lebih lanjut pada sumber yang meyakinkan, maka asumsi dan dugaan lain semacam teori konspirasi akan merebak kembali.

Kenapa selalu berasal dari Tiongkok? Apakah benar mereka ingin menjadi penguasa dunia lewat perang virus? Ah, daripada terus menebak tanpa validasi yang jelas, lebih baik kita pahami dulu asal-usulnya.

Perkembangan Virus Influenza

Virus influenza A sudah dikenal sejak dulu sebagai penyebab penyakit gangguan pernapasan pada burung, mamalia seperti babi, termasuk juga pada manusia.

Sejarah mencatat, virus ini telah menjadi pandemi dunia sejak tahun 1957, kemudian disusul tahun 1968, dan terakhir terjadi pandemi flu babi pada tahun 2009 lalu.

Variasi dari virus ini kemungkinan akan terus berubah dan bisa menjadi pemicu pandemi pada masa yang akan datang sebagaimana hasil prediksi dari temuan terbaru yang langsung heboh tersebut.

Kisah ringkas bagaimana virus ini bermutasi akan dimulai dari kondisi pandemi yang terakhir.

Pada tahun 2009, virus influenza yang menyebabkan pandemi flu babi itu telah disepakati nama atau nomenklaturnya seperti ini: A (H1N1) pdm09. Sebagaimana yang kita ketahui tentang sifat virus,—penulis menyakini selama masa pandemi Covid-19 kita banyak terpapar dengan informasi terkait virus—selalu mengalami perubahan atau mutasi genetik.

Pasca pandemi A (H1N1) pdm09 itu dinyatakan berakhir pada Agustus 2010 oleh WHO, para peneliti bidang kesehatan hewan terus mempelajari perkembangan atau perubahan genetik dari virus tersebut.

Setelah melakukan riset bertahun-tahun, kelompok peneliti dari China akhirnya melaporkan hasil studi mereka sejak akhir tahun 2019.

Setelah melaui proses tinjauan mengenai kelayakannya, laporan tersebut pada akhirnya diterbitkan pada tanggal 19 Juni 2020 kemarin di  Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS).

Ini adalah portal jurnal ilmiah berputasi tinggi, terindeks Scopus dan berada pada kuartil pertama (Q1).

Sampai di sini, kita mestinya sadar untuk tidak selalu berpikir negatif tentang China sebagai tempat munculnya berbagai jenis virus baru.

Kita harusnya memberi pengakuan pada ilmuwan mereka yang begitu tekun meneliti, sehingga bisa lebih waspada pada masa mendatang karena bisa diprediksi dengan landasan temuan terbaru mereka.

Temuan mereka rupanya menarik minat media massa di seluruh dunia untuk meliput dan mengabarkan kepada seluruh pembacanya.

Pantauan penulis, media arus utama di Indonesia mulai ikut menyebarkan kabar tersebut sejak 1 Juli 2020 kemarin hingga beberapa hari setelahnya dengan judul dan sudut pandang yang variatif.

Khusus untuk Anda pembaca setia rubrik Pojok Sehat arnolduswea.com ini, penulis menyaripatikan secara komprehensif dari hasil penelitian Honglei Sun dengan 22 orang rekannya itu.

Artikel aslinya yang berjudul “Prevalent Eurasian avian-like H1N1 swine influenza virus with 2009 pandemic viral genes facilitating human infection, bisa Anda kunjungi dan baca langsung dengan mengklik pada judulnya yang berwarna biru di atas. Tapi bila tidak sempat, berikut penulis sajikan ringkasannya buat Anda.

Virus yang Selalu Berubah

Mereka melakukan penelitian selama kurang lebih 8 tahun, dimulai tahun 2011 (setelah pandemi flu babi 2009 berakhir) hingga tahun 2018.

Selama itu, mereka berhasil mengambil sampel usapan hidung babi normal di rumah pemotongan hewan sebanyak 29.918. Ditambah 1.016 sampel usapan hidung atau paru-paru dari babi yang menunjukkan gejala pernapasan di rumah sakit pendidikan dokter hewan mereka.

Peneliti berhasil mengisolasi 136 virus influenza dari kelompok babi normal dan 43 virus dari kelompok babi yang sudah bergejala flu, sehingga totalnya sebanyak 179 virus. Virus flu babi itu telah mengalami mutasi genetik secara alamiah menjadi beragam jenis yang disebut sebagai proses reassortment.

Setelah mengidentifikasi jenisnya, 179 virus itu terbagi ke dalam sub-tipe EA H1N1 (165 virus); pdm/09 H1N1 (7 virus); CS H1N1 (1 virus) ),  H3N2 (4 virus), dan H9N2 (2 virus).

Sudah jelas, sub-tipe EA H1N1 merupakan paling dominan dan dilaporkan selalu ada tiap tahunnya. Semua virus yang diisolasi dari babi sakit yang berjumlah 43 pun masuk dalam jenis ini.

Temuan yang menarik, virus pdm/09 H1N1 yang menjadi penyebab pandemi tahun 2009 itu hanya tersisa 7 saja. Itupun hanya teridentifikasi pada tahun 2011.

Setelah itu, hingga 2018, virus sub-tipe ini tidak ditemukan lagi pada babi yang mereka teliti. Generasi lama sudah hilang, kini muncul generasi baru EA H1N1 yang mulai menyedot perhatian mereka.

Kini fokus kita pada virus EA H1N1 yang dominan itu. Ternyata dia juga mengalami banyak perubahan gen sejak tahun 2013. Hingga akhir periode masa penelitian tersebut, virus itu memiliki enam tipe gen (genotipe) (G1-G6).

Dari keenam genotipe tersebut, virus G4 menunjukkan peningkatan tajam sejak 2016, serta paling dominan dalam sirkulasi babi yang terdeteksi di setidaknya 10 provinsi. Nah, inilah virus yang menjadi inti pembicaaan saat ini yang bila ditulis secara lengkap menjadi: G4 EA H1N1.

Saat ini, beberapa media massa menyingkat nama atau kode virus baru tersebut dengan menyebut G4 saja.

Selanjutnya dalam tulisan ini juga menggunakan sebutan seperti itu juga demi keringkasan dan kemudahan memahaminya.

Virus G4 ini diprediksi bisa menjadi pemicu pandemi baru lantaran memiliki sifat sebagai berikut.

Pertama, virus G4 mempunyai daya ikat dengan reseptor SAα2,6Gal yang mirip dimiliki manusia. Hal ini menandakan virus ini dapat menginfeksi sel manusia.

Kedua, virus G4 mampu mereplikasi atau memperbanyak diri pada sistem pernapasan manusia, yaitu sel epitel bronkial (NHBE)  dan sel alveolar (A549).

Ketiga, virus G4 memiliki kemampuan menginfeksi yang lebih kuat dan menimbulkan gejala yang lebih berat dibanding serangan virus tipe lainnya.

Selain itu, hasil uji coba pada musang (ferret) juga menunjukkan kalau virus bisa menular melalui kontak langsung atau paparan droplet atau percikan cairan dari saluran pernapasan.

Keempat, virus G4 yang baru ini memiliki antigen yang berbeda dengan strain vaksin influenza yang sudah ada sebelumnya. Itu artinya perlu vaksin jenis baru lagi untuk mendapat perlindungan dari virus G4 ini.

Kelima, virus G4 ini juga mulai menunjukkan bukti bisa menular dari babi ke manusia. Hal itu diprediksi dari hasil pemeriksaan serum manusia (khususnya peternak babi), menunjukkan 10,4% (35 dari 338 sampel) positif memiliki antibodi G4. Pemeriksaan ini kurang lebih serupa rapid tes pada Covid-19, hasilnya tidak 100% benar, tapi cukup memberi petunjuk untuk observasi perkembangannya lebih lanjut.

Sejumlah fakta penelitian tersebut membuat mereka, para peneliti di China tersebut, menyarankan agar mulai saat ini perlu mengontrol terus perkembangan virus tersebut dan melakukan monitor atau suveilans rutin pada kelompok manusia yang selalu kontak dekat dengan babi.

Bagaimana Respons Kita?

Pemerintah Indonesia melalui Kemenkes RI mengaku sudah mulai waspada terhadap kabar tersebut dengan melakukan surveilans pada peternakan babi yang seharusnya berada pada ranah Kementerian Pertanian (Kementan).

Waspada Flu Babi Infografik

Lantas setelah dikonfirmasi, pihak Kementan mengatakan bahwa virus ini belum dilaporkan di Indonesia (Atau karena belum ada yang meneliti?)

Katanya penyakit babi yang ada di Indonesia saat ini adalah demam babi Afrika atau African swine fever (ASF), tidak sama dengan flu babi.

Bicara tentang penyakit babi, kita yang berada di NTT tentunya sangat dekat dengan topik ini.

Babi merupakan salah satu jenis ternak andalan masyarakat kita, sebab hewan peliharaan ini sangat dibutuhkan untuk urusan adat maupun keperluan makan sehari-hari. Data tahun 2018 menunjukkan kalau NTT berada pada posisi puncak untuk kategori populasi babi terbanyak di Indonesia.

Pada Februari 2020 lalu, penyakit demam babi Afrika (ASF) melanda peternak babi di NTT. Menurut keterangan Kadis Peternakan Prov. NTT, hingga pertengahan Juni 2020, terlapor ada 19.00 kematian babi akibat penyakit tersebut.

Setelah serangan penyakit itu agak mereda, kini muncul lagi isu penyakit flu babi yang baru. Apakah babi kita di NTT juga mengalami masalah yang sama?

Tidak bisa dipastikan. Kita hanya bisa berharap semuanya baik-baik saja. Pada kasus ASF kemarin itu saja, sampel dari babi yang sakit itu harus dikirim ke laboratorium Balai Veteriner Medan.

Kita di NTT yang digadang-gadang sebagai provinsi ternak ini belum memiliki laboratorium sendiri, tentunya menyulitkan dalam proses pemantaun virus baru tersebut.

Selanjutnya, hal yang tidak kalah penting dari isu penyakit babi ini tentunya berkaitan dengan keamanan mengonsumsi daging babi. Apakah masih aman makan daging babi ketika virus G4 mulai mengancam?

Bila merujuk dari petunjuk penanganan pandemi (H1N1) 2009 silam oleh WHO, mereka mangatakan kalau belum ada bukti yang memadai tentang penularan virus melalui daging babi yang dimakan, asalkan dimasak atau diolah secara benar. Pada umumnya virus influenza ini akan mati bila dimasak pada suhu 70 derajat celsius.

Kita biasanya masak daging babi sampai mendidih sangat lama, itu suhunya sudah pasti 100 derajat celsius. Kita tetap waspada pada berbagai kemungkinan, tapi harus tenang saat makan daging babi. Kalau buru-buru, malah bisa keselek. Tetap tenang…


Oleh: Saverinus Suhardin
 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari  Saverinus Suhardin

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai