Masalah Masker yang Tidak Pernah Usai

Spread the love

Andai kata masker itu punya kemampuan bicara seperti kita, barangkali dia sudah gusar lantaran namanya terus dibicarakan tanpa ada kejelasan.

Sejak awal kemunculan pandemi Covid-19 ini, kita sudah akrab dengan pemberitaan maupun ulasan tentang salah satu upaya untuk mencegah penularan SARS-CoV-2. Sejak saat itu, kita sama-sama tahu kalau kebijakan pemerintah terkait penggunaan masker ini selalu berubah-ubah.

Pada awal Maret 2020 lalu, ketika virus corona baru ini mulai teridentifikasi di Indonesia, pemerintah (Kemenkes RI) menyarankan agar yang memakai masker itu cukup buat orang sakit saja. Sementara orang sehat tidak perlu, hanya dianjurkan untuk terus meningkatkan kekebalan tubuh.

Langkah ini diduga sebagai jalan keluar dari masalah kelangkaan masker di pasaran. Saat itu permintaan masyarakat akan masker sangat tinggi, sampai-sampai ada oknum yang berusaha menimbun sebanyak mungkin, kemudian menjualnya dengan harga tinggi. Alih-alih masyarakat umum, tenaga kesehatan yang mestinya mendapat prioritas pun kadang sulit mendapatkannya.

Kurang lebih sebulan kemudian, tepatnya mulai 5 April 2020 ada peraturan baru yang mewajibkan semua orang wajib menggunakan masker ketika beraktivitas ke luar rumah.

Wejangan Kemenkes RI yang diwakilkan Pak Achmad Yurianto selaku jubir penanganan Covid-19 kala itu, setidaknya menyakut dua hal. Pertama, tenaga kesehatan wajib mengguanakan masker bedah atau masker N95. Kedua, masyarakat umum dianjurkan memakai masker kain saja.

Sekali lagi, saat itu hanya disebutkan masker kain. Tidak ada penjelasan lebih detail mengenai jenis atau spesifikasi kain yang layak dijadikan masker. Maka yang terjadi setelah itu, banyak orang/lembaga/perusahaan memproduksi masker kain. Penjualannya dilakukan di berbagai lapak –sampai di pinggir jalan.

Setelah kurang lebih 5 bulan bulan berlalu, baru-baru ini sudah ada imbauan baru lagi berkaitan dengan penggunaan masker kain. Bermula dari peraturan PT Kereta Commuter Indonesia (PT KCI) yang mewajibkan setiap penumpang memakai masker–tapi bukan masker scuba atau buff—selama naik kereta rel listrik (KRL).

Ketika hal itu dikonfirmasi kepada otoritas kesehatan, jawabannya cukup mencengangkan. Pak Yuri yang dulunya hanya bilang masker kain, kini memberi pernyataan yang membingungkan.

“Masker ya masker, titik. Kenapa melari-larikan ke scuba segala macam,” katanya yang dikutip sebuah media daring, “Kan disuruhnya pakai apa? Masker. Scuba itu masker bukan? Lha bukan. Emang scuba itu masker?” 

Respons netizen yang tertulis di kolom komenter berita tersebut menunjukkan banyak yang kecewa. Rata-rata menyayangkan kebijakan yang berubah-ubah, masalah masker ini sepertinya tidak pernah klir. Bagaimana dengan Anda?

Sangat wajar bila Anda bingung, sebab bila kita menelisik makna kata “masker” dalam KBBI, artinya adalah: alat untuk menutup muka; topeng; kain penutup mulut dan hidung (seperti yang dipakai oleh dokter dan perawat di rumah sakit).

Coba kita –sekali lagi—membandingkan dengan penjelasan Pak Yuri di atas. Bagaimana bisa masker scuba dan buff tidak disebut sebagai masker? Padahal, bila kita merujuk dari berbagai penjelasan mengenai dua jenis masker tersebut, hal yang membedakannya terletak pada jenis kain yang digunakan. Intinya, kedua masker itu menggunakan bahan yang berpori-pori besar, sehingga droplet atau percikan air liur/ingus mudah lolos ke lingkungan sekitar.

Kita semua paham kalau wabah SARS-CoV-2 ini merupakan masalah baru yang banyak menimbulkan ketidakpastian dalam hidup. Rekomendasi yang dikeluarkan otoritas kesehatan sangat wajar berubah-ubah, karena disesuaikan dengan penelitian atau hasil evaluasi terbaru. Tapi, barangkali perhatikan cara penyampaiannya, sehingga lebih mudah diterima masyarakat.

Sebuah ulasan yang dilakukan Dongxiao Ji, dkk., membedakan masker ke dalam empat kategori, yaitu:

(1) masker kain buatan sendiri,

(2) masker bedah,

(3) masker pelindung medis (N95 dan FFP), dan

(4) masker pelindung kerja (seperti respirator partikulat dan gas).

Setiap jenisnya memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Masker yang baik setidaknya mampu menyaring partikulat (partikel yang sangat kecil dan halus) dengan efektivitas mencapai 80% atau lebih.

Baca Juga: Masker Dagu Para Calon Kepala Daerah

Khusus untuk masker kain baik yang dibeli atau dibuat sendiri, bila mengikuti standar keefektifan penyaringan partikulat seperti di atas (80%), maka bahan direkomendasikan berdasarkan rekapan hasil penelitian mereka adalah: selimut katun, kapas (600TPI) 2 lapis, sifon 2 lapis, sutra alami 4 lapis, dan semua jenis katun. Sedangkan bahan yang dinilai kurang efektif di antaranya kapas quilter (80TPI) 1 atau 2 lapis, flanel, kapas (600TPI) 1 lapis, sifon 1 lapis, dan sutra alami 1 atau 2 lapis.

Berbasis penelitian seperti itu, misalnya, pemerintah bisa menyampaikan dengan baik bahwa, perubahan anjuran penggunaan masker terbaru itu menyesuaikan dengan hasil eveluasi selama ini. Alih-alih memberi penjelasan yang asertif, malah buat bingung tentang definisi masker.

Simpang Siur Seputar Masker

Bila menurut sejarahnya, penggunaan masker untuk menghindari wabah mulai dikenal sejak abad pertengahan. Saat itu bentuk maskernya seperti paruh burung, konon diisi dengan tumbuhan seperti cengkeh atau kayu manis serta cairan tertentu.

Selanjutnya pada periode 1800-1900, sudah dikenal tentang infeksi droplet atau tetesan cairan dari mulut dan hidung, dan setiap tindakan bedah mulai menggunakan masker untuk mengurangi infeksi pada luka.

Penggunaan masker kala itu tidak diterima begitu saja, ada pula yang tidak suka. Seperti yang ditulis ahli bedah Fritz König pada tahun 1914, dia menganggap pakai masker merupakan hal yang menjengkelkan, karena itu sebaiknya tidak perlu dilakukan. Perdebatan yang dilandasi dengan hasil penelitian terus terjadi, pro dan kontra tidak terhindari –berlangsung hingga saat ini.

Selama pagebluk Covid-19, secara umum para ilmuwan memang tetap menganjurkan penggunaan masker sebagai salah satu upaya pencegahan, tapi implementasinya di setiap negara sangat bervariasi. Negara yang paling marak menggunakan masker ketika pandemi ini muncul adalah China dan negara Asia lain seperti Korea Selatan dan Jepang.

Kenapa mereka begitu patuh? Khusus di China, ada narasi sejarah yang menarik untuk dijadikan pelajaran. Ketika terjadi wabah Manchuria pada tahun 1910–1911 dan 1920–1921, Dr. Wu Lien-teh ditunjuk sebagai kepala organisasi anti-wabah Tiongkok. Setidaknya ada dua hal yang menjadi poin penting kinerjanya saat itu, yaitu melakukan kremasi (pembakaran mayat) bagi yang meninggal dan anjuran penggunaan masker untuk mengurangi penularan.

Khusus penggunaan masker ini, katanya banyak mendapat penentangan atau cibiran dari rekan ilmuwan Barat. Meski begitu, ia tetap teguh pada pendiriannya. Ia terus mengevaluasi dan menuliskan hasil metodenya tersebut dalam catatan autobiografi dan laporan ilmiah.

Kelak, apa yang diperjuangkan Dr. Wu itu berbuah manis karena berhasil menekan jumlah korban akibat wabah tersebut. Narasi perjuangannya menjadi motivasi bagi penduduk China hingga saat ini, sehingga ketika ada wabah, penggunaan masker merupakan wujud dari nasionalisme.

Rentetan sejarah atau kisah  tersebut di atas, semakin membuktikan kalau kesimpangsiuran informasi tentang manfaat penggunaan masker sudah berlangsung sejak dulu, kini, dan mungkin terjadi terus.

Penggunaan MaskerJangankan masker kain, bahkan masker bedah maupun medis (N95) sekalipun tetap ada kelemahannya, tidak 100% membuat kita terhindar dari infeksi Corona. Sebuah uji coba yang dilakukan Talib Dbouk dan Dimitris Drikakis, misalnya, menyimpulkan semua jenis masker tidak ada yang mampu memberi perlindungan yang lengkap.

Apa implikasinya bagi kita? Masalah seputar masker barangkali tidak akan kunjung klir. Meski begitu, kita sebaiknya tetap mengikuti anjuran pakai masker dengan benar.

Berbarengan dengan itu, tetap perhatikan anjuran lain seperti menjaga jarak, mencuci tangan, mejaga pola hidup yang memungkinkan imunitas meningkat, dan saran-saran baik lainnya.


Oleh: Saverinus Suhardin
 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari Saverinus Suhardin

 

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai