Thermo-gun, Suhu Tubuh, dan Covid-19

Spread the love

Jauh sebelum hoaks baru tentang bahaya penggunaan thermo gun mencuat, cerita mengenai keganjilan alat pengukur suhu digital jarah jauh yang berbentuk seperti pistol itu sudah menjadi keluhan harian banyak orang.

Tidak mengherankan, sebab penggunaan termometer di area publik, baru terjadi selama pandemi covid-19.

Sebagai bagian dari proses adaptasi kebiasaan baru, wajar-wajar saja kalau muncul berbagai tanggapan dari para penggunanya.

Pak Sasongko, salah seorang warga yang tinggal di RSS Baumata, Kupang, pernah mengeluh dengan hasil pemeriksaan suhu di salah satu pusat perbelanjaan.

Bagaimana tidak, petugas yang mengukur suhu mengatakan dirinya panas (38°C), sementara dia merasa sedang baik-baik. Dia kemudian berdebat dengan petugas, lalu dilakukan pengukuran ulang, hasilnya kembali normal.

Saya sendiri juga pernah mengalami hal yang tidak wajar seperti itu. Saat itu saya jalan sore hari yang udaranya lumayan dingin. Sampai di pusat perbelanjaan, petugas pintu langsung menodong termometer tembak.

Kali ini tidak di dahi,—barangkali mereka menyesuaikan dengan isu yang disampaikan ahli ekonomi tentang kesehatan yang sangat viral itu, bahwa pengukuran di dahi bisa membahayakan otak—tapi mengukur di punggung tangan. Hasilnya mencengangkan, suhu tubuh saya terbaca hanya 34°C; lebih rendah dari nilai normalnya.

Pengalaman personal seperti itu, barangkali sudah jamak terjadi di mana-mana. Apalagi setelah isu miring tentang termometer tembak itu, tanggapan warga makin variatif dengan kebijakan pengecekan suhu tersebut.

Pertanyaannya kemudian, apakah pengukuran suhu dengan metode seperti itu cukup andal untuk pelacakan awal kasus Covid-19?

Suhu Tubuh dan Pengukurannya

Sudah menjadi pengetahuan umum, suhu tubuh merupakan salah satu indikator kestabilan tubuh atau kesehatan secara umum.

Rentang suhu tubuh yang normal pada manusia itu berkisar antara 36,5-37,5°C.

Lebih dari itu merupakan kondisi demam atau biasa juga disebut hipertermi. Kurang dari nilai nomal juga dianggap bermasalah; kondisi yang biasa disebut hipotermi.

Suhu tubuh seseorang dipengaruhi berbagai macam faktor, seperti gangguan pada pengatur suhu tubuh di otak; karena ada proses infeksi akibat bakteri atau virus; kekurangan cairan tubuh; dipengaruhi suhu lingkungan; dan faktor lainnya. Jadi, ketika seseorang mengalami demam, kita tidak bisa menyimpulkan secara pasti apa penyebab demam tersebut, sampai dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lainnya.

Pendek kata, demam itu  merupakan gejala umum dan paling sering dialami setiap orang. Siapa yang tidak pernah demam? Saya kira kita semua pernah mengalaminya, paling tidak sekali dalam hidup, bahkan terjadi berulang-ulang.

Pengalaman yang panjang tentang kondisi demam itu membuat kita makin peka untuk memindai diri sendiri apakah sedang demam atau tidak.

Demam sudah menjadi alarm awal tentang kondisi kesehatan tubuh yang sedang terganggu. Setelahnya kita akan mencari tahu apa penyebabnya, baik itu dilakukan secara mandiri maupun lewat bantuan tenaga kesehatan profesional.

Kondisi demam pada orang lain, biasanya kita bisa pindai dengan punggung tangan. Namun, semua teknik itu menghasilkan kesimpulan yang sangat subyektif.

Setiap orang bisa saja memiliki pengalaman tentang ambang panas yang bervariasi, sehingga satu kondisi bisa diinterpretasi macam-macam. Karena itu, perlu sebuah alat yang dikenal termometer untuk mengukur suhu tubuh secara objektif.

Termometer dan cara pengukuran suhu tubuh juga sangat beragam. Setiap alat didesain sesuai dengan peruntukkannya.

Selama ini, termometer yang paling banyak digunakan di tempat pelayanan kesehatan ada dua, yaitu termometer air raksa dan termometer digital.

Cara pengukuran yang paling banyak dipraktikkan selama ini dengan menyelipkan ujung termometer di bawah lipatan ketiak.

Selain yang sudah lazim terlihat itu, ada juga model dan cara pengukuran yang lain.

Model termometer yang menjadi tren selama pandemi Covid-19 ini adalah non-contact infrared thermometer (NCIT) atau termometer inframerah yang penggunaanya tidak bersentuhan langsung dengan kulit atau tubuh orang yang diperiksa.

Termometer ini pada umumnya didesain seperti pistol, sehingga lebih sering disebut thermo-gun atau termometer tembak.

Termometer tembak inilah yang disebut bisa membahayakan organ otak. Itu disampaikan seorang ekonom Ichsanudin Noorsy dalam sebuah video perbincangan yang dipandu salah satu tokoh publik, Helmi Yahya.

Informasi itu sudah jelas  menyesatkan, baik kelompok ilmuwan maupun pemerintah sudah memberikan keterangan yang senada.

Hoaks TermogunKita tidak akan membahas lebih mendalam mengenai kesalahan informasi seperti itu. Toh, orang yang bicara adalah ahli ekonomi, buat apa juga dipercaya ketika ia tiba-tiba membahas masalah kesehatan.

Meski begitu, dari desas-desus tidak bermutu itu, kita tetap berusaha mengambil hikmahnya.

Setidaknya, kita makin terangsang untuk mencari tahu lebih lanjut informasi seputar pengukuran suhu.

Dalam pengukuran suhu, kita biasa mendengar adanya istilah suhu inti tubuh. Itu maksudnya adalah suhu bagian dalam tubuh yang relatif stabil; tidak mudah dipengaruhi oleh suhu lingkungan.

Repotnya, standar rujukan untuk mengukur suhu inti tubuh ini harus dilakukan pada arteri pulmonalis atau pembuluh darah paru-paru.

Kita harus melakukan tindakan invasif; memasukan kateter atau selang hingga lokasi tersebut, kemudian mendapatkan informasi suhu tubuh yang sesungguhnya.

Setiap tindakan invasif, pasti memiliki risiko, yang paling ringan misalnya infeksi. Kita tidak mungkin melakukannya hanya dengan tujuan sekadar mengetahui suhu inti tubuh saja.

Padahal, masih ada metode pengukuran lain yang hasilnya mendekati suhu inti tubuh, yaitu dengan termometer rektal yang diukur dengan memasukan ujungnya pada lubang anus.

Sebuah ulasan yang dibuat Dhruv R. Seshadri, dkk., menyimpulkan bahwa hasil pengukuran suhu kulit (yang dilakukan di dahi, rongga mulut, rongga telinga dan ketiak) menyimpang hingga 12°F dari suhu inti tubuh. Kecuali suhu rektal yang diukur lewat dubur tadi, hasilnya menyerupai suhu inti tubuh.

Suhu Tubuh dan Covid-19

Satu-satunya alat pengukur suhu yang aman digunakan untuk konteks wabah SARS-CoV-2 adalah termometer tembak, karena pengukurannya tidak harus melakukan kontak langsung dengan orang yang diperiksa.

Sementara metode lainnya, termasuk termometer rektal yang hasilnya paling mendekati suhu inti tubuh, sangat sulit dilakukan dan berisiko memindahkan infeksi dari orang ke orang.

Termometer tembak yang digunakan untuk skrining Covid-19 di tempat selama ini, biasanya diarahkan pada dahi atau pergelangan tangan. Kelemahannya, cara ini hanya menghasilkan pengukuran demam yang akurat pada orang yang sudah lama tinggal dalam ruangan.

Tidak heran bila S-H. Hsiao, dkk., menyarakankan untuk melakukan pengkuran suhu berulang-ulang untuk memastikan hasilnya.

Sebab pengukuran dengan termometer tembak ini sangat dipengaruhi faktor lingkungan seperti suhu luar ruangan, angin dan curah hujan.

Suhu tubuh yang meningkat memang menjadi salah satu ciri utama gelaja Covid-19.

Namun, dengan perkembangan penyakit yang memungkinan seseorang terinfeksi tanpa gejala, maka skrining demam menjadi kurang berguna.

Pengukuran suhu hanya sekadar prosedur yang harus dilewati saja, tanpa manfaat yang lebih siginifikan untuk penyaringan gejala Covid-19.

Sebuah penelitian di rumah sakit Australia menyimpulkan, skrining demam tidak memiliki sensitivitas untuk mendeteksi orang dengan SARS-CoV-2.

Karena itu, kita tidak bisa terlalu mengandalkan alat pengukur suhu inframerah tersebut. Alih-alih terus meributkan kontrovesi penggunaan termometer tembak yang bisa merusak otak, lebih baik kita fokus pada membangun kebiasaan jujur saja.

Sampaikan kalau kita merasa demam atau tetap di rumah saja kalau merasa tidak enak badan. Ceritakan riwayat sakitnya secara terbuka. Sebab, seberapa canggih pun alat skrining yang kita punyai, semuanya tidak akan berguna bila tidak saling jujur.


Oleh: Saverinus Suhardin
 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari  Saverinus Suhardin


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

2 tanggapan untuk “Thermo-gun, Suhu Tubuh, dan Covid-19

Komentar ditutup.