Habis Celaka Terbitlah Aviofobia

Spread the love

Kita baru saja menyaksikan kembali peristiwa nahas, sebuah pesawat terbang jatuh. Semuanya hancur, tidak satupun yang selamat. Selepas mengikuti setiap informasinya di media massa maupun media sosial, lalu Anda tidak punya pilihan lain –harus menggunakan moda transportasi udara itu lagi—seperti apa rasanya?

Barangkali kita sudah akrab dengan penjelasan berikut ini. Pesawat terbang merupakan alat transpotasi paling aman bila dibandikan dengan jenis yang lain. Iya, hal itu tidak bisa kita sangkal bila melihat statistiknya secara umum. Persentase kecelakaan pesawat terbilang sangat kecil daripada moda trasnportasi lain, begitu pula jika dibandingkan dari sisi jumlah korban jiwanya.

Okelah, secara kuantitatif, kita bisa menerima fakta tersebut. Tapi, bila kita menyimak kasus per kasus secara kualitatif—khususnya yang terjadi di Indonesia—kecelakaan pesawat terbang tersebut tetap saja mengganggu pikiran dan perasaan.

Kondisi penerbangan dalam negeri kita bisa dikatakan tidak aman-aman saja. Bila kita bandingkan dengan nagara lain, di Asia kita dianggap sebagai kawasan paling berbahaya bagi penerbangan, dan di dunia kita paling dominan dengan kecelakaan pesawat terburuk.

Kondisi tersebut makin diperparah lagi dengan media massa dalam negeri yang memberitakan kejadi bencana secara vulgar, terkadang mengabaikan etika dan terkesan minim rasa empati.

Baca Juga: Merasa Takut Mati itu Pertanda Apa?

Sebuah studi yang dilakukan Muzayin Nazaruddin menyimpulkan, “Sebagian besar media hanya mengeksploitasi bencana sebagai ‘kisah satir yang menghibur’, dengan berbagai praktik dramatisasi, demi kepentingan akumulasi modal semata.”

Belum lagi ada warganet yang, entah dengan tujuan apa, seenaknya saja membagikan gambar tragis dari bencana tersebut—misalnya jenazah atau potongan tubuh korban dan puing-puing lainya—di media sosial. Akumulasi banjirnya informasi buruk tersebut, pada akhirnya membuat kita makin was-was. Habis mendengar berita kecelakaan, terbitlah kecemasan.

Sekadar Simulasi Bagaimana Kecemasan Bekerja

Perasaan cemas seperti itu makin beranak pinak tatkala merencanakan penerbangan. Selama perjalanan ke bandara, kita selalu memandang ke langit, berharap di sana cuacanya selalu cerah. Di ruang tunggu, kita tidak betah duduk, sesekali memandang laporan cuaca pada layar yang tersedia.

Perasaan kita makin tidak menentu ketika diumumkan masuk ke pesawat terbang. Saat pintunya mulai ditutup, kita merasa tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Jarak kursi yang begitu mepet, membuat kita berpikir, tidak mungkin bisa bergerak cepat ke arah pintu atau jendela darurat kalau terjadi apa-apa. Belum lagi kalau penumpangnya banyak, pasti akan berdesakan.

Pesawat mulai berjalan ke landasan pacu, kita mungkin berdoa, tetapi hal itu tidak mampu mengusir keresahan sepenuhnya. Tatkala pramugari mulai menerangkan petunjuk keselamatan, kita malah kesulitan berkonsentrasi. Kadang kita keliru, meniup pelampung terlebih dahulu sebelum keluar jendela darurat atau sebaliknya?

Ah sudahlah, serahkan semuanya pada Tuhan, berangkali kita berpikir seperti itu. Tetapi ketika lepas landas, ada sedikit guncangan yang membuat darah kita mendesir hebat. Kita berusaha mengalihkan perhatian, tapi ini penerbangan bertarif rendah (Low-cost carrier), tidak menyediakan sarana huburan yang memadai.

Kita makin gugup. Saat mendengar suara aneh atau getaran dari badan pesawat, langsung menaruh curiga yang bukan-bukan. Apalagi ketika memandang ke jendela, awan terlihat gelap, kita merasa makin kalut.

Tanpa kita sadari, telapak tangan dan kaki sudah basah. Kita bisa mendengar jelas bagimana detakan jantung sendiri sudah seperti derap sepatu kawanan kuda yang sedang dipacu. Pernapasan naik-turun, tidak teratur. Otot-otot tegang, terkadang gemetar.

Kita terus mengkhawatirkan keselamatan penerbangan itu, padahal sebenarnya kita juga tidak mampu mengendalikan apa-apa. Kalau sudah mengalami seperti itu, kita dipastikan mengalami sindrom takut terbang atau lebih dikenal dalam dunia medis dengan istilah: aviofobia.

Bila kondisi tersebut tetap tidak terkendali, lama-kelamaan bisa mendatangkan gejala lebih lanjut yang berbahaya bagi keselamatan kita sendiri. Apalagi kita mempunyai riwayat penyakit jantung, misalnya, ketika terjadi lonjakan pompa jantung akibat perasaan cemas berlebihan, bisa-bisa terjadi serangan atau henti jantung.

Mengendalikan Aviofobia

Dalam klasifikasi gangguan mental (DSM-IV), aviofobia ini tergolong dalam subtipe fobia situasional yang spesifik. Istilah ini sudah dikenal sejak Perang Dunia II, disebut-sebut ada hubungannya dengan ketakutan atau kecemasan akibat terlalu sering melihat pesawat terbang yang hancur dalam pertempuran waktu itu.

Penelitian khusus topik ini juga sudah berkembang sejak puluhan tahun lalu, khususnya di negara berkembang. Sayangnya, berdasaran penelusuran penulis, kajian masalah yang terbilang spesial ini belum banyak mendapat perhatian di Indonesia. Hal itu terbukti sedikitnya literatur yang tersedia.

Apakah ini berarti kita orang Indonesia terbebas dari rasa cemas saat berterbangan dengan pesawat terbang? Sekali lagi, karena keterbatasan penelitian tadi, saya hanya bisa menduga kita sebagai manusia pada dasarnya sama saja. Kita juga memiliki kecemasan yang sama. Bedanya mungkin kita cenderung tertutup, malu mengungkapkan perasaan pada orang lain.

Prevalensi orang yang mengalami aviofobia ini memang tidak lebih dominan. Sebagai contoh, sebuah penelitian di AS menyebutkan sebanyak 25 persen dari 1 miliar penumpang mengalami masalah tersebut setiap tahun. Kalaupun di Indonesia jumlah orang yang mengalami persoalan ini lebih sedikit, bukan berarti sah-sah saja untuk diabaikan.Kecelakaan PesawatKita bersyukur, perkembangan studi tentang aviofobia ini sudah berkembang dengan baik di dunia. Saat ini sudah terindentifikasi berbagai upaya yang bisa dilakukan untuk mengendalikan gejala fobia terbang tersebut.

Pertama, ada yang menggunakan obat-obatan seperti benzodiazepin atau alkohol untuk mengatasi kecemasan mereka. Tapi perlu diingat, metode ini hanya bekerja sementara waktu saja dan memiliki efek samping yang kurang baik bila diteruskan secara rutin.

Kedua, daripada ketergantungan dengan obat-obatan, kita bisa mengendalikan rasa takut itu langsung dari sumbernya—yakni pikiran—dengan memaksimalkan sebuah psikoterapi yang bernama Cognitive Behavioral Therapy (CBT).

Baca Juga: Jangan Ragukan Vaksin

Metode CBT ini dimaksudkan untuk mengubah perilaku—dalam konteks ini kecemasan—dengan menyingkirkan segala macam pikiran yang tidak diinginkan. Ganti semua gambaran negatif dalam pikiran dengan hal yang lebih baik. Hal ini mungkin bisa dikombinasikan dengan teknik menghipnotis diri sendiri (self-hypnosis) dengan kalimat-kalimat positf untuk meningkatkan keberanian.

Ketiga, dengan adanya kemajuan iptek, sudah ada pula alat bantu virtual yang bisa menolong kondisi aviofobia. Di antaranya ada alat bantu berbasis internet yang bernama NO-FEAR Airlines. Kemudian ada pula perangkat elektronik yang bernama Virtual Reality Exposure Therapy (VRET).

Secara singkat, cara kerjanya dengan membiasakan penderita aviofobia pada keadaan persis seperti sedang dalam pesawat terbang—lengkap dengan berbagai gangguannya yang bikin tegang—padahal itu hanyalah sebuah layar virtual. Bila sering menghadapi kondisi seperti itu, maka ketika berhadapan dengan kondisi riil, setidaknya bisa lebih tenang.

Keempat, ada begitu banyak teknik relaksasi lain yang bisa dipraktikkan, dan mungkin dikombinasikan dengan berbagai cara seperti yang dijelaskan sebelumnya. Mulai dengan penggunaan aromaterapi, teknik napas dalam atau bernapas diafragma, teknik relaksis otot progresif, meditasi, dan masih banyak lagi.

Hal yang tidak kalah penting, kita terus mendesak pemerintah sebagai pembuat regulasi, supaya semua maskapai yang ada tidak main-main dengan prinsip keselamatan penerbangan. Pastikan juga kompetensi awak pesawat dan kualitas layanan selalu prima, karena hal itu secara signifikan berhubungan dengan kecemasan penerbangan dan kepuasan penumpang.


Oleh: Saverinus Suhardin
 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari Saverinus Suhardin

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai