Kalung Anti-corona Kementan, Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Spread the love

Nama Kementerian Pertanian (Kementan) langsung geger saat menterinya mengklaim telah menemukan formula anti virus Corona berbahan dasar pohon kayu putih (eucalyptus).

Kabar tersebut ramai diperdebatkan warga +62 karena belum terbukti kebenarannya.

Meski begitu, apa yang terlihat seperti pungguk merindukan bulan itu, kalau ditelisik baik-baik tetap ada manfaatnya.

Tapi, sebelum kita ke poin yang agak dipaksakan bisa berfaedah itu, barangkali perlu merunut terlebih dahulu rentetan peristiwa yang lumayan menghebohkan itu.

Bermula pada tanggal 3 Juli 2020 lalu, Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, mangatakan kalau kementerian yang dipimpinnya akan memproduksi massal kalung yang disebut-sebut bisa mematikan virus Corona hanya dengan kontak dekat di area sekitar wajah.

Selain kalung, produk penangkal Corona itu juga dikemas dalam bentuk obat oles dan hirup.

Ketika ramai dipertanyakan, pada tanggal 6 Juli 2020, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), Fadjry Djufry, terkesan menutupi kekeliruan propaganda pimpinanya itu dengan mengatakan, “Kalau pun tidak punya khasiat untuk membunuh virus corona (SARS-CoV-2), paling tidak melegakan pernafasan.”

Berlomba Menjadi yang Pertama

Semenjak wabah Covid-19 mulai menerjang di seluruh dunia, kita sebagai individu; kelompok; atas nama institusi; lembaga; negara; hingga organisasi dunia berlomba-lomba untuk menemukan solusi masalah tersebut.

Tidak ada yang salah sebenarnya. Justru hal itu sangat positif karena memicu terciptanya berbagai inovasi atau penemuan terbaru demi kemaslahatan banyak orang.

Persoalan mulai muncul ketika sebagian orang saja yang benar-benar tekun dan fokus pada riset dan pengembangan, sedangkan sisanya yang lebih banyak malah menyasar pada bagian konferensi pers untuk pencitraan.

Tidak heran bila selama ini kita kenyang dengan klaim-klaim seperti ini: “Ilmuwan A mengatakan bisa mengobati Corona”; “Gubernur V sudah mendapatkan ramuan tradisional yang menyebuhkan Covid-19”; Pemkot S berhasil membuat kotak penyemprot desinfektan yang bisa membunuh virus Corona”; dan masih banyak jenis klaim lainnya hingga yang terbaru dari Kementan, “Ada kalung anti-corona.”

Kelak kita semua paham kalau berbagai klaim tersebut hanya isapan jempol belaka.

Sampai sekarang, kita belum mendengar ada obat atau vaksin yang spesifik mengatasi virus Corona baru tersebut dan diterima paling tidak sebagian besar ilmuwan dunia.

Kita tampaknya berlomba ingin jadi yang pertama, khususnya menyampaikan klaim menjadi berita.

Entah berhubungan atau tidak, pada tanggal 18 Juni 2020 lalu, Presiden Jokowi marah-marah karena kurang puas dengan kinerja para menterinya.

Kurang lebih dua minggu kemudian, Kementan tiba-tiba unjuk gigi dengan kalung anti-corona.

Apakah ini merupakan jawaban dari permintaan mengambil “langkah extraordinary” yang dimaksudkan bapak presiden tersebut?

Kalau iya, sayang sekali rasanya. Barangkali mereka menganggap kalau dengan mengabarkan tentang penemuan langka kalung anti-corona itu didengar presiden dan seluruh rakyat Indonesia, pasti nama Kementan akan melambung dengan nada pujian.

Kenyataannya, mereka malah mendapat banyak cibiran, termasuk perundungan dari perwakilan rakyat yang duduk di DPR-RI.

Menurut keterangan Kepala Balitbangtan setelah berita itu heboh di mana-mana, uji leboratorium yang mereka lakukan telah membuktikan kalau minyak atsiri eucalyptus citridora bisa menjadi antivirus terhadap virus avian influenza (flu burung) subtipe H5N1, gammacorona virus, dan betacoronavirus.

Pada bagian lain mereka menjelaskan tentang bahan aktifnya berupa cineol-1,8 yang memiliki manfaat sebagai antimikroba dan antivirus melalui mekanisme M-pro.

Penjelasan tersebut sangat identik dengan hasil penelitian Arun Dev Sharma dan Inderjeet Kaur, dua peneliti dari Lyallpur Khalsa College Jalandhar, India.

Kedua peneliti itu menyimpulkan kalau minyak kayu putih mempunyai potensi untuk menghambat perkembangan virus Corona.

Namun, keduanya mengingatkan perlunya penelitian lebih lanjut untuk menyelidiki potensi penggunaan menjadi obat.

Mereka menyebutnya memiliki potensi, belum terbukti. Mereka menyarankan perlu penelitian lebih lanjut, bukan langsung mengaplikasikannya dalam praktik.

Bahkan dalam portal jurnal ilmiah Cornell University, pada bagian atas laporan penelitian tersebut diberi keterangan yang kurang lebih menjelaskan kalau hasil riset tersebut belum ditinjau oleh ilmuwan lain (peer-review), sehingga tidak boleh dijadikan panduan praktik tanpa berkonsultasi banyak dengan ahli di tatanan praktik.

Entah dengan pertimbangan apa sampai Kementan kita langsung menggunakan hasil riset yang masih butuh banyak penelitian lebih lenjut tersebut.

Barangkali dugaan adanya desakan dari atasan supaya kelihatan memiliki “Sense of crisis” selama pandemi corona benar adanya.

Alih-alih memastikan ketahanan dan keamanan pangan, malah sibuk mengurusi riset obat yang mestinya menjadi fokus Kemenkes.

Pelajaran Penting

Kekeliruan itu sudah terjadi. Mentan Syahrul juga sudah enggan berkomentar bila ditanyakan tentang kalung anti-corona itu lagi.

Sudahlah! Lupakan bagian yang kontraproduktif, kita berusaha mengambil hikmah dari kejadian tersebut.

Klaim bombastis dari Mentan ini mengingatkan kita pada kejadian lain yang kurang lebih sama, yaitu maraknya propaganda obat, suplemen atau produk sejenis lainnya.

Pada umumnya mereka yang menjual produk tersebut bukanlah dokter atau tenaga kesehatan yang kompeten dan berwenang atas penggunaannya.

Siapa saja yang pandai berbicara dan meyakinkan orang lain, maka sudah sah menjadi penjual obat.

Ciri khas para propaganda obat itu adalah menjanjikan kesembuhan yang muluk-muluk.

Satu produk saja, mereka gadang-gadang bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Ada pula yang menjual produk tersebut dengan sistem MLM (multi level marketing).

Selain diasupi janji khasiat produk yang ampuh,—seolah-olah tidak ada lagi yang lebih ampuh dari itu—ditambah lagi  dengan janji bisa cepat kaya raya; plesiran ke luar negeri; dan tawaran menarik lainnya.

Janji-janji manis itu membuat banyak orang tidak bisa menahan diri untuk membeli dan berharap segera mendapatkan apa yang dijanjikan.

Begitu belum kunjung mendapatkan hasilnya, para pedagang mengeluarkan dalih lanjutannya, “Baru pakai berapa hari, masa langsung dapat hasilnya. Pakai rutin toh…”

Sampai harta simpanan terkuras pun, produk yang dipropaganda itu tidak menunjukkan hasil seperti yang diharapkan.

Ya, iya lah, karena memang zat aktif yang terkandung di dalamnya belum terbukti secara sahih bisa menjadi solusi berbagai persoalan seperti yang dijanjikan dalam propagandanya.

Kalung Anti Korona Mentri Pertanian

Sekadar untuk kita sadari, kalau saja ada suatu penemuan obat atau produk tertentu yang terbukti ampuh, pasti sudah dilaporankan dan digunakan dalam pengobatan medis di seluruh dunia.

Perawatan dan pengobatan medis di tatanan pelayanan kesehatan di seluruh dunia, selalu mengedepankan prinsip “Evidence based practice”, yang artinya penerapan praktik berdasarkan bukti hasil riset yang mumpuni.

Penerapan praktik harus didasarkan rekomendasi sebagian besar penelitian yang ditinjau juga oleh rekan ahli berkompeten lainnya.

Praktik yang teliti dan hati-hati itu saja, tidak serta-merta membuat mereka angkuh. Ketika berhadapan dengan pasien dan keluarganya, tenaga kesehatan itu jarang bahkan tidak pernah menjanjikan kesembuhan apa-apa.

Mereka hanya akan bilang kurang lebih seperti ini, “Kami akan berusaha sebaik mungkin, biarlah Tuhan yang mengatur segala yang terbaik.”

Jadi, kalau esok-esok kita ketemu dengan orang yang menjanjikan obat atau produk tertentu dengan khasiat yang super yang kadang tidak masuk akal, ingatlah contoh kasus Kementan di atas.

Janji manis itu bisa dijadikan sinyal awal bagi kita untuk lebih berhati-hati, sebaiknya cek dulu pada sumber atau orang yang kita percayai; orang yang kompeten dan profesional pada bidang tersebut.

Itulah poin penting yang bisa kita pelajari dari propaganda kalung anti-corona Kementan RI yang tercinta.


Oleh: Saverinus Suhardin
 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari  Saverinus Suhardin

 

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai