Monkeypox: Namanya Cacar Monyet, Kenapa Manusia Ikut Terseret?

Spread the love

Kementerian Kesehatan RI telah resmi mengumumkan satu pasien yang terkonfirmasi positif cacar monyet atau monkeypox di Indonesia pada hari Sabtu (20/08/2022) lalu. Informasi ini langsung menyebar di berbagai media massa yang tentu saja menimbulkan kekhawatiran dan banyak pertanyaan.

Apakah penyakit yang baru teridentifikasi di Indonesia ini akan menyebabkan pandemi yang sama seperti COVID-19? Bila ditinjau dari namanya, apakah penyakit ini hanya terjadi pada monyet atau siapa-siapa saja yang bisa ikut terseret? Apakah berbahaya dan bagaimana penanganan bila ikut terjangkit?

Dan masih banyak lagi yang ingin diketahui mengenai cacat monyet ini. Karena itu, pada ulasan Pojok Sehat kali ini, kita akan fokus membahas informasi penting seputar cacar monyet. Mulai dari sejarah awal penemuan penyakit ini oleh para ilmuwan hingga perkembangannya saat ini di seluruh dunia.

Pertama Kali Ditemukan di Monyet

Monkeypox virus (MPV) atau virus cacar monyet sebenarnya sudah dikenal pertama kali sejak tahun 1958 silam. Waktu itu ada monyet sakit yang gejalanya menyerupai penyakit cacar pada manusia. Setelah diteliti, ternyata jenis virusnya berbeda dengan virus cacar yang sudah dikenal sebelumnya pada manusia, sehingga diberilah nama khusus: virus cacar monyet.

Virus atau penyakit cacar pada manusia, kita tahu, sudah ada sejak bertahun-tahun yang lalu. Karena wabah cacar saat itu menyebar di berbagai dunia dan berisiko menimbulkan masalah yang fatal, maka dilakukan vaksinasi cacar secara massal. Hasilnya, penyakit cacar dinyatakan berhasil diberantas tahun 1970-an.

Tapi, setelah itu malah ditemukan lagi orang yang menderita penyakit cacar di wilayah Afrika Tengah, tepatnya di Republik Demokratik Kongo. Setelah dilacak, penyakit yang terlihat mirip gejala cacar sebagaimana yang dikenal orang sebelumnya, ternyata disebabkan oleh virus yang berbeda, yaitu virus yang sama menyerang pada monyet tahun 1958. Itulah pertama kali virus cacar monyet teridentifikasi pada manusia.

Setelah dilakukan berbagai penelitian, penyakit cacar monyet yang terjadi pada era 1980-an memiliki karakteristik sebagai berikut:

  1. Masa inkubasi (masuknya virus ke tubuh manusia sampai menimbulkan gejala) itu berlangsung 10-14 hari dan periode infeksi terjadi selama minggu pertama ruam (bintil-bintil merah pada kulit yang menjadi salah satu tanda khas dari penyakit cacar secara umum.
  2. Gejala prodromal (gejala yang timbul sebelumnya munculnya ruam di kulit) selama kurang lebih 2 hari, biasanya timbul demam dan malaise (tubuh yang lesu atau lemah).
  3. Gejala prodromal lain yang khas adalah limfadenopati parah (pembesaran kelenjar getah bening yang di sekitar area leher, ketiak, lipatan paha, dan tempat lainnya). Gejala limfadenopati ini jarang terjadi pada penyakit cacar pada umumnya, sehingga gelaja ini menjadi pembeda utama penyakit cacar monyet saat itu.
  4. Ketika mulai timbul ruam, pada umumnya memiliki diameter 2-5 mm dan menyebar pada kulit dengan pola sentrifugal (seperti ada satu titik pusat kemudian menyebar ke arah luar atau seperti jaring laba-laba).
  5. Ruam atau lesi kulit itu biasanya berkembang melalui fase papular (benjolan kecil berisi cairan bening), vesikular (cairannya agak pekat), pustular (berisi nanah), dan kerak (benjolannya menghitam). Gejala ruam ini berlangsung 14-21 hari, kemudian akan mengelupas dan meninggalkan bekas luka dispigmentasi (agak keputihan).

Itulah gambaran umum penyakit cacar monyet yang terjadi pada tahun 1980-an di Afrika. Kalau Anda amati, tanda dan gejalanya kurang lebih sama dengan penyakit cacar air yang mungkin pernah Anda alami langsung atau melihat pada orang terdekat.

Penyakit cacar monyet ini kembali menjadi bahan perbincangan ketika tahun 2003 bermigrasi ke wilayah Amerika. Orang yang terkena cacar monyet di Amerika menunjukkan gejala yang kurang lebih sama, tapi kondisinya jauh lebih ringan bila dibandingkan dengan yang terjadi di Afrika pada tahun 1980-an.

Perubahan gejala tersebut menunjukkan adanya perubahan sifat virus atau virusnya mengalami mutasi, tapi kabar baiknya justru menimbulkan gejala yang lebih ringan. Bahkan yang terjadi pada tahun 2022 ini, meski sebarannya sudah mencakup ke seluruh wilayah di dunia, tapi gejalanya sudah tidak khas seperti dulu lagi atau dikenal dengan istilah atipikal.

Sebagai contoh, kondisi ‘atipikal’ itu terlihat dari pasien yang hanya ada satu ruam atau lesi pada kulit, tidak ada lagi pola lesi yang sentrifugal, dan lesinya kadang hanya ada di sekitar area genitalia atau anus. Ada juga yang melaporkan gejala ruam di kulitnya tidak didahului dengan demam atau gejala malaise.

Pendek kata, gejala penyakit cacar monyet saat ini semakin kabur. Karena itu, kita tidak bisa memastikan seseorang mengalami penyakit ini hanya dari tanda dan gejala yang muncul. Kita mungkin hanya bisa menduga dari satu-dua tanda dan gejala, tapi untuk memastikan diagnosis cacar monyet harus melalui pemeriksaan laboratorium PCR.

Pun hewan pembawa penyakit ini atau inangnya ternyata tidak terbatas pada monyet.  Misalnya pada kasus cacar monyet tahun 2003 di AS, sebagain pasien mengaku beberapa hari sebelumnya lebih sering berinteraksi dengan anjing. Setelah dites, ternyata anjing tersebut memang memiliki virus cacar monyet.

Penelitian lain menyebutkan kalau virus cacar monyet juga ditemukan pada hewan pengerat seperti tupai, tikus, dan sebagainya. Kemudian, manusia juga bisa menjadi penampung virus cacar monyet itu sebelum ditularkan melalui kontak langsung dengan orang lain.

Jadi, inang atau media penyebar virus ini sangat beragam—tidak hanya terbatas pada monyet sebagai nama yang sudah dikenal saat ini. Barangkali karena alasan tersebut, saat ini WHO sedang menjaring pendapat secara terbuka untuk mengubah nama penyakit tersebut sehingga bisa sesuai dengan tata cara penamaan yang berlaku.

Tidak Terlalu Bahaya, Tapi Tetap Berwaspada

Sebagaimana yang dilaporkan WHO, serangan cacar monyet pada tahun 2022 ini menyebar hampir ke semua wilayah, selain Afrika dan Amerika, saat ini juga sudah merambat ke negara di wilayah Eropa, Mediterenia Timur, Pasifik Barat, dan lainnya.

Totalnya sudah menyebar sampai ke 50 negara dan menjangkit hingga 3.413 orang di seluruh dunia per tanggal 27 Juni 2022 lalu. Meski demikian, WHO belum menetapkan masalah ini sebagai kondisi darurat kesehatan masyarakat. Itu artinya tidak atau belum menimbulkan pandemi seperti COVID-19.

Tapi, bukan berarti kita lengah, lembaga kesehatan dunia itu tetap mengingatkan agar kita semua tetap waspada memantau perkembangan wabah tersebut. Penyebaran cacar monyet ini paling banyak melalui interaksi dengan berbagai jenis binatang yang menjadi inang maupun lewat kontak erat dengan penderita sebelumnya.

Kita bisa melakukan upaya pencegahan dengan menghindari risiko penularan tersebut. Kalau misalnya terkena, tidak perlu terlalu khawatir jika tidak memiliki penyakit penyerta, karena dari beberapa kasus selama ini, semua berhasil sembuh dengan baik meski hanya diberi perawatan suportif.

Orang yang pernah mendapatkan imunisasi cacar lebih aman lagi, karena meskipun terjangkit, gejalanya lebih ringan dan pemulihannya jauh lebih cepat dan lebih baik. Itu sedikit ringkasan informasi seputar cacar monyet. Masih banyak yang kurang lengkap dari ulasan ini, tapi semoga dari hal sederhana ini kita bisa lebih waspada.


Oleh: Saverinus Suhardin
 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari Saverinus Suhardin


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai