Baru-baru ini kita mendapat kabar, virus varian Delta sudah terlacak di NTT. Jenis virus yang berubah itu sebelumnya santer terdengar di India. Dan kita sama-sama memantau via berbagai saluran berita, bagaimana sifatnya yang ganas hingga menciptakan lonjakan kasus orang sakit dan meninggal dunia.
Kalau virus yang sama sudah ada di NTT, dalam benak kita tentunya dihantui dengan bayangan apa yang terjadi di sana. Memang jumlah yang teridentifikasi varian baru itu belum sebarapa, tapi mengingat sarana kesehatan kita terbatas, bisa saja kasusnya sudah banyak namun tidak terdeteksi.
Sementara itu, di lini masa media sosial kita temukan banyak sekali kabar dukacita, berupa unggahan yang mengabarkan keluarga dan sahabatnya yang meninggal dunia. Penyebab orang meninggal sangat banyak, namun selama masa pandemi seperti ini, pikiran kita tentunya akan mengarah pada pertanyaan, “Apakah itu karena COVID-19?”
Virus yang Berubah
Kabar tentang virus corona—SARS-CoV-2—yang sudah mengalami perubahan itu menjadi perbincangan hangat saat ini. Sebenarnya sudah sejak lama diperingatkan, virus pada dasarnya punya kemampuan berubah yang terbilang cepat.
Makanya sejak awal (Januari 2020), WHO bersama pakar kesehatan dari berbagai negara terus memantau perkembangan virus tersebut. Perubahan yang terlihat terjadi pada struktur penyusun virus dan sifat serangannya.
Bentuk susunan virus mungkin tidak banyak berubah, namun sifatnya banyak berubah yang membuatnya makin mudah menyebar dan menimbulkan gejala makin parah. Varian baru itu juga membuat perubahan penanganan, karena metode pemeriksaan labororium, pengobatan, dan vaksin yang sudah ada mungkin kurang efektif mengatasinya.
Jumlah varian baru itu tentunya sangat banyak, tapi yang dilaporkan ke publik cuma yang memiliki sifat serangan yang ganas tadi. Sejauh ini, ada beberapa varian yang sudah teridentifikasi seperti Alfa yang pertama kali terdeteksi di Inggris Raya, varian Beta di Afrika Selatan, varian Gamma di Brazil, dan varian Delta di India.
Beragam varian virus itu membuat kemisteriusan penyakit COVID-19 makin bertambah. Banyak hal yang tidak kita pahami. Tidak heran jika banyak juga metode pencegahan dan penanganannya selama ini sering berubah, karena harus menyesuaikan hasil penelitian. Ketika muncul lagi varian baru dengan sifat yang agak berbeda, semakin banyak pula pertanyaan yang belum bisa mendapatkan jawaban pasti.
Sebagai contoh, virus corona varian Alfa di Inggris disebut memiliki gejala khas seperti mengalami batuk, sakit tenggorokan, kelelahan, atau mialgia (nyeri otot). Tanda dan gejala tersebut sebenarnya belum spesifik, karena penderita COVID-19 sebelum era varian baru ini diketahui, pada umumnya menunjukkan gejala yang sama. Artinya, kalau mau mengenal varian baru ini hanya dari gejala, tentu saja membingungkan.
Pertanyaan lain, apakah obat dan vaksin yang sudah dipakai selama ini tetap efektif untuk varian baru? Ada beberapa ilmuwan yang mengklaim kalau beberapa jenis vaksin diprediksi bisa efektif memberi kekebalan tubuh untuk melawan virus varian baru tersebut. Tapi, masih butuh penelitian lebih lanjut, karena semuanya belum diketahui secara pasti.
Pendek kata, COVID-19 tetap dianggap sebagai penyakit yang misterius. Kita baru mengenal sedikit karakteristiknya. Masih banyak hal yang belum kita ketahui, sehingga makin sulit untuk diatasi. Kalaupun ada beberapa bagian yang sudah kita ketahui, lalu para ahli merumuskan apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang harus dihindari, belum tentu juga kita tahu-mau-dan-mampu melakukannya.
Kita yang Ogah Berubah
Dari sekian banyak situasi tidak pasti yang diuraikan sebelumnya, kabar baiknya, cara menghentikan penyebaran SARS-CoV-2 varian baru yang direkomendasikan ilmuwan tetap sama. Kita tetap diminta untuk rajin mencuci tangan, memakai masker dengan benar, menjaga jarak, dan tidak berpergian kalau memang tidak terlalu penting. Langkah pencegahan itu tampak sederhana dan tentu saja mudah dilakukan.
Masalahnya, saat menghadapi virus yang bisa berubah cepat itu, kita belum tentu punya kemauan dan kemampuan yang sama untuk berubah. Barangkali nasib kita bakalan sama seperti cerita Nokia yang tenggelam dari persaingan merk HP lain karena enggan melakukan perubahan.
Setelah 1 tahun lebih mempelajari kemisteriusan virus penyebab COVID-19 itu, apakah kita sudah berubah dan menjalankan apa yang disebut sebagai “kenormalan baru” itu? Jawaban atas pertanyaan ini tentunya sangat variatif, dan biarkan jadi bahan renungan masing-masing.
Tapi dari berbagai berita yang kita ikuti selama ini, masih banyak ditemukan perilaku yang tidak mau berubah sama sekali. Sebagai contoh, masih ada yang menganggap COVID-19 sengaja diciptakan sebagai senjata pembunuh massal. Padahal hasil investigasi WHO sudah jelas, bahwa SARS-CoV-2 berasal dari hewan alami dan bukan virus yang dimanipulasi atau dibuat.
Varian kasus lainnya, ada yang menganggap COVID-19 itu tidak ada dan lebih meyakini berbagai teori konspirasi yang beredar bebas di media sosial. Buntutnya, orang-orang ini ogah mengubah perilakunya sesuai dengan protokol kesehatan. Bahkan lebih parah, mereka berusaha mengampanyekan agar semakin banyak orang masuk dalam “varian” orang tidak percaya COVID-19.
Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan di medsos, ada orang yang berusaha memprovokasi dengan menyebarkan informasi yang tidak valid lewat video. Di situ ia tampak gagah, gaya bicaranya sangat meyakinkan, bahkan agak marah-marah untuk menunjukkan otoritasnya. Tidak lama kemudian, kita akan menemukan orang yang sama dengan tampilan yang sudah berbeda. Tampak loyo, kemudian meminta maaf dengan suara terbata-bata.
Kita juga mungkin pernah melihat video seorang yang disebut sebagai terapis, ia sedang mengibas-ngibaskan udara pernapasan dari orang yang sedang menderita COVID-19 ke arah mukanya, lalu ia menghirupnya dengan penuh semangat. Entah ia mendapat ilham dari mana melakukan terapi semacam itu? Tidak lama berselang, muncul kabar terapis tersebut meninggal dunia, meski tidak jelas apakah karena COVID-19 atau tidak.
Itu hanya beberapa contoh yang terungkap ke publik. Penulis meyakini, masih banyak kisah lain yang serupa—menyebarkan pesan kalau COVID-19 itu hanya rekayasa orang atau lembaga tertentu—di berbagai media komunikasi.
Akumulasi dari kabar hoaks dan provokasi ini menghasilkan sekumpulan varian orang yang acuh tak acuh pada saran protokol kesehatan, tidak meyakini adanya COVID-19, tidak mau menerima kalau ada anggota keluarga dinyatakan positif COVID-19 sehingga makin banyak yang enggan memanfaatkan fasilitas kesehatan, nekat merebut jenazah dari petugas, dan masih banyak manisfetasi lainnya.
Sudah hampir dua tahun kita berupaya adaptasi dengan virus penyebab COVID-19, tapi tampaknya tidak banyak yang berubah. Berita hoaks lama yang sudah jelas dipatahkan dengan hasil penelitian para ilmuwan, tetap saja hidup di dalam percapakan harian maupun terselip dalam pesan atau unggahan media sosial.
Karakteristik COVID-19 boleh saja berubah seiring dengan perkembangan virus, kita masih betah dengan status qou. Masih kepala batu. Jika tetap membangkang, prediksi akan munculnya serangan gelombang kedua yang lebih parah akan terjadi. Eh, bukan prediksi lagi, kita sudah sebenarnya sudah mulai merasakannya.
Oleh: Saverinus Suhardin
Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari Saverinus Suhardin