COVID-19 dan Hal Berpuasa

Spread the love

Sebagai respons terhadap lonjakan kasus COVID-19 di berbagai daerah di NTT, ada pemerintah kabupaten/kota yang mengajurkan warganya untuk berdoa dan berpuasa. Imbauan itu berada pada urutan pertama dari pesan-pesan kesehatan lainnya. Itu menandakannya sangat penting.

Sependek pengetahuan penulis, pihak yang pertama kali mengeluarkan maklumat hal berpuasa, berdoa, mohon ampunan dan kemurahan Tuhan atas segala perbuatan yang jahat dan menyakitkan hati-Nya adalah Pemkab Rote Ndao.

Hingga tulisan ini dibuat, halaman FB Gugus Tugas Covid-19 Rote Ndao yang membagikan foto maklumat Bupati Rote Ndao tersebut mendapat tanggapan berupa emotikon sebanyak 41 warganet (32 suka, 6 super dan 3 peduli); satu orang memberi komentar dengan emotikon mengatupkan dua tangan; dan 11 orang yang ikut menyebarkan unggahan tersebut.

Jumlah tanggapan seperti itu tergolong sepi bila dibandingkan jumlah pengikut halaman yang sudah mencapai 1.260 orang. Namun, salah seorang pendeta yang sangat terkenal—Bapak Pdt. Mell Atok—memberikan pujian yang sangat tinggi terhadap gagasan Pemkab Rote Ndao tersebut lewat sebuah video.

Luar biasa… saya baru pernah melihat seorang kepala daerah Kristen mengeluarkan surat edaran untuk masyarakat berdoa dan berpuasa dalam mengahadapi pandemic,” tulisnya sebagai pengatar unggahan video tersebut di akun FB. “Berharap kepala daerah Kristen yang lain meneladani.

Entah atas pandangan tokoh agama tersebut atau mungkin ada ilham yang lain, berapa minggu kemudian, Pemkot Kupang juga ikut menganjurkan warganya untuk berdoa dan berpuasa. Ada beberapa item ajakan Wali Kota Kupang dalam edaran baru perihal penanganan COVID-19 tersebut, namun yang paling pertama adalah hal berdoa dan berpuasa.

Tidak ada yang aneh dalam kebijakan tersebut, malahan bagus dan patut diapreasi. Apalagi ide tersebut mendapat banyak dukungan dari berbagai tokoh agama di Kota Kupang. Namun, tentunya kita juga agak penasaran, adakah atau bagaimana korelasi antara berdoa dan berpuasa dengan tujuan meredam penyebaran SARS-CoV-2?

Hal Berdoa dan Berpuasa

Barangkali masih melekat dalam ingatan kita semua. Dulu, ketika kasus COVID-19 di Indonesia masih dalam tahap siaga awal, Menteri Kesehatan yang dijabat dr. Terawan Putranto kala itu, memberi anjuran banyak berdoa untuk menghindari wabah.

Bukannya berdoa, warganet malah sibuk mencibir. Menurut mereka, penanganan wabah seperti COVID-19 mestinya berbasis hasil riset. Intinya mereka butuh aksi-aksi konkrit selain sekadar saran untuk berdoa. Mungkin bagi sebagian banyak orang, doa tidak perlu diingatkan lagi. Apakah itu berarti doa tidak penting dalam urusan penanganan COVID-19?

Meski banyak kontroversi, bagaimanapun juga, doa tetaplah menjadi salah satu kebutuhan penting. Setiap menusia memiliki aspek biologis, psikologis, sosial, spiritual dan kultural. Jika salah satu komponen itu tidak terpenuhi, dalam konteks anjuran berdoa berarti urusan spiritual, maka tidak terjadi keseimbangan.

Padahal, orang dikatakan sehat bila semua aspek tersebut dipenuhi secara proporsional. Jika salah satunya pincang, bisa memengaruhi aspek lain. Saat fisik kita sakit, misalnya, psikis juga ikut terganggu. Kita stres, khawatir berlebihan, menjadi pemurung, enggan bersosialisasi, kecewa sama Tuhan yang dianggap selalu memberi cobaan, dan sebagainya.

Harold G. Koenig pernah menelusuri setiap studi yang mengkaji hubungan antara agama, spiritualitas, dan kesehatan. Kesimpulannya: orang yang memiliki keyakinan dan melakukan praktik agama/spiritual yang baik, orang tersebut akan memiliki kesehatan mental yang lebih baik dan lebih cepat beradaptasi dengan masalah kesehatan.

Selama masa pandemi COVID-19, Anda semua tahu, ada begitu banyak laporan mengenai kekhwatiran, stres, depresi dan respons lain yang menunjukkan masalah mental. Bila kita sudah berada pada titik nadir, ke mana lagi kita mencari perolongan dan kekuatan selain dengan berdoa pada Tuhan atau apa/siapa saja yang kita imani?

Hal berpuasa, bila kita telusuri asal-usulnya, masih punya kaitan erat dengan laku spiritual. Kita temukan banyak kisah bagaimana pada nabi zaman dahulu menjalani puasa. Tidak heran bila sampai saat ini banyak ajaran agama yang menganjurkan—bahkan ada yang mewajibkan—untuk berpuasa.

Dalam perkembangannya, puasa tidak hanya menjadi bagian dari ritual spiritual, tetapi sudah diadopsi sebagai salah satu metode pencegahan atau penyembuhan penyakit tertentu dalam ilmu kesehatan modern.

Saat ini kita mudah temukan literatur kesehatan yang membuktikan puasa efektif untuk menurunkan berat badan; menghindari kita dari berbagai penyakit degeneratif; meningkatkan kesehatan mental; dan beragam manfaat lainnya. Tapi, bagaimana kalau puasa dilakukan selama masa pandemi COVID-19, apakah cukup aman untuk dipraktikkan?

Kegundahan semacam itu sangat dimaklumi. Sebab, kita sama-sama tahu juga, sejak awal masa pandemi COVID-19, kita acap mendengar anjuran, “Makan yang cukup, istirahat yang cukup, minum vitamin, berjemur, dan seterusnya.” Semuanya itu disebut-sebut bermanfaat meningkatkan kekebalan tubuh.

Frasa “makan yang cukup” itu dapat diartikan bermacam-macam. Anggap saja hal itu dipahami sebagai makan minimal 3 kali sehari, kemudian ditambah camilan sehat di sela waktu makan utama. Ketika kita asyik menikmati pola makan seperti ini, apalagi ditambah embel-embel untuk meningkatkan imunitas tubuh tadi, tiba-tiba ada imbauan: Berpuasalah! Bagaimana perasaan Anda?

Sangat wajar bila kita bimbang, mana yang sebaiknya diikuti? Jangan sampai berpuasa malah bikin lemas, sistem imun melemah dan makin rentan terinfeksi SARA-CoV-2. Seperti apa fakta penelitian ilmiah hal berpuasa bila dikaitkan dengan COVID-19?

Sejak bulan Ramadan 2020 lalu, isu mengenai aman dan tidaknya berpuasa selama masa pandemi COVID-19 sudah banyak dibicarakan. Umat Muslim memang diwajibkan berpuasa, sehingga banyak lembaga kesehatan, termasuk WHO, mengeluarkan panduan berpuasa yang baik dan aman pada situasi khusus seperti ini.

Secara umum, melakukan puasa selama wabah corona berlangsung masih terbilang aman, malahan lebih baik karena pertahanan tubuh kita makin baik dalam melawan penyakit infeksi.Berdoa pada masa pandemiBerkaca dari hasil studi maupun pengalaman selama puasa Ramadah kali lalu, mestinya anjuran berpuasa di beberapa daerah NTT—seperti yang diceritakan bagian awal tulisan ini—tidak masalah untuk dijalankan. Tinggal bagaimana kita iklas menjalaninya.

Sebagai catatan, manfaat puasa yang disebutkan dalam berbagai penelitian yang disitir dalam tulisan ini, pada umumnya diperoleh dari orang-orang yang sudah rutin menjalankannya. Maksudnya, kalau kita tidak terbiasa atau hanya berpuasa cuma seminggu, misalnya, kemudian selanjutnya menjalani hidup sebagaimana biasanya, bisa jadi berbagai efek baik dari puasa itu tidak kita rasakan.

Bagi yang tidak atau belum terbiasa, ada baiknya membangun niat terlebih dahulu. Kuncinya  kita ikhlas menjalani gaya hidup baru tersebut bila ingin berhasil dan mendapatkan manfaatnya. Bayangkan kalau hanya “terpaksa”, kita menjalaninya seperti orang menahan lapar. Akhirnya pusing, mudah tersinggung dan bermasalah pada lambung.

Tuntunan atau metode berpuasa itu beragam. Ada versi yang disampaikan lewat ajaran agama, misalnya mengikuti pola puasa nabi tertentu. Metode puasa dalam kesehatan juga beragam, disesuaikan dengan kondisi atau kebutuhan orang.

Karena itu, sebelum kita memutuskan untuk ikut berpuasa atau tidak, ada baiknya bekonsultasi terlebih dahulu dengan tenaga kesehatan terdekat. Apalagi bila kita mempunyai riwayat penyakit tertentu. Padukan saja ajaran agama dan saran kesehatan, pilih yang terbaik.

Satu lagi, sebagaimana yang disampaikan penginjil Matius 6:16, “Dan apabila kamu berpuasa janganlah muram mukamu seperti orang munafik…”


Oleh: Saverinus Suhardin
 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari Saverinus Suhardin

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai