Sayang Anak Bukan dengan Jajan

Spread the love

Jika tidak mengalaminya langsung, setidaknya kita pernah –atau malahan sering—melihat rengekan anak yang mendambakan satu atau beberapa jenis jajanan di kios terdekat.

Proses bagaimana anak itu begitu suka pada jajanan tetentu bisa sangat variatif, tapi respons orang tau atau pengasuhnya saat itu kemungkinannya ada dua.

Pertama, permintaan anak tidak dilayani. Biasanya, sang anak akan terus merengek. Jika belum ada tanda-tanda desakannya bisa lolos, level upayanya ditingkatkan sampai menangis.

Awalnya  mungkin pelan, lalu makin keras, sampai-sampai uvula (tonjolan kecil yang menggantung di langit-langit rongga mulut) terlihat jelas dan ikut bergetar. Selanjutnya bisa meronta-ronta, guling-guling di tanah, dan sebagainya. Pendek kata, bikin rusuh.

Kedua, jajanan idaman itu langsung dibeli. Anak tentunya langsung semringah. Dia tidak peduli lagi dengan terik matahari atau kondisi alam lain yang mengganggu, begitu mendengar akan ke kios buat beli jajan, semua rintangan lain menjadi tidak berarti lagi. Dia lebih tenang, lebih mudah diarahkan, kesan umumnya suasana jadi lebih damai.

Dua gambaran peristiwa itu, bagi saya, cukup untuk memaklumi keputusan Komite Nobel Norwegia ketika menetapkan World Food Programme (WFP) atau Program Pangan Dunia yang berada di bawah naungan PBB sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2020. Penganugerahan yang tidak terbatas pada invidu memang bukan baru terjadi, tapi apa hubungan antara organisasi yang membidangi urusan makanan dengan perdamaian?

Keterangan pers lembaga yang diwasiatkan Alfred Nobel tersebut, secara singkat menjelaskan adanya hubungan “lingkaran setan” kedua masalah tersebut. Perang dan konflik menyebabkan kerawanan pangan dan kelaparan. Begitu pula kelaparan dan kerawanan pangan, bisa memicu konflik atau tindakan kekerasan.

Sebagai penerima penghargaan, WFP menganggap apresiasi Nobel tersebut sebagai pengingat bahwa ketahanan pangan, perdamaian dan stabilitas saling berkelindan.

Saat lapar, emosi kita memang cenderung sulit terkontrol, sehingga mudah marah meski dipicu hal yang remeh. Perilaku ini sudah disadari dengan studi ilmiah, meski baru dilakukan pada hewan coba (tikus), hasilnya menunjukkan kalau rasa lapar membuat mereka bertingkah agresif dan dianggap sebagai ekspresi kemarahan.

Kembali lagi pada penggambaran anak yang dipenuhi keinginannnya untuk jajan di atas, dia akan lebih tenang; lebih damai. Kita sebagai orang tua atau pengasuh, selain dianggap sebagai orang baik atau sayang anak, juga ikut rileks dan bahagia karena tidak banyak gangguan akibat rengekan anak. Tapi, masalahnya, apakah “sayang anak” dengan memberi semua apa yang mereka minta itu sepenuhnya positif?

Dilema bagi Orang Tua

Kondisi dilematik seperti yang digambarkan di atas, hampir dialami semua orang tua. Sebagai gambaran, berdasarkan pengalaman sekelompok ibu di Belanda, mereka juga mengalami konflik batin ketika berhadapan dengan pilihan makanan atau jajanan buat anak, khususnya ketika anak mereka masih kecil dan memberikan jajanan tidak sehat.

Studi tersebut berhasil mengidentifikasi enam (6) jenis konflik yang acap dirasakan, seperti pilihan antara jajanan sehat dan tidak sehat;  camilan sehat dan makanan yang disukai; pemberian makanan ringan sebelum makan malam; pengaruh dari orang lain; anak meminta sesuatu tetapi ibunya berkata “tidak”; dan terkait dengan banyak jajanan tidak sehat saat pesta atau ketika ada yang berkunjung.

Keputusan untuk jajan dan memilih jenis camilannya, dipengaruhi oleh beragam faktor. Sebuah studi menyebutkan kalau ibu-ibu di Indonesia pada umumnya lebih menghargai preferensi atau ikuti keinginan anak. Keinginanan anak tersebut tersebut dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya iklan produk jajajan anak yang masif di media massa.

Ketika anak-anak diberi kebebasan mengonsumsi camilan sesukannya, beberapa konsekuensi buruk dapat terjadi. Anak-anak berpotensi mengalami gizi buruk, kegemukan, kerusakan gigi dan masalah lain.

Masalah stunting, misalnya, ternyata tidak semata-mata terjadi karena kekurangan bahan pangan –di daerah penghasil padi pun masih banyak terjadi. Kenapa itu bisa terjadi? Ternyata kebiasaan jajan, memengaruhi pola konsumsi anak pada makanan utama.

Jajanan mungkin membuat anak merasa kenyang, tapi kandungan nutrisinya cuma kalori yang tinggi. Ketika diberi makan utama yang komponen nutrisinya lebih lengkap dan seimbang (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral), anak cenderung menolak.

Masalah-masalah tersebut mungkin tidak langsung terlihat, tapi sudah dipredikisi lewat berbagai studi, lama-kelamaan akan memberi dampak juga bagi tumbuh-kembang anak.

Sesaat setelah memberi jajan tidak sehat, kita mungkin merasa baik-baik saja. Tidak ada masalah yang langsung terjadi pada anak. Tanpa kita sadari, apa yang awalnya kita anggap baik-baik saja itu, berakumulasi membentuk pola hidup tidak sehat beserta dampak yang perlahan mulai terasa.

Butuh Ketegasan

Kemampuan untuk membedakan jajanan sehat dan tidak sehat memang tidak dimiliki semua orang. Masalah ini dipengaruhi banyak aspek, salah satu yang paling sering disebut itu karena pendidikan yang menyebabkan seseorang kurang mendapatkan informasi yang memadai.

Jika ingin benar-benar paham mana makanan atau jajanan yang baik buat anak, maka orang tua perlu mempelajari kandungan nutrisi yang tekandung dalam setiap jenis bahan makanan/minuman. Termasuk cara pengolahannya, karena kandungan nutrisi setiap bahan pangan bisa berubah tergantung cara penggarapannya.

Pemahaman informasi nutrisi seperti itu memang tidak mudah. Supaya mudah, kita anggap saja makanan harian yang kita masak sendiri di rumah sebagai makanan yang sehat dan aman. Sedangkan makanan/minuman ringan dalam kemasan yang sangat beragam di pasaran –dengan ciri sangat manis, asin, dan gurih oleh berbagai penyedap—kita anggap sebagai jajanan tidak sehat.

Selanjutnya, orang tua atau siapa saja yang bertugas mengasuh anak, perlu bersikap tegas dengan pilihan makanan atau jajanan anak. Pengalaman banyak orang tua membuktikan, pengendalian makanan yang boleh dan tidak untuk anak, terbukti bisa mengurangi konsumsi camilan yang tidak sehat.

Ketegasan pada anak dalam konteks ini bisa diterapkan dengan mewajibkan anak untuk makan makanan utama dulu, sebelum kita goyah oleh “dilema” yang membuat tidak tega ketika anak merengek minta jajan.

Kita berupaya membangun komunikasi dan membuat komitmen dengan anak, misalnya boleh beli jajan tapi setelah menghabiskan porsi makan yang wajar sesuai dengan usianya.Jajan anakPada dasarnya, pola hidup atau kebiasaan anak-anak bisa dibentuk oleh apa yang kita ajarkan atau kondisikan. Tidak semua keinginan anak harus kita turuti. Anak-anak boleh saja ingin ini-itu, tapi sebagai orang tua yang menyayanginya, kita tentunya hanya berusaha memenuhi bila hal itu berkiatan dengan kebutuhan dasar yang penting.

Hari Pangan Sedunia yang dirayakan 16 Oktober 2020 lalu, tidak sekadar menekankan pada ketersediaan pangan. Lebih dari itu, kita semua diingatkan tentang makanan yang seimbang dan aman untuk dikonsumsi; makanan bernutrisi yang menunjang kesehatan secara keseluruhan.

Bagaimana cara Anda menyayangi anak? Siapapun orang tua, pasti menginginkan segala yang terbaik buat anaknya sebagai ekspresi rasa sayang. Cuman, kita perlu hati-hati, jangan sampai bentuk sayang itu kemudian menjadi malang.


Oleh: Saverinus Suhardin
 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari Saverinus Suhardin

 

 

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai