Janji Kampanye dan Nasib Kesehatan Kita

Spread the love

Berbagai bentuk protes terhadap aktivitas tambang maupun bentuk eksploitasi alam yang lain menjadi salah satu tren pemberitaan saat ini. Kenapa masyarakat—atau sebut saja kelompok tertentu—begitu getol menolak upaya yang, bila ditinjau dari sisi ekonomi, bisa mendatang keuntungan yang besar?

Padahal kita tahu, pemerintah kita dari tingkat pusat hingga daerah membutuhkan pemasukan dana yang setidaknya cukup untuk membiayai program kerja dan hal lain yang kalau diringkas menjadi satu kata: pembangunan.

Biaya pembangunan itu sebenarnya bisa didapatkan dari usaha lain. Misalnya dengan membuka peluang investasi, meningkatkan kinerja sektor perbankan, dan penerimaan pajak. Sayangnya semua sumber pandapatan itu mengalami kesenjangan, sehingga mau tidak mau memaksimalkan Sumber Daya Alam (SDA), seperti kebijakan Pak Jokowi mengubah hutan jadi lahan produksi, dan sebagainya.

Sebagai bagian dari Indonesia, kita di NTT juga mengalami masalah yang sama. Padahal kita sama-sama tahu, ketika masa kampanye dulu, pasangan Viktor B. Laiskodat dan Josef Nai Soi berjanji melakukan moratorium tambang. Mungkin itu salah satu pertimbangan pemilih saat itu sehingga mereka menang. Ketika pidato kemenangan juga masih menegaskan hal yang sama, Tambang bukan pilihan baik untuk tingkatkan ekonomi rakyat NTT.

Lalu bagaimana setelah itu? Hehehe…, kita makin yakin semua janji politisi tidak bisa dipegang. Masyarakat terpaksa meninggalkan sejenak kegiatan produktifnya untuk sekadar mengingatkan kembali ikrar politik tadi. Sebagai contoh, orang Manggarai akhirnya direpotkan dengan urusan menentang rencana tambang dan pabrik semen di Matim, dan proyek panas bumi di Wae Sano.

Narasi utama yang digaungkan kelompok penentang ini tentunya saja untuk menjaga kelestarian alam. Kita sudah terlalu lama dan terlalu banyak menguras SDA, tapi impian rakyat sejahtera sepertinya tidak terkejar lagi. Padahal pasal 33 (3) UUD 45 yang menjadi dasar pengelolaan SDA itu, isinya kita sudah luar kepala tapi hasilnya luar biadab.

Perjuangan pecinta lingkungan ini tidak mudah. Mereka juga mendapat penentangan balik dengan berbagai cara. Pejuang sejati biasanya tidak pantang menyerah. Kenyataannya, ada pula yang mau diajak kompromi dengan bayaran atau hadiah-hadiah lain. Sedang kelompok yang kukuh biasanya diberi tekanan yang bermuara melunaknya misi perlawanan.

Terlepas dari kompleksnya masalah tersebut, kita perlu merenungi bersama, apakah memang penting kita menentang berbagai bentuk eskploitasi SDA itu demi kelestarian lingkungan? Bukankah setiap dampaknya akan diberikan kompensasi atau solusi dalam bentuk yang lain? Apakah risiko yang kita terima setimpal dengan hasil yang akan diperoleh?

Masih banyak pertanyaan lainnya. Karena ini rubrik Pojok Sehat, maka ulasan kali ini kita fokuskan mengenai dampak kerusakan alam bagi sektor kesehatan. Apakah kita bisa hidup sehat dan berkualitas dengan kondisi lingkungan yang sudah rusak?

Belajar dari Pandemi COVID-19

Pencemaran atau kerusakan lingkungan memang tidak semata disebabkan eksploitasi SDA saja. Apa yang sudah diulas pada bagian awal hanyalah satu hal. Sementara hal lainnya bisa juga terjadi karena penataan kota, sistem transportasi, dan pengendalian urbanisasi yang kurang optimal. Kondisi seperti itu memberi efek pada lingkungan berupa polusi udara, kebisingan, suhu yang panas, kurangnya ruang terbuka hijau dan sebagainya.

Efek lanjutannya bisa ke mana-mana, termasuk mengganggu kesehatan dan keselamatan hidup kita. Sebuah studi yang dilakukan tahun 2012 menggunakan metrik Disability-Adjusted Life Years (DALYs) memperkirakan bahwa 23% kematian global disebabkan oleh lingkungan

Bentuk atau proses hubungan antara lingkungan yang rusak hingga menimbulkan masalah kesehatan memang sangat beragam. Kejadiannya pun mungkin membutuhkan waktu yang lama. Misalnya hari ini kita menggunduli atau membakar hutan, bukan berarti hari itu juga atau esoknya langsung sakit yang berakibat fatal.

Barangkali efeknya yang bekerja lamban itu menjadi salah satu alasan orang tidak segera jera melakukan kegiatan perusakan ekosistem alam. Dampaknya akan terasa pelan-pelan, tahun demi tahun. Hal yang paling menyebalkan, penerima impaknya tidak terbatas bagi pelaku saja, tapi dinikmati oleh semua yang lain.

Alur kejadiannya bisa diringkas seperti berikut ini. Kondisi alam yang rusak menyebabkan perubahan iklim. Cuaca berubah menjadi ektrem, bisa panas sekali atau dingin yang berlebihan. Keadaan itu makin diperparah dengan kebakaran hutan, banjir, dan kekeringan.

Baca Juga: Masker Dagu Para Calon Kepala Daerah

Selanjutnya, beberapa studi telah mengonfirmasi bahwa suhu panas atau dingin yang ekstem itu bisa memicu berbagai penyakit sistem pernapasan, jantung dan pembuluh darah. Banjir bisa memicu penyakit menular, termasuk mengganggu kesehatan mental. Kebakaran hutan dan kekeringan yang panjang juga menimbulkan masalah yang sama seperti kondisi suhu panas yang berlebihan.

Itulah gambaran umumnya. Kita ambil satu lagi contoh kasus yang lebih spesifik, yakni pandemi COVID-19 sebagai salah satu dampak dari hancurnya ekosistem alam. Wabah yang telah memorak-porandakan kehidupan kita selama lebih dari setahun ini merupakan golongan zoonosis—penyakit pada binatang yang dapat ditularkan pada manusia.

Pandemi zoonosis ini terkait dengan berbagai aktivitas perusakan ekositem alam, salah satunya perburuan dan perdagangan daging. Kita tahu, salah satu laporan investigasi SARS-CoV-2 waktu itu menunjukkan kalau virus corona baru tersebut berasal dari kelelawar yang diperjualbelikan di Wuhan.

Dari hewan, virus itu berpindah ke manusia. Selanjutnya virus itu berkembang pada manusia sebagai inang barunya dan menyebar dari orang ke orang dengan sangat cepat. Tidak sampai sebulan, sebarannya sudah menjangkau di seluruh dunia.

Kiranya pandemi COVID-19 ini memberi pelajaran bagi kita. Bagaimana tidak, kita sudah rasakan sendiri bagaimana dampaknya. Selain keluarga dan kerabat kita banyak yang sakit dan meninggal dunia, ekomoni kita pun ikutan hancur. Hampir semua aspek kehidupan kita terkena imbasnya.

Bisakah Direstorasi Kembali?

Barangkali kita sudah banyak salah langkah dalam urusan dengan alam ini. Tapi, peluang untuk mengubah keadaan selalu terbuka. Begitu juga dengan pilihan untuk terus menghancurkannya. Kita pilih yang mana? Rumusnya jelas, kita menghancurkan alam sama dengan mengahibisi diri sendiri.

Tanggal 5 Juni kemarin, kita merayakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia (HLHS). Adapun pesan yang menjadi tema pada peringatan tersebut berkaitan dengan restorasi lingkungan. Kita sama-sama diminta untuk hentikan perusakan alam dan mengembalikan kondisinya yang telah rusak seperti sediakala.

Harapan itu tentu saja tidak mudah diwujudkan. Sebagai individu yang tidak memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan, kita ikuti saja ajakan sederhana seperti menanam pohon, mengurangi penggunaan plastik, membuang dan mengolah sampah dengan benar, ikut menghemat energi listrik, mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, dan dukungan yang ramah lingkungan lainnya.

Selebihnya kita berharap penuh pada pemangku kebijakan, pemimpin-pemimpin kita yang berada di berbagai tingkatan. Kalau mereka punya niat baik yang sama, maka harapan untuk mengurangi eksploitasi alam sebagai sumber ekonomi bisa ditekan secara maksimal.

Pertanyaan, apakah mereka tahu, mampu, dan mau melakukannya? Sebagian besar tokoh yang sedang memimpin saat ini agak sulit untuk diharapkan lagi. Mereka sudah banyak yang ingkar janji. Semoga kita masih punya stok calon pemimpin masa depan yang lebih baik.

Kita tunggu saja, seperti apa lagi janji-jani mereka pada masa kampanye mendatang. Pastikan pilih yang benar-benar punya komitmen dengan pelestarian alam, karena ini menyakut kesehatan dan keselamatan kita bersama.


Oleh: Saverinus Suhardin
 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari Saverinus Suhardin


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai