Sebutir Telur dan Segelas Susu, Sebandingkah dengan Darahmu?

Spread the love

“Aduh, hanya itu saja?”

Begitu reaksi salah seorang teman ketika menjawab pertanyaannya, bahwa setelah donor darah saya mendapat sebutir telur dan segelas susu dari petugas PMI (Palang Merah Indonesia).

Peristiwa itu terjadi ketika masa-masa awal kuliah pada tahun 2009 silam. Saat itu kampus kami sedang menyelenggarakan kegiatan donor darah dan teman saya itu kebetulan tidak hadir.

Gara-gara reaksinya yang agak berlebihan itu, kami sempat berdiskusi agak lama tentang kelebihan dan kekurangan donor darah.

Tapi karena pemahaman kami sebagai mahasiswa baru saat ini masih cetek, alih-alih disebut diskusi, lebih cocoknya debat kusir.

Meski begitu, saya sempat terpengaruh juga, buat apa repot-repot mendonorkan darah? Kita boleh memberikan sekian banyak darah, imbalannya cuma sebutir telur dan segelas susu. Tidak impas, kan?

Setelah peristiwa itu, saya masih mengikuti kegiatan donor darah, tapi tidak aktif mendatangi Unit Transfusi Darah (UTD). Lebih sering menunggu kampus menyelenggarakan kegiatan, barulah sesekali ikut berdonor.

Tahun 2019 kemarin, 10 tahun kemudian, saya dihadapkan pada peristiwa yang membuat persepsi tentang donor darah langsung berubah total.

Ketika sedang melanjutkan pendidikan di Surabaya, keluarga dari kampung di Manggarai mengabarkan bapak saya sakit. Kondisinya lemas dan sesak napas, begitu gejala singkat yang mereka ceritakan.

Setelah diperiksa di puskesmas, ternyata kadar Hb (Hemoglobin) sangat rendah. Bapak saya pun harus dirujuk ke RSUD Ruteng untuk mendapatkan perawatan lebih memadai. Sialnya, sampai di sana stok darah sedang kosong. Kelurga diminta untuk mencari sendiri pendonornya.

Singkat cerita, pada akhirnya keluarga mendapat bantuan dari siswa SMA dan mahasiswa di sana yang sukarela mendonorkan darahnya. Meski tidak saling kenal, mereka tidak mengharapkan imbalan apa-apa.

Saya tertegun mendengar cerita dari keluarga tentang peristiwa kemanusiaan tersebut. Saya berpikir, sudah saatnya untuk aktif mendatangi UTD, sebab di luar sana pasti membutuhkan bantuan darah kita.

***

Cerita personal di atas, barangkali kalah dramatis dan kurang urgen bila dibandingkan peristiwa lainnya yang pernah Anda alami atau ketahui sendiri.

Bagaimana kalau istri kita yang baru saja melahirkan mengalami perdarahan hebat sehingga membutuhkan darah sesegera mungkin? Atau keluarga dekat kita mengalami kecelakaan yang menyebakan kehilangan banyak darah? Dan masih banyak peristiwa lain yang memaksa kita berteriak minta tolong pada orang lain.

Kehilangan darah dalam jumlah banyak oleh berbagai sebab, membutuhkan penangan segera. Darah merupakan salah satu komponen tubuh yang berperan besar dalam mengantarkan oksigen dan nutrisi bagi sel-sel tubuh.

Layaknya seperti bahan bakar dalam  kendaraan bermotor, bila jumlah sudah tidak cukup, mesin tidak bisa befungsi optimal.

Hingga saat ini, kita masih sering menemukan unggahan di media sosial yang berisi tentang permohonan untuk menjadi pendonor bagi keluarga atau kerabat mereka yang sedang sakit dan membutuhkan transfusi darah.

Unggahan tersebut menunjukkan kalau Bank Darah Rumah Sakit (BDRS) sudah kehabisan stok darah yang dibutuhkan pasien. Keadaan itu juga menandakan stok di UTD atau PMI sudah tidak cukup.

Kelangkaan darah di UTD ini menggambarkan kalau inisiatif masyarakat untuk mendonorkan darahnya belum mencukupi kebutuhan di lapangan. Artinya, masih perlu niat baik kita semua untuk mendonorkan darah lebih banyak lagi dengan sukarela.

Tantangan Donor Darah Saat Ini

Sejak tahun 1975, WHO telah mendorong tiap negara untuk mengadopsi layanan darah nasional berdasarkan prinsip sukarela, sehingga tidak perlu ada bayaran atau insentif dalam bentuk apapun.

Tapi dalam pelaksanaannya, ada beberapa negara yang menerapkan praktik pemberian insentif kepada pendonor untuk memenuhi kebutuhan darah di wilayah tersebut.

Sebagai contoh, dalam laporan penelitian Hassan Abolghasemi, dkk., mereka menyebutkan kalau di Amerika memberikan insetif kepada pendonor darah berupa kaos, tiket acara, atau kupon undian berhadiah TV hingga mobil mewah.

Di beberapa negara Eropa juga sama, bentuknya berupa bonus hari libur, biaya perjalanan, keringanan pajak dan hadiah materi lainnya kepada pendonor darah.

Praktik pemberian insetif untuk menarik minat pendonor darah ini, sejalan dengan harapan teman saya dalam cerita bagian awal tulisan ini.

Pada dasarnya, motivasi orang untuk berdonor darah memang berkisar dua alasan utama ini: kesediaan untuk membantu yang sakit atau kompensasi uang.

Alasan yang kedua itu, sepintas memang terkesan lebih menarik. Tetapi kemudian ditentang banyak orang, karena memberi efek buruk dalam pemenuhan kebutuhan darah jangka panjang.

Tindakan itu akan mengecilkan hati para pendonor sukarela, sehingga makin lama makin rumit menemukan orang yang mau menyumbangkan secara sukarela.

Donor Darah Bikin Sehat
Oleh: Saverinus Suhardin

WHO bersama-sama negara di dunia terus berjuang untuk menentang praktik pemberian insentif tersebut. Pada tahun 2009 lalu, mereka mendeklarasikan agar setiap negara 100% menerapkan prinsip donor darah sukarela dan ditargetkan tercapai pada tahun 2020.

Pada perayaan Hari Donor Darah Sedunia pada tanggal 14 Juni 2020 kemarin, salah satu pesan kunci WHO masih menyerukan tentang donor darah sukarela secara teratur dan tanpa mengharapkan imbalan apapun, sehingga persediaan darah tetap mencukupi kebutuhan masing-masing negara.

Adapun tema yang diusung dalam perayaan tahun ini adalah “Safe blood saves lives” (Darah yang aman menyelamatkan nyawa), dengan slogan: “Give blood and make the world a healthier place” (Berikan darah dan jadikan dunia tempat yang lebih sehat).

Perayaan seperti ini diharapkan memotivasi semakin banyak orang untuk aktif memberikan darahnya tanpa pamrih.

Kita di Indonesia tentunya saja sudah menganut prinsip sesuai arahan WHO di atas. Pelayanan darah di Indonesia ditujukan untuk tujuan kemanusiaan; bukan untuk tujuan komersial.

Hal itu sudah dimaktubkan dalam UU No.16 tentang Kesehatan dan dijabarkan lebih lengkap dalam PP No.7 tahun 2011 tentang Pelayanan Darah.

Berdasarkan data Kemenkes RI pada tahun 2016 (ini paling baru yang ada di websitenya), masih banyak provinsi yang belum bisa mencapai jumlah minimal kebutuhan darah. Standar WHO menetapkan, setiap negara setidaknya menyediakan pasokan darah minimal sebesar 2% dari jumlah penduduk.

Hingga saat ini, persediaan darah minimal itu belum bisa tercapai. Meskipun datanya sulit diperoleh, tapi dari indikator banyaknya orang yang mengumumkan permohonan di medsos untuk menjadi pendonor darah cukup membuktikan hal tersebut.

Khusus di NTT, Ketua PMI juga pernah mengeluhkan ketidakseimbangan antara persediaan dan kebutuhan darah dari berbagai RS. Masih butuh banyak kesediaan para pendonor lagi.

Kenapa orang masih enggan berdonor? Kemungkinan karena kurang informasi saja. Bila orang paham seluk-beluk perlunya kegiatan donor darah ini untuk tujuan kemanusiaan, penulis meyakini sifat altruismenya akan tumbuh.

Penelitian menunjukkan ada korelasi positif antara pengetahuan seseorang donor darah dan altruisme.

Altruisme merupakan paham (sifat) yang lebih memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain.

Selain alutruisme, menurut  Sojka  salah satu faktor yang mendorong pendonor darah pemula adalah pengaruh dari teman atau kerabat secara langsung. Karena itu, bila Anda sudah menjadi pendonor aktif, jangan lupa selalu mengajak rekan lainnya.

Lagian, selain bisa bermanfaat bagi sesama, kegiatan donor darah secara rutin terbukti memberi banyak manfaat.

Pertama, dapat lebih terlindungi dari penyakit kardiovaskular dibanding yang tidak.

Kedua, mendapat kesempatan pemeriksaan kesehatan rutin, karena setiap darah yang diambil akan diperiksa terlebih dahulu sebelum diberikan pada pasien.

Ketiga, kadar zat besi dalam tubuh lebih stabil.

Baca Juga: Kerja Seperti Hamba Makan Seperti Raja, Tapi Tolong Perhatikan Apa yang Kita Makan

Keempat, sum-sum tulang makin aktif memproduksi sel-sel darah baru yang lebih baik kualitasnya. Dan masih banyak lagi manfaat lainnya.

Setelah mengenal lebih jauh duduk persoalannya, masihkah kita seperti teman saya dulu yang mempertanyakan setelah donor darah dapat apa?

Darah kita tentunya tidak ternilai dengan materi apapun, karenanya tidak layak digadaikan untuk mengharapkan sesuatu.

Pada kata “donor” itu sendiri sebenarnya terkandung makna sebagai penderma atau pemberi sumbangan. Kalau masih berharap imbalan, itu bukan donor darah lagi namanya, tapi jualan darah.

Dan, pada umumnya sangat tidak lazim jualan darah manusia, tapi kalau jual darah babi baru ada, banyak di emperan jalan Kota Kupang.


Oleh: Saverinus Suhardin
 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari  Saverinus Suhardin


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai