Pemulihan Pasca Melahirkan dengan Pengobatan Tradisional

Spread the love

“Manusia akan selamat dan sejahtera bila merawat dan melestarikan alam. Sebab alam menyediakan segala sesuatu untuk setiap proses kehidupan”

Petikan kalimat di atas merupakan falsafah hidup orang Suku Boti. Sebuah kampung di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT) yang hingga kini memilih bertahan hidup, dengan menganut kepercayaan leluhurnya tanpa menerima ajaran agama dari luar.

Berbuat baik terhadap sesama dan merawat alam seperti merawat dirinya sendiri, adalah cara mereka menyembah Tuhan, yang mereka sebut uis neno atau penguasa langit dan uis pah atau penguasa bumi.

Melansir infopublik.id, orang suku Boti memercayai, segala sesuatu yang mereka butuhkan dalam kehidupan, bisa didapatkan dari alam. Baik itu makanan dan minuman maupun obat-obatan di kala mereka sakit. Dan, hal itu menyata dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Sebagaimana yang dipercaya orang-orang Suku Boti, saya sebagai orang yang terlahir dari keluarga yang tergolong taat pada adat dan tradisi memercayai hal tersebut. Terutama berkaitan dengan penggunaan dan kasiat dari pengobatan tradisional.

Dalam tulisan ini, saya akan berbagi tentang hal tersebut sebagaimana yang telah saya alami.

Saya merupakan seorang ibu rumah tangga, yang baru saja melahirkan secara normal di salah satu klinik di Kota Kupang pada 26 Juni 2020 lalu. Anak saya, kini memasuki usia sembilan bulan.

Pasca melahirkan, saya dirawat Nenek kandung saya, yang sengaja kami datangkan dari kampung kami di Koli Lanang, Adonara, Flores Timur.

Selama masa post partum atau disebut juga masa nifas, di mana seorang Ibu baru membutuhkan perawatan intensif serta dukungan moral yang penuh. Nenek melakukan itu. Ia mengurusi saya dengan begitu telaten.

Semasa hidupnya, Nenek merupakan seorang dukun bersalin di kampung. Bahkan jauh waktu sebelum masyarakat desa mengenal yang namanya bidan seperti saat ini. Di mana bidan tersebar hampir di tiap kampung.

Menurut Nenek, perawatan terhadap perempuan pasca melahirkan perlu dilakukan dengan baik. Karena akan berakibat pada kehidupan perempuan itu setelahnya.

Karenanya, saat datang dari kampung Ia membawa berbagai ramuan tanaman tradisional, yang kerap Ia pakai dalam mengurus anak-anaknya dulu pasca melahirkan.

Mulai dari ramuan untuk membersihkan bagian dalam rahim, ramuan pembantu kelancaran Air Susu Ibu (ASI) hingga dedaunan yang dipakai untuk saya mandi. Tak hanya itu, ramuan untuk membantu merawat tali pusat anak saya yang masih basah pun, Ia sediakan dari kampung.

Untuk penyembuhan bagian dalam rahim, setiap pagi Nenek memberikan saya santan kelapa dan kunyit serta asam yang dimasak sekaligus. Saat masak, Nenek hanya menggunakan sedikit air agar santan kelapanya terasa lebih kental.

Setelah memastikan santanannya benar-benar kental, Nenek menyuruh saya meminumnya selagi masih hangat.

Tak lupa, setiap kali menyuruh saya minum, Nenek menyelipkan sebuah pesan,  “Ake proing e. Menu ti bera melano. Ti senehato. Mian mua ikene ne maa maini mu.”  Yang artinya, “Jangan mengeluh e. Minum supaya cepat sembuh, biar sehat. Supaya lain kali, nanti bisa buat begini e.”

Kata-kata itu sebenarnya menguatkan saya, sekaligus sebuah petuah agar tradisi ini tidak boleh hilang. Biar kelak, saya bisa melakukannya untuk anak cucu saya.

Selain itu, setiap pagi, sebelum minum santan kelapa Nenek lebih dahulu menyuguhkan sarapan. Sarapan pagi buat saya ialah bubur beras merah yang dikasih santan.

Orang di kampung saya biasa menyebutnya “Gang Matang”. Menurut Nenek, bubur beras merah santan baik untuk kesehatan tubuh Ibu menyusui.

Selain beberapa ramuan yang disebutkan di atas, Nenek juga membawa “kwaki” atau bagian akar dari tanaman pakis. Pakis jenis ini biasanya menempel di pohon kelapa atau di pohon tuak. Juga “kemie” atau kemiri dalam bahasa Indonesia.

Kwaki dan kemie ini dikunyah bersamaan sampai halus lalu dicampurkan dengan air. Kemudian dioleskan di bagian punggung saya dan diurut ke arah payudara. Hal ini Nenek lakukan setiap pagi dan sore setelah mandi.

Hal ini di kampung saya, dipercayai turun temurun untuk membantu melancarkan Air Susu Ibu (ASI). Biasanya, pasca melahirkan, ada Ibu yang kesulitan memberi ASI karena kurangnya stok air susu.

Dan saya, dengan teknik ini dari hari pertama saya melahirkan dan memberi Inisiasi Menyusu Dini (IMD), hingga kini anak saya berusia 9 bulan, air susu saya selalu berlimpah dan tidak pernah bermasalah.

Selain Nenek telaten mengurus apa yang harus saya konsumsi. Nenek juga merupakan tukang urut yang andal, terutama untuk ibu yang baru melahirkan.

Teknik-teknik mengurut ibu melahirkan ini telah diterapkan nenek untuk anak-anak perempuan, dan cucu-cucunya serta ibu melahirkan yang membutuhkan bantuan Nenek.

Jadi, selama masa post partum, Nenek setia mengurut tubuh saya setiap pagi dan sore sebelum mandi menggunakan minyak kelapa alami yang dia buat sendiri dari kampung. Minyak kelapa ini Ia gosokan ke sekujur tubuh saya sebelum diurut.

Pada bagian tubuh tertentu, saya kerap menjerit kesakitan saat Nenek mengurutnya.  Pada bagian-bagian itu juga, Nenek jelaskan kalau kalau saat bayi kita mau keluar dari dalam vagina, biasanya urat-urat di sekitar selangkangan kita terbuka. Itulah kenapa di masa pemulihan seperti ini, penting untuk diurut kembali bagian paha dan selangkangan, agar merapatkan kembali urat-urat hingga kembali sempurna.

Hebatnya, sebelum urut, Nenek sudah masak air panas untuk saya mandi. Pada air itu, Nenek sertakan dengan daun afrika, daun serai, juga daun asam. Tak hanya mandi. Cara memandikannya pun berbeda dengan biasanya atau sebelum melahirkan.

Nenek mengikat bagian pinggang saya dengan sarung panjang, lalu menyuruh saya untuk mengukup tubuh saya di atas uap rebusan air panas yang sudah ditaruhnya di dalam ember. Tujuannya, agar uap panas itu bisa masuk ke dalam tubuh.

Teknik ini dipercaya agar semua keringat yang kotor di dalam tubuh dan darah-darah kotor bisa keluar.

Nenek benar-benar memberikan ultimatum, kalau-kalau selama masa post partum saya tidak boleh menyentuh air dingin. Hal ini dianggap penting, agar sel darah putih tidak terganggu. Katanya, agar saya tidak pusing.

Saat pengukupan, keringat bercucuran. Setelah ukup, baru saya dimandikan juga dengan air panas.

Tak hanya itu, untuk mempercepat proses lepasnya tali pusat anak saya, Nenek memakai “kemie” atau kemiri dan kunyit putih yang dikunyah hingga halus lalu dipanaskan bersama minyak kelapa.

Hal ini pun sangat membantu. Tak sampai seminggu, tali pusat anak saya terlepas dengan sendirinya.

“Yang kita jaga pada anak-anak setelah melahirkan ini adalah tali pusatnya. Karena kalau tali pusatnya bermasalah, maka dia akan menangis sejadi-jadinya. Kadang banyak orang tak tahu dan abai soal ini,” begitu kata Nenek.

Selepas masa post partum, Nenek menyuruh saya memeriksa bagian dalam diri saya ke dokter spesialis kandungan. Hasilnya, dokter sendiri kaget melihat perubahan perut saya yang langsung rata seperti belum melahirkan dan tak meninggalkan sedikitpun stertch mark dan keadaan rahim saya yang kembali sempurna.

Di sela-sela perawatan saya, Nenek mengajarkan banyak hal kepada saya, bagaimana menyikapi sakit pada anak dengan lebih mengutamakan hal-hal alamiah daripada obat generik dari resep dokter. Dan itu saya praktikan dalam keseharian saya kini.

Semisal anak demam, daun damar dan daun ende adalah penolong yang utama.

Untuk batuk dan pilek, kami terbiasa dengan menggunakan rebusan air panas yang dicampur serai dan saya teteskan minyak kayu putih lalu dihirup.

Untuk penambah stamina dan penjaga imun setiap hari, saya selalu sediakan jamu super hemat di rumah. Kunyit, jahe, temulawak dan kunyit putih yang direbus dicampurkan dengan kayu manis, serai, cengkeh juga daun pandan dan gula pasir sebagai pemanis selalu kami minum setiap pagi dan sore.

Mengutip Jurnal  Sylva Lestari Vol. 8 No. 2, Mei 2020 (260-263) jenis-jenis tanaman obat dan nilai penggunaannya oleh masyarakat berdasarkan nama ilmiahnya antara lain: Kelapa (Cocos nucifera), kunyit (Curcuma longa), beras merah ( Oryza sativa ), pakis haji (Cycas sp), kemiri (Aleurites moluccanus), daun afrika (Veronia amygdalina), serai (Cymbopogan citratus), asam (Tamarindus indica), kunyit putih (Curcuma zedoaria), jahe (Zingiber officinalle), temulawak (Curcuma zanthorrhiza), kayu manis (Cinnamomum verum), dan daun pandan (Pandanus amaryllifolius).

Segala jenis tanaman obat di atas membuktikan bahwa Indonesia adalah negara kaya rempah. Dengan potensi alam (Mega Biodiversity) darat sebanyak 30.000 spesies tanaman, 9.600 yang berkhasiat dan 300 sebabagi Bahan Baku Obat (BBO) dan Bahan Baku Obat Tradisional (BBOT) (Germas Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: 2020)

Tentu pengalaman perawatan pasca melahirkan dan tanaman-tanaman obat itu menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati yang dimiliki di alam ini telah dimanfaatkan secara turun temurun oleh masyarakat sebagai obat tradisional.

Warisan budaya lokal dari Nenek dan pengalaman menjadi Ibu baru justru lebih mengenalkan saya pada hal-hal alamiah yang sangat tradisional. Bahwa setiap sakit tak melulu obat generik yang bisa menjadi antibiotik.

Meski obat tradisional yang diminum tidak dirasakan manfaatnya secara langsung melainkan setelah penggunaan yang berulang sesuai aturan pakai,  justru obat terbaik dan alamiah adalah yang bersumber dari alam itu sendiri.

Di akhir dari tulisan ini, saya mengucapkan “Bumi adalah satu-satunya rumah kita di dunia, mari jaga dan rawat. Sedangkan alam yang kaya adalah harta karun kita. Pilihlah cara yang paling sehat, di tengah situasi yang serba instan.”

Salam sehat, selamat ulang tahun “Pojok Sehat.”

Oleh: Gres Gracelia
 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari Gres Gracelia


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai