Jangan Ragukan Vaksin!

Spread the love

Dulu, ketika vaksin COVID-19 mulai memasuki uji coba tahap III, berbagai tanggapan penolakan muncul di mana-mana. Kini, ketika beberapa jenis vaksin itu mulai digunakan secara massal—termasuk untuk kita di Indonesia—tanggapan yang kurang sama kembali terjadi.

Masih banyak orang yang ragu dengan keamanan vaksin tersebut. Kenapa orang ragu, dan bagaimana cara mengikis keraguan itu, akan menjadi bahasan kita kali ini.

Sikap skeptis atau ragu pada dasarnya baik. Bayangkan kalau misalnya semua hal kita ikut saja, seperti kerbau dicocok hidung, maka akan gampang diperdayai orang.

Selain itu, rasa kurang percaya itu akan memicu untuk mencari tahu lebih banyak—tentu saja pada sumber yang jelas dan menyakinkan—kemudian baru mengambil keputusan yang terbaik.

Hal yang sama berlaku pada vaksin pencegah COVID-19. Tidak ada salahnya kalau orang menyimpan rasa ragu dengan keampuhannya, barangkali mereka belum cukup mendapat informasi yang meyakinkan.

Alih-alih berusaha menyajikan fakta dan data, kita malah punya kecenderungan untuk menyerang mereka sebagai orang yang anti-vaksin.

Pertentangan yang tidak fokus pada substansi seperti itu, pada umumnya berakhir kontraproduktif. Bukannya mengubah pandangan orang yang masih ragu tadi—supaya bisa memilih opsi yang mendekati kebenaran umum berdasarkan hasil riset—malah menghasilkan permusuhan yang permanen.

Beda kalau kita menerapkan pendekatan yang lebih persuasif, dengan menyajikan data atau bukti riset yang meyakinkan, barangkali responsnya bisa berubah. Kita semua percaya, dasar bagi pembuatan keputusan selalu berawal dari pengetahuan atau pemahaman yang baik atas sebuah isu.

Kenapa Ragu?

Ada banyak alasan yang membuat orang masih ragu-ragu. Salah satunya karena proses pembuatan berbagai vaksin untuk kekebalan SARS-CoV-2 itu, berlangsung dalam waktu yang relatif singkat.

Pada umumnya, pengembangan vaksin lain selama ini bisa memakan waktu sekitar 15 tahun atau lebih. Khusus untuk SARS-CoV-2, prosesnya berlangsung cepat antara 10 bulan hingga 1,5 tahun. Kecepatan proses tersebut barangkali memunculkan anggapan, jangan sampai hasilnya tidak akurat, sehingga muncul perasaan kurang yakin.

Alasan penolakan lain, bisa terjadi lantara mendapat informasi yang keliru. Misalnya, ketika proses uji tahap III vaksin Pfizer, kebetulan terdapat 6 responden yang meninggal dunia. Bila informasi itu tersebar tanpa penjelasan yang memadai, orang bebas mempersepsi, jangan sampai itu terjadi karena vaksinnya tidak aman.

Belum lagi kalau alasannya sudah menyakut keyakinan pribadi. Entah itu berkaitan dengan ajaran agama tertentu atau karena urusan politis. Misalnya, ketika ada vaksin yang dikembangkan di China, orang yang sebelumnya tidak suka dengan negara tersebut, langsung menutup diri. Atau mulai menghubungkannya dengan kekeliruan yang pernah terjadi di masa lalu.

Mengikis Keraguan dengan Transparansi Informasi

Barangkali masih banyak bentuk keraguan lain, tapi beberapa contoh di atas, sudah cukup mewakili beban yang ditanggung pemerintah dalam upaya pengendalian COVID-19.

Kita semua tahu, saat ini angka kejadiannya terus meningkat. Rumah sakit dan tenaga kesehatan mulai kewalahan menangani lonjakan pasien.

Selain menaati protokol kesehatan yang sudah kita jalani selama ini, pemberian vaksin merupakan salah satu harapan untuk menekan penyebaran virus. Tapi, bila solusi ini nantinya kurang disambut baik, bukankah ini makin memperparah situasi?

Berdasarkan kajian awal, sebagian besar orang pada umumnya mau untuk divaksin. Misalnya, sebuah survei yang dilakukan di AS, hanya 3 dari 10 orang dewasa yang tidak yakin; dan 1 dari 10 tidak berniat untuk divaksinasi.

Penelitian yang dilakukan di Indonesia pun, kurang lebih menunjukkan tren yang sama. Intinya, vaksin yang diberikan itu terbukti efektif. Semakin efektif suatu vaksin, misalnya 95% ke atas, maka semakin banyak orang yang ingin segera divaksin. Kesediaan untuk membayar vaksin pun cukup tinggi –tapi sudah digratiskan semuanya oleh pemerintah.

Bila berkaca dari beberapa temuan tersebut, kita tentunya optimis, penerimaan vaksinasi oleh masyarakat tetap terbilang tinggi. Kalau masih ada suara-suara protes, kita anggap saja sebagai kewajaran.

Barangkali dengan menerapkan manajemen informasi yang transparan, kita tunjukkan bukti hasil penelitian, timbul rasa percaya yang lebih baik.

Beberapa alasan keraguan yang sempat disajikan di atas, sebenarnya dapat dipatahkan bila kita menelusuri lebih jauh informasinya. Mengenai waktu pembuatan vaksin yang relatif singkat, misalnya, pada dasarnya hal itu tidak mengganggu atau mengubah tahapan yang mesti dilewati.

Berdasarkan ulasan  Florian Krammer yang terbit di Nature, pengembangan vaksin untuk COVID-19 ini, bisa dipercepat karena meneruskan apa yang sudah ditemukan lebih dulu, yaitu vaksin untuk SARS-CoV dan MERS-CoV.

Hal itu memungkinkan fase penemuan awal dihilangkan. Proses langsung masuk tahap uji coba fase I / II. Uji coba tahap III dimulai setelah analisis sementara hasil tahap I / II, dengan beberapa tahap uji klinis berjalan secara bersamaan.

Selain tahapannya tetap sama, saat ini terdapat lebih dari 160 kandidat vaksin SARS-CoV-2 yang sedang dikembangkan –berdasarkan rekapan WHO per tanggal 5 Januari 2021. Meski pengembangnya berada di beberapa negara berbeda, tapi prinsip dan prosedurnya tetap sama; tetap dalam pengawasan WHO.Itulah kenapa lembaga kesehatan dunia ini memiliki sistem yang dinamakan Access to COVID-19 Tools (ACT) Accelerator –yakni kolaborasi global yang inovatif untuk mempercepat pengembangan, produksi, dan akses yang adil ke tes, perawatan, dan vaksin COVID-19. Hal ini tentunya membuat kita lebih yakin, karena ada sistem kontrol yang berimbang.

Kemudian, untuk kasus meninggal dunia pada uji klinis vaksin Pfizer, sudah dijelaskan pula kalau itu tidak terjadi karena akibat langsung dari vaksin.

Menurut  pengembang, dari 6 yang dikabarkan meninggal, hanya 2 orang yang diberi vaksin, sementara 4 orang lainnya mendapatkan suntikan plasebo.

Jadi, hal itu tidak bisa disimpulkan bahwa vaksin itu berbahaya seluruhnya. Uji klinisnya dilakukan pada 44 ribu orang. Kalau dibuat persentase, kasus yang tidak diinginkan itu tentunya sangat kecil.

Dan sejauh ini, vaksin Pfizer inilah yang memiliki tingkat efektivitas paling tinggi, angkanya mencapai 95%. Informasi terkini menyebutkan, vaksin jenis ini juga cukup ampuh untuk virus yang mengalami mutasi seperti yang dilaporkan di Inggris dan Afrika Selatan.

Tapi kita di Indonesia, pada tahap awal kemarin banyak memesan vaksin yang diproduksi Sinovac, apakah efektif dan aman? Berdasarkan data WHO, vaksin yang dikembangkan Sinovac itu memakai bahan dasar virus yang sudah dilemahkan.

Menurut penjelasan Krammer, vaksin yang dikembangkan dari virus yang dilemahkan jauh lebih aman, karena sudah tidak bisa bereplikasi (memperbanyak diri), bahkan pada orang yang mengalami kelemahan sistem kekebalan tubuh (immunocompromised) sekalipun.

Masih dari laporan yang sama, ketika uji klinis I dan II sebelumnya, vaksin yang dikembangankan Sinovac ini juga dilaporkan lebih aman. Tidak ada laporan mengenai reaksi yang merugikan. Selain aman, lebih dari 90% individu menunjukkan serokonversi –maksudnya terdapat perkembangan antibodi; agen melawan virus kemudian hari.

Uji klinis tahap III untuk vaksin dari Sinovac sudah dilakukan. Di Brazil, efektivitasnya mencapai 78%, sedangkan di Turki 91%. Kita juga sudah tahu, vaksin jenis ini juga yang menjalani uji klinis tahap III di Bandung, Indonesia. Ridwan Kamil, Gubernur Jabar, mengaku ikut menjadi relawan untuk uji tersebut.

Khusus di Indonesia, efektivitas vaksin produksi Sinovac itu mencapai 65,3% –setidaknya melewati ambang batas yang ditetapkan WHO, yaitu 50%. Lebih lanjut, vaksin ini sudah mendapatkan setifikasi halal dari MUI.

Kemudian disusul terbitnya izin penggunaan darurat oleh BPOM. Presiden Jokowi juga siap memberi teladan, menjadi orang pertama yang disuntik vaksin tersebut di Indonesia.

Berdasarkan data dan fakta tersebut, bila ada yang bertanya, “Siapakah mendapat suntikan vaksin COVID-19 dari Siovac?” Saya tentukan akan menjawab: Siap!


Oleh: Saverinus Suhardin
 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari Saverinus Suhardin


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai