Atlantics: Potret Bahaya Wajah Ganda Kapitalisme dan Migrasi

Spread the love

Judul: Atlantics (French: Atlantique)
Tahun: 2019
Sutradara: Mati Diop
Rumah Produksi: Les Films du Bal Frakas Productions Cinekap

***

Tanpa mengabaikan sejumlah festival film sepanjang tahun 2019, Cannes 2019 mungkin menjadi panggung pertama Parasite dan Bong Joon-ho untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka kemudian pantas diganjar Oscar pada tahun 2020.

Tetapi, semua orang lupa bahwa ditengah ingar bingar keberhasilan Parasite, di Cannes 2019 itu, selain Bong Joon-ho yang menyabet penghargaan prestisius; Palme d’Or ada juga Atlantics yang menyabet Grand Prix, sebuah film bagus yang dieksekusi dengan matang oleh Mati Diop—serentak membuat Diop dinobatkan menjadi “bakat baru” dalam menggarap film misteri romantis bernuansa gotik.

Ketika Anda menonton begitu banyak film dalam satu minggu, bulan, atau tahun tertentu, mungkin, akan sangat jarang bagi Anda untuk menemukan satu film yang menopang begitu banyak perasaan di sepanjang runtime, mencocokkan citra indahnya dengan cerita yang kuat, atau berjalan dengan alur yang menarik. 

Tetapi, agaknya, itu tidak berlaku untuk debut fitur naratif Mati Diop; Atlantics,—salah  satu film terbaik sepanjang tahun 2019 atau mungkin untuk beberapa dekade ke depan. 

Bahaya Wajah Ganda Kapitalisme

Atlantics dimulai dengan latar dari sebuah wilayah Urban di Dakar, Senegal yang masyarakatnya hidup dalam bayang-bayang bisnis perusahan properti kapitalis.

Dan, bukan sesuatu yang mengejutkan, dalam gelombang besar kaptalis itu, distribusi kesejahteraan justru menjadi amat timpang. Banyak masyarakat pekerja hidup dalam kemiskinan karena pada akhirnya setelah bekerja pengembang menolak untuk membayar upah mereka.

Lalu ditengah situasi yang amat paradoks itu, kisah asmara suram pasangan muda yang lahir dari kelompok kelas pekerja muncul.

Adalah seorang remaja bernama Ada (Mame Bineta Sane) yang tumbuh dalam keluarga Muslim konservatif jatuh cinta dengan salah satu pria pekerja miskin; Soulemaine (Traore) sementara orang tuanya telah mengatur pernikahannya dengan seorang pri kaya raya lainnya; Omar (Babacar Sylla)

Di titik ini, Atlantics dapat dilihat sebagai karya voodoo-realis yang memotret kemarahan ketika orang-orang di desa tumbuh semakin tertatih-tatih oleh bahaya eksploitasi wajah ganda kapitalisme—yang umumnya terjadi di seluruh dunia—tetapi sekaligus menyodorkan upaya-upaya kecil mereka untuk membuat hidup terus berdetak melalui perasaan jatuh cinta, misalnya.

Kemiskinan dan Migrasi

Cinta antara Ada dan Soulemaine adalah cinta yang terlarang sejak semula, Diop menggambarkan upaya-upaya pertemuan mereka yang sangat gelap, ia membingkai menara sebagai tingkap yang tinggi di cakrawala kota, menonjol di atas semua bangunan lainnya—pengingat  bahwa kota yang mereka bangun itu, sebetulnya tidak memiliki tempat untuk mereka—serentak,  ia menggambarkan upaya pertemuan melepas kangen yang sulit antara Souleiman dan Ada di sebuah klub malam setempat.

Di tengah kondisi saling jatuh cinta yang rumit itu, secara mengejutkan kita melihat sebuah perpisahan.

Kemiskinan yang membelenggu hidup Souleiman karena upah yang buruk, membuat ia harus pergi mencari bentuk penghidupan yang lebih baik melalui migrasi, sebagai pola yang nyaris sama di negara dunia ketiga dewasa ini, di mana faktor ekonomi menjadi alasan paling fundamental terjadinya migrasi.

Dari bibir pantai Senegal asalnya, Souleiman akan menyebrang 1.000 mil menuju Kepulauan Canary, wilayah Spanyol, di dekat Maroko. Para migran dari Dakar berani menempuh jarak melintasi Samudra Atlantik yang tak terduga dengan kapal-kapal rusak yang disatukan oleh paku karat dan kekuatan keinginan.  

Balutan migrasi ke dalam kisah cinta yang ditawarkan Diop bukanlah soal sepele yang coba dimasukan ke dalam film itu adalah pengalaman yang ia rasakan sebagai keluarga migran sekaligus menjadi potret masalah migrasi di Afrika yang telah ia teliti nyaris satu dekade lamanya sejak memproduksi film pendeknya Atlantiques (2009) dan Mille Soleils (2013), sebuah ode untuk film pamannya Djibril Diop Mambéty Touki Bouki (1973)

Diop melihat bahwa pola migrasi dengan menyebrangi laut menggunakan kapal yang rusak, telah membuat banyak di antara para migran yang tidak pernah mencapai tanah yang mereka impikan; Eropa. 

Pada tahun 2006, 7.000 migran Senegal tewas dalam perjalanan di laut. Dua belas tahun kemudian, pada tahun 2018, lebih dari 1.000 migran tiba dengan selamat. Tidak ada dokumentasi resmi dari mereka yang tidak berhasil.

Lautan dalam konsep migrasi yang digambarkan Diop dalam Atlantics menjadi simbol lain yang lebih rumit, mewakili godaan, bahaya, dan kebebasan. 

Diop berhasil menggunakan latar laut dengan mahir, memotong untuk mengambil foto-foto lebar matahari yang terbenam di atas air, dan ketika lautan tidak terlihat, suara melodik ombak menjilatnya membuatnya tetap bertahan di atas kepala kita. Mengagumkan.

Patriarki dan Surealisme

Film ini terus berdenyut dalam banyak scene, berjalan pelan namun tetap konstan. Tepat ketika Souleiman memutuskan untuk pergi kita mungkin berpikir bahwa ketegangan akan berakhir, dan isi film beralih habis menjadi urusan migrasi semata, tetapi yang terjadi tidak begitu.

Ketegangan lain terjadi seketika, saat Souleiman memutuskan pergi, Ada harus memutuskan apakah akan meninggalkan kenyamanan yang dijanjikan Omar atau mengejar cinta sejati dalam diri Souleiman, meskipun ia mungkin tidak akan pernah melihat Souleiman lagi. 

Tekanan keluarga konservativ yang dikendalikan oleh sistim patriarki yang kaku terangkum dalam perjodohan yang dipaksakan, telah mendorong Ada enggan berlabuh ke dalam pelukan Omar.

Lalu, ketika para wanita yang tertekan bergulat dengan kepergian pria mereka, segalanya menjadi semakin tidak biasa. 

Kebakaran dan penyakit yang tidak dapat dijelaskan menggeser Atlantics ke wilayah supernatural, dan Diop memasukkan unsur-unsur mistisisme Muslim dan cerita rakyat Prancis tanpa tipu muslihat yang dilebih-lebihkan.

Perpaduan yang sempurna antara fantasi dan drama dengan menggunakan elemen-elemen supernatural untuk menampung realitas-realitas yang berlimpah dan ketidakadilan yang dihadapi masing-masing karakter dalam film.

Masuknya supranatural membuat kita melihat gelagat misteri docu-supernatural yang aneh sekaligus amat presisi ketika digabungkan dengan bentuk normalitas kehidupan manusia yang kasat mata. Fiksi fantasinya berpadu dengan apik ke dalam setting yang realistis.

Dalam proses penggabungan itu, kita justru sama sekali tidak melihat rusaknya jalan cerita secara keseluruhan. Sebuah kejeniusan Diop yang mungkin bisa disetarakan dengan karya Cien Anos de Soledad (1967) dari Gabriel Garcia Marquez ketika bercerita tentang Macondo, kota kecil terpencil imajinatif tetapi sekaligus begitu dekat dengan pengalaman kontemporer manusia sehari-hari.

Eksplorasi hasrat film itulah ia benar-benar bergerak, menguat  menjadi realis magis, yang seolah-olah bahwa hasrat manusia memiliki kekuatan untuk mendorong keberadaan sehari-hari menjadi sesuatu yang luar biasa dan berbahaya.

Membaca Atlantics dalam Konteks Indonesia

Di luar sejumlah pilihan yang cermat—yang berhubungan dengan desain produksi, pilihan kostum, casting, ritme lembut dari narasi—Diop berhasil menarik sesuatu yang sangat luar biasa untuk kemudian dapat kita petik.

Dalam konteks Indonesia, lebih-lebih di Nusa Tenggara Timur (NTT), migrasi menjadi semacam kosa kata yang menyedihkan.

Dalam banyak laporan pada satu periode belakangan, kita membaca dan melihat begitu banyak kematian pekerja migran tanpa ada upaya penuntasan yang serius, pejabat datang silih barganti dari sebuah sistim pemilu dengan banyak janji penuntasan.

Tetapi, tepat di situ, kita justru melihat statistik kamatian buruh migran dengan angka-angka yang mencengangkan dan tidak berubah menurun.

Persoalan hulu semacam ketimpangan ekonomi sebagai sebab musebab melonjaknya migrasi terus saja terabaikan sedangkan persoalan hilir semacam kematian migran dibiarkan begitu saja.

Agaknya, Samudra Atlantik dalam Atlantics  yang dieksekusi dengan apik oleh sinematografer Claire Mathon, sebagai kondisi berkelap-kelip seperti lautan berlian, memesona dan indah. Namun itu adalah kuburan massal, jika dipararelkan dengan konteks migrasi NTT kita dapat melihat bahwa migrasi dapat menjadi ‘sinonim’ dari kubural massal bagi pekerja migran NTT yang tiada ujung akhirnya.

Pada akhirnya kita harus melihat bahwa Altantics membuat pernyataan penting tentang apa yang dipertaruhkan ketika orang mengarahkan hidup mereka untuk masa depan yang lebih baik: mereka layak menjadi lebih dari sekadar jiwa tanpa nama yang hilang di kedalaman lautan janji politisi di musim pemilu, lebih-lebih di NTT yang janji masa Pilkada-nya menguap entah ke mana

 

Oleh: Petrus Kanisius Siga Tage 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Resensi atau tulisan menarik lainnya dari  Petrus Kanisius Siga Tage

 

 

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai