Mengenal Infodemiologi

Spread the love

Kebohongan atau yang kemudian kita lebih mengenalnya dengan sebutan hoaks, barangkali bukan hal yang baru.

Mungkin usianya sama dengan keberadaan manusia di muka bumi, dan tidak akan hilang selama kita masih hidup. Ia sudah menjadi sifat yang melekat pada manusia. Coba renungi, kita pasti pernah mengibul atau dikibuli kan?

Maka kalau tiap hari kita akhirnya menyadari ada kabar yang kita dengar sebelumnya ternyata dusta, kondisinya tidak mengejutkan lagi. Sepertinya itulah suasana normal. Saat ini, justru agak aneh kalau terlalu jujur.

Andai kata kabar hoaks itu bersifat netral—tidak memberi efek cemas atau mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang berbahaya bagi dirinya sendiri, orang lain dan lingkungannya—berangkali topik ini tidak akan menjadi bahan diskusi.

Kenyataannya, tidak sedikit orang yang terjebak mengambil keputusan yang keliru gara-gara mendapatkan informasi yang salah. Alih-alih mendapatkan manfaat, mereka justru memanen mudarat.

Selama pandemi COVID-19, misalnya, sudah begitu banyak studi yang mengonfirmasi kalau beragam informasi miring telah membuat orang makin pening.

Ada pula yang enggan menerapakan protokol kesehatan, lantaran percaya kalau SARS-CoV-2 itu sebagai virus yang dibuat-buat untuk kepentingan tertentu. Beberapa tulisan di kolom Pojok Sehat arnolduswea.com ini pernah mengulas beragam masalah tersebut.

Berapa minggu lalu, kita menurunkan ulasan tentang kesalahan informasi yang berkaitan dengan beberapa tumbuhan herbal yang diklaim sebagai obat segala macam penyakit.

Tidak berselang lama, baru-baru ini kita dihebohkan lagi dengan isu seputar pandemi COVID-19 oleh sekelompok orang yang menamai diri mereka sebagai Aliansi Dokter Dunia (World Doctors Alliance).

Kelompok tersebut memiliki pandangan sangat berbeda dengan apa yang disampaikan lembaga kesehatan dunia WHO. Mereka menganggap COVID-19 tidak lebih berbahaya dari flu biasa.

Bagi mereka, status pandemi hanyalah rekayasa semata, sehingga tidak perlu mengikuti protokol kesehatan yang disarankan selama ini.

Pendek kata, Aliansi Dokter Dunia merupakan antitesis Organisasi Kesehatan Dunia. Lantas, mana yang kita percaya?

Sudah tentu WHO, sebab lembaga ini dikelola oleh sejumlah ilmuwan dari berbagai negara. Sistem kerjanya sangat transparan, selalu mengedepankan hasil riset dalam pengambilan keputusan. Keberadaannya pun sudah diakui semua negara di dunia yang tergabung dalam PBB.

Sedangkan Aliansi Dokter Dunia, eksistensinya baru diketahui sejak 10 Oktober 2020, itupun karena memberi keterangan yang kontroversial. Informasi di website mereka, hanya menampilkan  6 orang utama di balik gerakan tersebut. Keenamnya ada yang berasal dari UK (Inggris), Jerman dan Amerika.

Apakah ini cukup mereprentasikan “dunia”?

Berbagai institusi maupun media massa kredibel sudah menetapkan informasi yang mereka viralkan itu tidak benar. Satgas COVID-19 Indonesia juga sudah mengonfirmasi kalau kabar heboh tersebut mengandung beberapa misinformasi atau informasi yang salah.

Jadi, satu lagi kita temukan informasi yang tampaknya meyakinkan, tapi ternyata hanya bualan.

Bekali Diri, Hoaks Itu Abadi

Bila kita mengamati polanya, kurang lebih seperti yang digambarkan di atas, maka bisa dipastikan kalau hoaks itu abadi. Memang selama ini sudah begitu banyak suara yang menyerukan untuk hentikan berbagai omong kosong tersebut.

Kalau pun tetap ada yang menciptakan hoaks baru, kita diminta untuk tidak segera ikut menyebarkannya tanpa cek kebenarannya terlebih dahulu.

Sayangnya, imbauan tersebut berlalu begitu saja. Alih-alih berkurang, kabar hoaks malah bertumbuh subur dari hari ke hari. Mungkin ada benarnya anggapan bahwa kabar bohong akan ada sepanjang kehidupan manusia.

Selama pandemi COVID-19 saja, kita temukan banyak sekali informasi maupun opini yang disampaikan oleh pemerintah, lembaga swasta, organisasi, ataupun secara individu yang dikemas dengan sebutan blogger, vlogger, podcaster, dan influencer media sosial lainnya. Belum lagi desas-desus dari tetangga, sabahat, dan keluarga lewat beragam aplikasi percakapan yang biasa kita pakai.

WHO memberikan istilah khusus untuk menggambarkan banjirrnya informasi selama pandemi COVID-19 dengan sebutan infodemik.

Kemudian, lembaga itu menelurkan sebuah istilah baru sebagai solusinya, yaitu infodemiologi –ilmu yang mempelajari informasi  yang berlebihan tersebut dan cara mengelolanya.

Infodemiologi

Jika produksi hoaks sulit untuk dikendalikan, kita masih punya harapan di bagian pengendaliannya. Hoaks mungkin saja akan abadi, maka kita perlu membekali diri dengan seperangkat metode untuk mampu memindainya.

Infodemiologi yang diperkenalkan WHO, meski belum menjadi cabang keilmuan yang resmi, sudah cukup baik untuk dijadikan bekal buat kita semua dalam menghadapi era banjir informasi seperti saat ini.

Sebagai sebuah ilmu, infodemiologi tentunya memiliki metode baku yang dapat ditiru oleh orang lain di manapun berada, untuk mendapatkan hasil yang kurang lebih sama.Mengenal InfodemiologiWHO merekomendasi tujuh (7) langkah sebagai metode yang bisa dipakai untuk mengendalikan tsunami informasi, sehingga pada gilirannya mampu membuat keputusan –siapa dan apa yang harus dipercaya.

Pertama, selidiki sumber informasi. Hal yang perlu dikaji: siapa yang membuat?; siapa yang membagikan?; dari mana informasi itu didapatkan? Kemudian terlusuri lebih lanjut, apakah mereka adalah orang atau lembaga yang layak dipercaya?

Gambaran lain yang bisa kita curigai sebagai hoaks, bisa kita amati dari desain visual yang tidak profesional, ejaan dan tata bahasa yang buruk, atau penggunaan huruf besar atau tanda seru yang berlebihan.

Kedua, jangan langsung terkecoh dengan judul berita. Setiap media massa, apalagi media daring, memang sengaja membuat judul tulisan yang sensasional untuk mengumpan banyak klik dari pembaca.

Baca Juga: Pahamilah Sebelum Berbagi, Itu Obat Segala Macam Penyakit

Sebaiknya baca secara lengkap setiap berita/tulisan, kemudian pastikan dulu informasi tersebut benar sebelum muncul niat untuk membagikannya ke media sosial.

Ketiga, cek latar belakang penulisnya. Jika terdapat nama penulis pada unggahan yang ingin kita pastikan kebenarannya, cari tahu lebih lanjut profil lengkapnya secara daring.

Apakah dia memang punya kapasitas untuk menuliskan atau mengeluarkan pernyataan pada tema tersebut?

Keempat, periksa tanggal unggahan. Kita perlu memastikan apakah informasi tersebut memang benar-benar kejadian terbaru?

Apakah punya hubungan dengan kondisi terkini? Perhatikan pula kesesuaian antara judul, gambar atau statistik yang menyertainya.

Kelima, periksa bukti pendukung. Setiap tulisan, biasanya disertai kutipan dari para ahli atau terdapat tautan yang menghubungkan pembaca pada sumber aslinya.

Kita perlu cek langsung pada sumber utama tersebut bila kita kurang yakin dengan penjabaran dalam berita yang disebar.

Keenam, periksa bias yang miliki. Kita sendiri sebagai pembaca atau penyimak informasi, punya kecenderungan terjadinya bias.

Kita perlu selidiki diri sendiri dengan bertanya: Apa interpretasi saya tentang hal tersebut?; Mengapa saya bereaksi seperti itu?; Apakah itu menantang asumsi saya atau memberi tahu saya apa yang ingin saya dengar? Apa yang dipelajari tentang diri saya dari interpretasi atau reaksi saya?

Ketujuh, hubungi lembaga pemeriksa fakta. Jika masih ragu dengan upaya memeriksa fakta secara mandiri, kita bisa memanfaatkan fasilitas pemeriksa fakta yang disediakan pemerintah atau lembaga lainnya.

Misalnya di Indonesia, kita memiliki website Kominfo yang rutin mendata dan mengklarifikasi isu hoaks.

Itulah beberapa metode yang dianjurkan dalam infodemiologi. Kiranya ilmu sederhana ini mampu membawa kita melewati rintangan gelombang informasi. Selain itu, semoga infodemiologi kelak menjadi ilmu yang terus berkembang. Mungkin tidak lama lagi, pelajaran di sekolah bertambah dengan: infodemiologi.


Oleh: Saverinus Suhardin
 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari Saverinus Suhardin

 

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai